PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia memiliki struktur masyarakat yang terdiri dari berbagai lapisan sosial masyarakat dan terbagi lagi dalam stratifikasi sosial. Lapisan sosial merupakan tempat yang diambil seluruh masyarakat yang mempunyai kedudukan sosial yang sama atau setingkat. Stratifikasi sosial adalah tatanan vertikal berbagai lapisan sosial berdasarkan tinggi rendahnya kedudukan (Hendropuspito, 1989 : 109). Individu yang masuk dalam golongan tinggi dalam suatu stratifikasi sosial akan memiliki status sosial yang tinggi pula dengan berbagai keistimewaan hak yang dimiliki. Hal inilah yang mendorong masing-masing individu berlomba untuk memperoleh status sosial tinggi dan salah satu upaya untuk mewujudkannya dengan penghasilan (ekonomi), pendidikan, pekerjaan dan kedudukan sosio-politik. Lebih lanjut, diantara banyak cara untuk memperoleh status sosial, bekerja merupakan cara yang sering ditempuh untuk memperbaiki status sosial individu.
Harapan seseorang untuk mendapatkan penghasilan besar sehingga status sosialnya menjadi lebih baik bukanlah sesuatu yang mudah. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memberikan penghasilan besar seringkali mensyaratkan sesuatu diluar individu harus bekerja keras, seperti pendidikan, kemampuan dan ketrampilan yang tinggi. Kondisi seperti inilah yang sering menjadi kendala banyak orang untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang diharapkan. Situasi tersebut semakin diperparah dengan jumlah lapangan kerja yang terbatas sehingga mendorong tingkat pengangguran tinggi.
Segi lain, individu dengan pendidikan rendah, kemampuan dan ketrampilan rendah, dituntut untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja apa saja. Terbatasnya pilihan dalam bekerja, mengumpulkan barang-barang bekas dari sampah menjadi suatu pekerjaan. Jumlah individu yang bekerja sebagai pemulung tiap tahunnya menunjukkan adanya peningkatan (Hasil wawancara dengan petugas dinas lingkungan hidup Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara, 13 April 2007).
Moos (dalam Niven, 2000 : 278) menyatakan bahwa kesehatan individu salah satunya dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, seperti suhu, hujan, polusi, gas beracun, dan lingkungan yang tidak bersih. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) merupakan tempat pembuangan sampah, tempatnya kotor, terdapat mikroorganisme yang patologis, dan banyak gas beracun. Individu yang berada dalam lingkungan tersebut rentan terhadap berbagai penyakit. Hal tersebut diperkuat jika individu bekerja dengan peralatan sederhana dan tidak menggunakan alat pelindung.
Hasil pengamatan sementara dan wawancara sambil lalu terhadap beberapa pemulung di TPA Winong menunjukkan bahwa peralatan yang mereka gunakan dalam bekerja adalah keranjang dan pengait sampah, ada yang tidak memakai sandal atau sepatu, sebagian besar tidak memakai masker hidung, dan kontak langsung dengan sampah.
Interaksi individu dengan lingkungan akan menghasilkan suatu perilaku tertentu, seperti perilaku sakit. Perilaku sakit adalah sebagai segala sikap tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan (Sarwono, 2004 : 32). Perilaku sakit pemulung ini antara lain minum jamu, minum obat di warung, beli obat racikan di toko obat, atau jika sudah parah (mereka tidak dapat bekerja) baru pergi ke dokter.
Perilaku sakit individu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah gejala penyakit yang muncul dan persepsi individu mengenai sakit. Faktor eksternal adalah sosial budaya. Kedua faktor saling berpengaruh dan membentuk perilaku sakit yang khas pada individu.
Young (dalam Supardi dan Notosiswoyo, 2005 : 135) menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi perilaku sakit adalah pengetahuan mengenai sakit dan pengobatan, keyakinan terhadap obat atau pengobatan, keparahan sakit serta keterjangkauan biaya dan jarak ke sumber pengobatan. Dari keempat faktor tersebut, keparahan sakit merupakan faktor yang dominan.
Berkaitan dengan kesehatan masyarakat, pemerintah melalui kebijakannya menyatakan bahwa tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasional. Salah satu implementasi yang dilakukan pemerintah dalam mencapai tujuan ini adalah pembanguan puskesmas sebagai model Primary Health Care (PHC). Model PHC merupakan suatu pendekatan perawatan kesehatan yang secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan dengan penekanan pada pendekatan dan sumber daya komunitas, pencegahan dan promosi, dengan semua kelompok berisiko sebagai sasaran. Implikasi dari model PHC adalah puskesmas.
Puskesmas adalah unit organisasi pelayanan kesehatan yang mempunyai misi sebagai pusat pengembangan pelayanan kesehatan, yang melaksanakan pembinaan dan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu untuk masyarakat yang tinggal di suatu wilayah kerja tertentu (Muninjaya, 1987 : 80-81). Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat yang secara administratif berdomisili di wilayah kerjanya. Bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan puskesmas bersifat menyeluruh (comprehensive health care service) yaitu pelayanan kesehatan yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Adapun prioritas pelayanan puskesmas adalah pelayanan kesehatan dasar (basic health care service) yang mengutamakan upaya promosi dan pencegahan (public health service).
Meskipun puskesmas dikembangkan dalam rangka pengembangan dan pembinaan kesehatan masyarakat, namun dalam kenyataannya masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati layanan puskesmas (Tjiong, 1991 : 121). Masyarakat yang tinggal di daerah, terutama daerah pedalaman belum dapat menikmati layanan puskesmas karena sarana dan prasarana puskesmas yang terbatas, seperti lokasi jauh, jumlah tenaga kesehatan terbatas, obat dan fasilitas memiliki kualitas dan kuantitas yang terbatas. Bahkan, Setiawan (2007) menyatakan bahwa kualitas layanan kesehatan di puskesmas sangat rendah dibandingkan dengan tempat lain, seperti rumah rumah sakit atau klinik sehingga banyak orang yang tidak mau memanfaatkan layanan puskesmas kecuali terpaksa karena tidak memiliki uang atau kedekatan lokasi.
Setiawan (2007) juga menambahkan bahwa kualitas layanan puskesmas rendah karena beban kerja yang tinggi, cakupan wilayah kerja yang tinggi, dan sumber daya yang terbatas. Selain itu, lambatnya pelayanan, kesulitan administrasi dan lamanya waktu tunggu juga menyebabkan masyarakat tidak mau memanfaatkan layanan puskesmas.
Untuk mengatasi permasalah seperti di atas, pemerintah membentuk puskesmas keliling, yang bertugas untuk melakukan “jemput bola” masyarakat yang ada dalam wilayah kerjanya, dan kenyataannya hasilnya juga belum maksimal. Pengamatan sambil lalu menunjukkan bahwa puskesmas keliling baru banyak dimanfaatkan oleh ibu-ibu, anak dan wanita tua. Selain itu kendala yang dihadapi puskesmas keliling adalah petugas dan peralatan yang terbatas sehingga jangkauan layanan kesehatan pun juga menjadi terbatas (Hasil wawancara dengan Kepala Puskesmas Winong tanggal 16 Mei 2007).
Anggaran yang terbatas yang dimiliki oleh puskesmas juga menyebabkan pelayanan yang diberikan tidak dapat maksimal, seperti pemberian obat-obatan yang terbatas (hanya untuk pemakaian dua hari). Selain itu, meskipun pemerintah memberikan jaminan kesehatan bagi rakyat miskin, seringkali penggunaannya mengalami hambatan, seperti prosedur yang rumit (Hasil wawancara dengan salah seorang pemilik jaminan kesehatan rakyat miskin tanggal 13 Mei 2007) sehingga apabila tidak ada kondisi yang mendesak (kondisi pasien kritis) beberapa individu pemilik jaminan kesehatan rakyat miskin tidak mau menggunakannya.
Pendapat di atas didukung oleh pengamatan sambil lalu dan wawancara singkat dengan beberapa pemulung yang menunjukkan bahwa mereka cenderung belum memanfaatkan puskesmas dengan optimal. Rasa takut divonis menderita penyakit yang parah, anggapan biaya berobat mahal, sikap dan perilaku tenaga kesehatan yang tidak ramah, merupakan alasan yang dikemukakan oleh beberapa pemulung mengenai keengganan mereka berobat di puskesmas. Rosenstock (dalam Sarwono, 2004 : 66) menjelaskan bahwa beberapa alasan tersebut termasuk faktor yang mempengaruhi pemanfaatan layanan kesehatan dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku sakit seseorang.
Beberapa hasil penelitian mengenai perilaku sakit menunjukkan bahwa ada perbedaan perilaku sakit di antara individu. Hasil penelitian Gupta dan Dasgupta (2004) mengenai perilaku sakit di daerah urban menemukan bahwa pemanfaatan layanan kesehatan yang dibuat pemerintah masih jarang digunakan. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan. Individu-individu dengan status sosial ekonomi menengah cenderung memanfaatkan layanan kesehatan pemerintah, sedangkan individu dengan pendapatan rendah dan pendidikan rendah cenderung melakukan pengobatan sendiri.
Hasil penelitian Case, dkk (2005) mengenai ”Health Seeking Behavior in Northern KwaZulu-Natal” menemukan bahwa pasien yang meninggal pergi ke dokter jika penyakitnya sudah semakin parah. Secara umum, para pasien tersebut lebih suka melakukan pengobatan sendiri atau pergi ke pengobatan tradisional.
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sakit seseorang sangat banyak, seperti persepsi, konsep diri, sikap, kepribadian, factor demografi, dan sebagainya. Mengingat pemulung merupakan komunitas yang khas, pastinya memiliki karakteristik tertentu yang mempengaruhi perilaku sakitnya. Beranjak dari itu peneliti tertarik untuk meneliti “PEMULUNG DI TPA WINONG KECAMATAN BAWANG KABUPATEN BANJARNEGARA DALAM MEMANFAATKAN PUSKESMAS.”
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment