AL KHULU', GUGATAN CERAI DALAM ISLAM

Bookmark and Share



Oleh : Ust. Kholid Syamhudi

Bismillah,
Sakinah (tenang), mawaddah (saling mengasihi) , warahmah (saling menyayangi) adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [QS. Ar-Rum : 21]

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

PENGERTIAN GUGATAN CERAI
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” [QS. Al-Baqarah : 187]

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya [1]. Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” [2]

HUKUM AL-KHULU’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [QS. Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya. [8]

KETENTUAN HUKUM AL-KHULU [9]
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut.

1. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanta sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [QS. Al-Baqarah : 229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]

Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. [11]

2. Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan.

a). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [QS. An-Nisa : 19] [12]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas” [13]

b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]

3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]

4. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan

Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]
Wallahu a’lam


Maraji’
[1]. Fathul Bari
[2]. Jami Ahkamun Nisa, Musthafa Al-Adawi, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cetakan Pertama, Tahun 1419H.
[3]. Majmu Fatawa
[4]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
[5]. Shahih Fiqhis Sunnah
[6] Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]

__________
Foote Note
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340
[2]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[3]. Al-Mughni, 7/51
[4]. Majmu Al-Fatawa, 32/282
[5]. Fathul Bari, 9/315
[6]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[7]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[8]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[9]. Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154 dengan beberapa tambahan.
[10]. Fathul Bari, 9/318
[11]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[13]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
[14]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[15]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[16]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

Sumber: http://www.almanhaj.or.id/content/2382/slash/0

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment