BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam menjalankan kehidupan, manusia sebagai makhluk Allah SWT selain berhubungan dengan Tuhannya (habl min al-Allah) juga berhubungan dengan manusia lainnya (habl min al-Nas). Maka sadar atau tidak sadar akan dipengaruhi oleh lingkungan hidup di sekitarnya sekaligus juga diatur oleh aturan-aturan atau norma-norma hidup bersama yang mengekang hawa nafsu dari masing-masing individu sebagai batasan atas segala perilaku masyarakat.
Dinamisnya suatu individu dalam berinteraksi dengan individu lainnya menjadikannya tidak luput dari adanya suatu kesalahan terhadap suatu aturan, baik sifatnya moril yang nantinya hanya Allah-lah yang memberikan sanksi atau hukuman di akhirat maupun kesalahan yang sifatnya dapat langsung diberikan suatu tindakan hukum berupa hukuman atas kesalahannya itu, sebagaimana firman Allah SWT :
يا ايها الذ ين امنوا كتب عليكم القصاص في القتلي....
Sehubungan dengan itu, salah satu masalah yang penting dan mendapat banyak perhatian dalam hukum pidana adalah masalah hukuman.
Dalam masalah hukuman, hukum pidana positif menawarkan pembedaan antara tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) di satu sisi dengan tujuan hukuman (strafrechstheorieen) di sisi lain, hal ini dikarenakan tujuan dari susunan hukum pidana adalah merupakan tujuan ditetapkannya suatu aturan hukum yakni untuk melindungi masyarakat dari kejahatan, sedangkan tujuan hukuman adalah pembinaan dan bimbingan tentang tujuan ini masih banyak diperdebatkan dan banyak pendapat yang mendasarkan pada beberapa teori yang ada.
Anak sebagai generasi muda merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan memelihara, mempertahankan, dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, dan seimbang.
Dalam Islam pemeliharaan anak adalah tanggung jawab bagi kedua orang tuanya, sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
ياايهاالذين أمنوا قواانفسكم واهليكم نارا وقودها الناس والحجارة عليها ملئكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما امر هم و يفعلون ما يؤ مرون .
Ayat tersebut menegaskan akan fungsi dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang pada hakikatnya ada dua macam, yaitu:
1. Fungsi orang tua sebagai pengayom.
2. Fungsi orang tua sebagai pendidik.
Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan sistem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. Menurut Undang-undang dianggap tidak mampu karena kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang mengalami pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan hadis:
رفع القلم عن ثلاث عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يحتلم وعن المجنون حتى يعقل.
Seorang anak tidak akan dikenakan hukuman had karena kejahatan yang dilakukannya, karena tidak ada beban tanggung jawab hukum atas seorang anak atas usia berapapun sampai dia mencapai usia puber, qadhi hanya akan berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikinya dan menghentikannya dari membuat kesalahan di masa yang akan datang.
Namun bila kita mengacu pada Pasal 45 KUHP mengenai anak-anak yang dapat diajukan ke sidang pengadilan adalah bila anak tersebut telah mencapai usia 16 tahun. Sedangkan bila kita melihat pada Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, Pasal 4 yang menetapkan batas usia anak yang dapat dijatuhi hukuman atau sanksi pidana sangatlah berbeda. Ketentuan pasal tersebut berbunyi:
1.Batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
2.Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dalam ayat (1) dan diajukan ke sidang anak.
Memang dalam pergaulan sehari-hari, masalah batas umur antara kata dewasa dan kata anak cukup menjadi problema yang rumit. Klasifikasi umur akan menentukan dapat tidaknya seseorang dijatuhi hukuman serta dapat tidaknya suatu tindak pidana dipertanggungjawabkan kepadanya dalam lapangan kepidanaan. Secara umum klasifikasi yang ingin ditonjolkan sebagai inti dalam persoalan ini adalah kedewasaan, walaupun kedewasaan seseorang dengan orang lain tidak disamakan, namun dalam peristiwa hukum klasifikasi ini akan selalu sama untuk suatu lapangan tertentu, karena menyangkut titik akhir yang ingin dicapai oleh para hakim dalam memutuskan suatu perkara dalam perasaan keadilan yang sebenarnya. Sebagai motto para ahli kriminologi yang berbunyi: “ Fight crime, help delinquent, love humanity ”.
Sementara, selama ini banyak fenomena seorang anak kecil di bawah umur duduk di bangku tertuduh dan ditahan seperti layaknya penjahat besar hanya karena perkara sepele.
Seperti kasus-kasus yang terjadi, kasus pertama dialami Andang Pradika Purnama, bocah 9 tahun. Pihak kepolisianYogyakarta sempat menahannya sampai 52 hari. Menurut laporan polisi Kotagede, Andang terbukti mencuri dua burung Leci dan mengaku telah melakukan pencurian sebanyak delapan kali. Juga, menurut laporan polisi itu, ayahnya sudah tak sanggup mengasuhnya, sehigga polisi menyebutnya residivis. Kapolwil DI Yogakarta, mengatakan, penahanan Andang untuk diajukan ke Pengadilan Negeri sudah sesuai dengan KUHAP.
Kasus kedua, menimpa Said bin Djunaidi, bocah warga Kecamatan Kopo, Serang Jawa Barat, sejak 9 April 1995 telah ditahan di Polsek setempat. Ia diduga melakukan pencurian di warung milik tetangganya. Oleh pengadilan (27/6/1995) anak ini divonis hukuman 2 bulan 16 hari, potong masa tahanan. Seusai sidang, Said keluar dari penjara karena hukumannya sesuai dengan jangka waktu terpidana dalam tahanan.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan anak disebabkan oleh beberapa faktor yang antara lain :
a. Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang cepat.
b. Arus globalisasi di bidang informasi dan komunikasi
c. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
d. Perubahan gaya dan cara hidup sebagian para orang tua
Telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.
Di samping itu anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan, bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian diri, serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungannya yang kurang sehat dan merugikan perkembangan pribadinya.
Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan dan kehendaknya, tetapi keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya.
Karena itu dalam menghadapi masalah anak nakal, orang tua dan masyarakat sekitarnya harusnya lebih bertanggung jawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan pengembangan perilaku anak tersebut.
Mengingat ciri dan sifat yang khas, maka dalam menjatuhkan pidana atau tindakan terhadap anak nakal diupayakan agar anak dimaksud jangan sampai dipisahkan dari orang tuanya. Hubungan orang tua dengan anaknya merupakan hubungan yang hakiki, baik hubungan psikologi maupun mental spiritual.
Bilamana hubungan orang tua dan anak kurang harmonis atau karena sifat perbuatannya sangat merugikan masyarakat sehingga perlu memisahkan anak dari orang tuanya, hendaklah tetap dipertimbangkan bahwa pemisahan tadi semata-mata demi pertumbuhan dan perkembangan anak itu sendiri secara sehat dan wajar.
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka sangat signifikan dan urgen untuk meneliti lebih jauh mengenai batas usia anak dan pertanggungjawaban pidananya.
Untuk mendapatkan file lengkap dalam bentuk MS-Word, (bukan pdf) silahkan klik Cara Mendapatkan File atau klik disini
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment