PERKAWINAN CAMPURAN dan HAK KEBENDAAN

Bookmark and Share
 Perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 : ”yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan yang lama, ada dua bentuk perkawinan campuran beserta permasalahannya, yaitu:
a.    Pria Warga Negara Asing (WNA) menikah dengan Wanita Warga Negara Indonesia (WNI)
Berdasarkan pasal 8 UU Nomor 62 tahun 1958, seorang perempuan warga negara Indonesia yang menikah dengan seorang pria asing bisa kehilangan kewarganegaraannya apabila selama waktu satu tahun ia menyatakan keterangan untuk itu, kecuali apabila dengan kehilangan kewarganegaraan tersebut, ia menjadi tanpa kewarganegaraan. Apabila suami WNA ingin memperoleh kewarganegaraan Indonesia maka harus memenuhi persyaratan yang ditentukan bagi WNA biasa (Pasal 5 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958).

Karena sulitnya mendapat ijin tinggal di Indonesia bagi laki laki WNA sementara istri WNI tidak bisa meninggalkan Indonesia karena satu dan lain hal ( faktor bahasa, budaya, keluarga besar, pekerjaan pendidikan,dan lain-lain) maka banyak pasangan seperti terpaksa hidup dalam keterpisahan
b.    Wanita Warga Negara Asing (WNA) yang menikah dengan Pria Warga Negara Indonesia (WNI)
Indonesia menganut azas kewarganegaraan tunggal sehingga berdasarkan pasal 7 UU Nomor 62 Tahun 1958 apabila seorang perempuan WNA menikah dengan pria WNI, ia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia tapi pada saat yang sama ia juga harus kehilangan kewarganegaraan asalnya. Permohonan untuk menjadi WNI pun harus dilakukan maksimal dalam waktu satu tahun setelah pernikahan, bila masa itu terlewati, maka pemohonan untuk menjadi WNI harus mengikuti persyaratan yang berlaku bagi WNA biasa untuk dapat tinggal di Indonesia. Perempuan WNA ini mendapat sponsor suami dan dapat memperoleh izin tinggal yang harus diperpanjang setiap tahun dan memerlukan biaya serta waktu untuk pengurusannya. Bila suami meninggal maka ia akan kehilangan sponsor dan otomatis keberadaannya di Indonesia menjadi tidak jelas sehingga setiap kali melakukan perjalanan keluar negeri memerlukan reentry permit yang permohonannya harus disetujui suami sebagai sponsor(pasal 15 ayat (2) UU Nomor 62 Tahun 1958. Bila suami meninggal tanah hak milik yang diwariskan suami harus segera dialihkan dalam waktu satu tahun (Pasal 21 UU Pokok Agraria No.5 Tahun 1960), serta permasalahan lainnya seorang wanita WNA tidak dapat bekerja kecuali dengan sponsor perusahaan. Bila dengan sponsor suami hanya dapat bekerja sebagai tenaga sukarela. Artinya sebagai istri/ibu dari WNI, perempuan ini kehilangan hak berkontribusi pada pendapatan rumah tangga.

Dari permasalahan mengenai Undang-Undang Kewarnageraan lama di atas, pada prinsipnya Undang-Undang Kewarganegaraan baru telah menyempurnakan Undang-Undang Kewarganegaraan lama tersebut, seperti yang tertuang dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa Warga Negara Asing (WNA) yang kawin secara sah dengan Warga Negara Indonesia (WNI) dapat memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara di hadapan pejabat yang berwenang. Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat dilakukan apabila yang bersangkutan (WNI dan WNA yang menikah) sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat sepuluh tahun tidak berturut-turut, kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut mengakibatkan berkewarganegaraan ganda (Pasal 19 ayat (2)).
Berdasarkan penjelasan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 di atas, dapat disimpulkan bahwa apabila seorang WNA yang menikah dengan WNI ingin mendapatkan kewarganegaraan Indonesia, maka WNA tersebut dapat menjadi WNI sepenuhnya apabila menyampaikan pernyataan di hadapan pejabat yang berwenang. WNA yang telah disahkan menjadi WNI berdasarkan ketentuan yang berlaku, maka status hukum WNA yang menjadi WNI tersebut sama dengan WNI pada umumnya, artinya hak-hak dan kewajiban WNA yang menjadi WNI tersebut harus dipenuhi sebagaimana hak-hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum nasional Indonesia bagi warganegaranya. Ketentuan baru yang berlaku ini telah menjawab permasalahan yang selama ini sering terjadi mengenai sistem hukum dari tempat suami-isteri bersama-sama menjadi warganegara setelah perkawinan campuran dilangsungkan (gameenschapelijke nationaliteit/joint nationality).

Dalam hal penggunaan sistem hukum dari tempat suami-isteri berkediaman tetap bersama setelah perkawinan (gamenschapelijkewoonplaats/joint residence) atau tempat suami-isteri berdomisili di Indonesia, Pasal 26 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan baru menjelaskan bahwa laki-laki atau perempuan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan laki-laki atau perempuan Warga Negara Asing (WNA) akan kehilangan Kewarganegaraan Republik Indonesia jika menurut hukum negara asal suami atau isterinya, mengikuti kewarganegaraan suami atau isteri sebagai akibat perkawinan tersebut. Jika laki-laki atau perempuan yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tersebut ingin tetap menjadi berkewarganegaraan Indonesia dapat mengajukan surat pernyataan ke pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia yang wilayahnya meliputi tempat tinggal laki-laki atau perempuan tersebut, kecuali pengajuan tersebut mengabaikan kewarganegaraan ganda (Pasal 26 ayat (3)). Surat pernyataan tersebut dapat diajukan setelah tiga tahun sejak tanggal perkawinan campuran dilangsungkan (Pasal 26 ayat (4)).


HAK KEBENDAAN

Sesuai dengan UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan , dalam perkawinan tanpa perjanjian kawin semua harta benda yang diperoleh dalam perkawinan menjadi harta bersama kecuali ditentukan lain. Dalam perkawinan campuran ada baiknya juga membuat perjanjian kawin yang memberi perlindungan pada kedua pihak agar tidak ada orientasi negatif terhadap keinginan terhadap harta benda. Mereka yang melakukan usaha di Indonesia memiliki property dengan nama suami atau istrinya yang warga negara Indonesia untuk mempermudah penguasaan sarana dan prasarana usaha. Sepanjang mengenai benda bergerak atau habis pakai bebas dibeli dan dimiliki oleh orang asing utamanya yang memiliki Kartu Ijin Tinggal Terbatas; membeli mobil, sepeda motor, kapal layar, kapal motor sampai dengan ukuran sedang, dengan syarat KTP WNA(bila disyaratkan penjual), fotokopi kartu keluarga (yang single biasanya ikut dengan pemiik rumah), Kartu Ijin Tinggal Terbatas (KITAS), fotokopi bukti kepemilikan rumah/kontrak, fotokopi surat ijin kerja dari depnaker(bila bekerja) . Dimana sepanjang digunakan untuk kepentingan pribadi dan usaha di Indonesia bebas dibeli oleh warga negara asing. Namun karena prosedur yang panjang dan kurangnya pengertian pejabatnya membuat warga negara asing lebih memilih pinjam nama suami atau istri, atau teman yang warga negara Indonesia. Apabila pengaturan tentang kepemilikan benda bergerak tersosialisasi dengan baik maka dapat memudahkan pemasukan pajak atau retribusi daerah. Penetapan tentang jumlah pajak atau retribusi tidak perlu dibedakan atau dilebihkan.

Tentang perolehan hak milik atas tanah telah diatur dalam UU nomor 5 tahun 1960 Tentang Pokok pokok Agraria Pasal 21.
(1)   Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
(2)   Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya.
(3)   Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan, demikian pula warga-negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan kewarga-negaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
(4)   Selama seseorang disamping kewarga-negaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1996 TENTANG PEMILIKAN RUMAH TEMPAT TINGGAL ATAU HUNIAN OLEH ORANG ASING YANG BERKEDUDUKAN DI INDONESIA.
Pasal1
(1)   Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu.
(2)   Orang asing yang berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.
Pasal 2
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh orang asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah:
1.  Rumah yang berdiri sendiri yang dibangun di atas bidang tanah:
a. Hak Pakai atas tanah Negara;
a.  Yang dikuasai berdasarkan perjanjian dengan pemegang hak
atas tanah.
2.  Satuan rumah susun yang dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai atas tanah Negara.

Undang Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman, Pasal 52
(1)   Orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai.
(2)   Ketentuan mengenai orang asing dapat menghuni atau menempati rumah dengan cara hak sewa atau hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pengertian Hak Pakai ditentukan sesuai Hukum Agraria dan akan diterbitkan Peraturan Pemerintah. Hak Pakai ditentukan paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang. Hal yang tidak ditegaskan lagi dalam Undang Undang ini adalah tentang kepemilikan satuan rumah susun diatas bidang tanah Hak Pakai atas tanah negara, dimana akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah dan biasanya disebut hak dengan ‘strata title’ mungkin maksudnya hak pakai dengan syarat khusus.
Bila diperbolehkan membeli rumah susun atau apartment tentunya akan ditentukan aturan jumlah rumah yang dapat dibeli, harapan penulis semoga pengawasan untuk orang asing tidak memakai paradigma lama yang terlalu mengkhawatirkan perilaku orang asing . Permasalahannya bukan di aturan kepemilikan properti oleh WNA, tetapi pada pelaksanaannya, saat melakukan perpanjangan, pengawasan property WNA jadi sulit. Dan bila WNA membeli property (rumah, mobil, peralatan dll untuk keperluan usaha) lebih memilih memakai nama teman/sponsornya yang WNI karena lebih gampang, tetapi hal ini dikatakan mengurangi potensi pajak yang mengalir ke negara yang sebenarnya bagi penulis merupakan pandangan sempit, hanya beda sedikit karena uang tetap masuk ke negara melalui si WNI. Lebih baik jangan karena potensi pajak yang dibesarkan,namun keuntungan usaha dagang yang mereka lakukan jelas sudah memperbesar devisa.
Ada usulan tentang hak sewa asing dari Kemenpera mengusulkan agar WNA hanya dikabulkan untuk membeli rumah mewah atau kelas atas atau untuk rumah yang luasnya di atas 150 m2 dan harga di atas 200 ribu dollar AS, tentang nilai ini walaupun berupa usulan nonformal seolah mengindikasikan jalan yang sulit bagi warga negara asing untuk dapat memiliki rumah sendiri dengan hak pakai atau sewa terutama mereka yang ingin menikmati masa pensiun dengan gaji pensiunnya. Di Yogyakarta sendiri banyak WNA yang membeli rumah type36 dan 45, jelas bukan merupakan kelas atas.

Bagaimana apabila WNA ingin mengajukan kredit perbankan?(hukumonline.com)
Berdasarkan Pasal 3 PBI 7/2005, bank dilarang memberikan kredit baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing kepada pihak asing. Pihak asing sebagaimana dimaksud dalam ketentuan tersebut meliputi:
a.    warga negara asing;
b.     badan hukum asing atau lembaga asing lainnya;
c.     warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia;
d.    kantor Bank di luar negeri dari bank yang berkantor pusat di Indonesia;
e.    kantor perusahaan di luar negeri dari perusahaan yang berbadan hukum Indonesia.
Pengecualian atas larangan terhadap pemberian kredit tersebut di atas meliputi:
a.    kredit dalam bentuk sindikasi yang memenuhi persyaratan
-         mengikutsertakan Prime Bank sebagai lead bank;
-         diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil untuk usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia; dan
-         kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar dibandingkan dengan kontribusi bank dalam negeri;
b.    kartu kredit;
c.     kredit konsumsi yang digunakan di dalam negeri;
d.    cerukan intrahari rupiah dan valuta asing yang didukung oleh dokumen yang bersifatauthenticated yang menunjukkan konfirmasi akan adanya dana masuk ke rekening bersangkutan pada hari yang sama dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
e.    cerukan dalam rupiah dan valuta asing karena pembebanan biaya administrasi;
f.      pengambilalihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan Indonesia oleh Pihak Asing yang pembayarannya dijamin oleh Prime Bank.
(Lihat  Pasal 9 ayat [1] PBI 7/2005)

Bahwa Peraturan BI menyatakan WNA tidak dibolehkan mendapatkan kredit. Adapun WNA yang menikah dengan WNI di luar negeri, hanya diakui sah setelah didaftarkan di Catatan Sipil di Indonesia. Setelah pernikahan didaftarkan, maka jika tidak terdapat perjanjian pra-nikah, terjadilah persatuan harta, yang disebut harta bersama. Oleh karena itu, kredit yang akan diterima oleh pasangan yang WNI harus dianggap merupakan harta bersama yang sebagian merupakan hak dan kewajiban pasangan WNA. Sebagian Bank di Indonesia membolehkan WNI yang memiliki pasangan WNA untuk mendapatkan kredit dengan jaminan tertentu dan kondisi tertentu yang tentunya prosentase jumlah kredit akan dihitung dari besar jaminan yang menjadi hak dari WNI.

Perlu diperhatikan pula ketentuan Pasal 3 jo Pasal 1 angka 2 huruf c PBI 7/2005 di atas, bahwa warga negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap (permanent resident) negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia, (juga) tidak boleh mendapat kredit dari Bank di Indonesia.

HARTA BERSAMA

Perkawinan campuran WNA dan WNI yang membuat perjanjian pranikah biasanya mengatur tentang penegasan kepemilikan harta benda walaupun diatas namakan salah satu tetap merupakan harta bersama ( selalu dengan persetujuan walaupun atas nama sendiri), yang sebenarnya tidak perlu diperjanjikan namun hukum Indonesia sendiri lemah dalam pelaksanaan yang menganggap bila tanah hak atas nama sendiri boleh dijual tanpa persetujuan suami/istri dan/atau anak (dewasa atau belum dewasa) dan badan pertanahan juga tidak mengurusi keabsahan ijin yang dianggap sudah diteliti oleh PPAT. Perjanjian pranikah itu juga lebih melindungi kepentingan WNA yang umumnya sebagai pemilik uang.
Secara umum pernikahan yang dilakukan di Indonesia akan mengikuti hukum waris Indonesia atau bila pernikahan dilakukan di luar negeri dan dicatatkan di Indonesia serta tinggal di Indonesia, dan keduanya atau salah satu adalah WNI.
Hukum waris secara umum di banyak negara mengakui adanya harta bersama dalam perkawinan dan wasiat, serta cara penguasaannya oleh WNA diatur sesuai kepentingan perlindungan hukum negara masing masing.

KESIMPULAN

Perkawinan antara seorang WNA dan WNI membutuhkan penguasaan pengetahuan tentang kewarganegaraan dan aspek perlindungan hukum dan jaminan hidup dari kedua negara, serta prosedur keimigrasian menyangkut status hukum pasangan dan anaknya. Beberapa negara maju memberikan hak pensiun dan tunjangan kepada anak si WNA dimanapun berada, hal yang patut dipelajari oleh pasangan WNI untuk mempertegas tingkat keamanan keuangan keluarga mereka disamping pengelolaan usaha yang menjadi kumpulan barang dan modal.
Bagi pemerintah daerah mungkin perlu juga untuk merancang peraturan daerah tentang kegiatan usaha dan kepemilikan property oleh orang asing.
Kemudahan kepemilikan property dan barang bebas lainnya oleh WNA sebaiknya ditata ulang dalam pengawasan pelaksanaannya agar tidak membuat mereka lebih memilih jalan mudah beresiko memakai/pinjam nama WNI ,dimana bila si WNI berniat buruk akan sulit mengurusnya atau menambah resiko hilangnya modal yang lebih besar bagi WNA.
Perkawinan bagaimanapun juga merupakan hukum yang suci tidak boleh dinodai oleh kepentingan materi sesaat yang memperhitungkan untung rugi.

Hb.Andri Ariaji,SH,Sp.N
Fungsional Perancang Pertama


Sumber : http://kumham-jogja.info

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment