Kemampuan Guru Dalam Mengintegrasikan Pendidikan Kependudukan Dan Lingkungan Hidup (PKLH) Dengan Mata Pelajaran Sains Dan Pengetahuan ..(PGEO-4)

Bookmark and Share
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penelitian

Pemeliharaan lingkungan hidup akan membawa dampak positif untuk tetap lestarinya lingkungan itu sendiri. Namun, kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, ketika kita berjalan di sekitar halaman rumah, di sepanjang jalan bahkan di sekeliling gedung-gedung pemerintahan, maupun di lembaga-lembaga pendidikan, dengan sangat mudah didapati sampah-sampah yang berserakan di sana-sini dan sudah menjadi pemandangan keseharian. Belum lagi krisis air yang sering terjadi melanda negeri ini, saat musim kemarau sulit untuk mendapatkan air dan bila musim penghujan tiba, maka dapat dipastikan terjadi banjir (Kompas Mahasiswa 2002:15).

Hutan banyak dibabat untuk kepentingan sesaat tanpa mempedulikan upaya penghijauannya (Warnadi., Sunarto, dan Muchlidawati
1997:35). Tanah dan air banyak tercemar oleh limbah-limbah industri dan limbah domestik yang berasal dari rumah hunian, belum lagi udara yang tercemar akibat asap kendaraan bermotor dan asap pabrik (Warnadi., Sunarto, dan Muchlidawati
1997:36-39). Jika keadaan seperti itu dibiarkan terus-menerus, maka dapat dipastikan cepat ataupun lambat lingkungan hidup akan semakin parah kerusakannya.


Pemerintah sebenarnya sudah sejak lama melakukan upaya dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, salah satu diantaranya adalah melalui Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang mulai dirintis sejak tahun
1975 (Anonim a 2002:1). Seperti diungkapkan oleh Alkarhami (dalam http://www.pdk.go.id/balitbang/publikasi/jurnal/no_26/program_pklh_suud_kari m.htm.), bahwa pengenalan program PKLH telah diimplementasikan sejak kurikulum 1984, namun kenyataan sehari-hari menunjukkan hampir semua lulusan sekolah belum menampilkan kinerja ramah lingkungan. Buktinya masih banyak menemui lulusan sekolah yang membuang sampah di jalanan, merokok di kendaraan umum, berludah dan membuang hajat tidak pada tempatnya, dan kegiatan merusak lingkungan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan program PKLH di sekolah belum optimal, untuk itu perlu dilakukan pembenahan pada tubuh PKLH jalur sekolah.
Pertemuan regional Sekolah Model Berwawasan Lingkungan tahun 2001 dilaksanakan di Makasar, Denpasar, dan Batam. Utusan Jawa Tengah mengikuti pertemuan regional di Denpasar, Bali yang berlangsung dari tanggal 12 Juli sampai dengan 13 Juli 2001. Wakil dari Jawa Tengah adalah: SD Negeri Singosari
03-04 Semarang yang sekarang menjadi SD Negeri Pleburan IV-V Kota Semarang, SMP 4 Semarang, dan SMA 1 Semarang (Anonim b 2001:1), namun dari laporan pelaksanaan implementasi pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup (PKLH) didapat adanya ketidakpedulian warga sekolah terhadap masalah lingkungan hidup (Syafrudie 2002:19).

Hanya 10,01% guru yang pernah mempunyai pengalaman dalam mengintegrasikan materi pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup/isu lingkungan pada proses belajar mengajar dan 89,99% guru belum pernah mempunyai pengalaman dalam mengintegrasikan materi Pendidikan
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) pada proses belajar mengajar
(Anonim a 2002:1).

Program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) di sekolah akan berhasil tergantung pada keinginan guru untuk melakukan perubahan mendasar pada keyakinan tentang hakikat belajar-mengajar, strategi pengajaran, dan penyediaan pengalaman belajar pada peserta didik (Alkarhami http: //www.pdk.go.id/balitbang/publikasi/jurnal/no_26/program_pklh_suud_ karim.htm.).
Di sekolah dasar guru masih merupakan ujung tombak pelaksanaan proses pembelajaran dan masih merupakan tokoh yang “sentral” karena siswa banyak meneladani tingkah laku gurunya. Namun, kenyataan yang ada di lapangan, guru kurang berkomunikasi dalam menyampaikan pesan pembelajaran lingkungan hidup sehingga masih terjadi banyak hambatan yang dialami siswa.

Jalur pendidikan sebenarnya merupakan salah satu wahana yang efektif dalam sosialisasi dan internalisasi pelestarian lingkungan hidup, khususnya pada tingkat pendidikan dasar. Materi pendidikan lingkungan hidup yang dirancang dengan baik, diajarkan kepada siswa dengan benar, dan dipraktekkan dalam tata kehidupan sekolah akan memberikan dampak positif bagi pelestarian lingkungan hidup dikemudian hari. Melalui pendidikan lingkungan hidup di tingkat pendidikan dasar, siswa dan warga sekolah lebih dini dapat memahami pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup, sehingga kelak mereka tidak melakukan kesalahan yang sama sebagaimana telah terjadi dengan lingkungan
hidup kita dalam beberapa dekade belakangan ini (Tim Pendidikan Lingkungan
Hidup 2000:viii).

Perhatian dunia terhadap lingkungan hidup sebenarnya telah diawali sejak konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia pada bulan Juni
1972. Konferensi ini mencanangkan Pembangunan Berkelanjutan yang Berwawasan Lingkungan (PBBL) dengan menghasilkan suatu keputusan untuk tetap meneruskan kegiatan pembangunan ekonomi, namun pada saat yang sama menjamin Lingkungan Hidup maupun Sumber Daya Alam akan tetap layak untuk diwariskan pada generasi mendatang.

Upaya menjaga kelestarian Lingkungan Hidup tersebut direspon oleh Indonesia melalui Program Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang sudah mulai dirintis sejak tahun 1975 berdasarkan SK Mendikbud No. 068/U/1974 dan secara sentral dilaksanakan oleh proyek PKLH Ditjen Dikdasmen (Anonim e 2002:3). Tahun 1976 dinamakan “Proyek Nasional Program Kependudukan” bekerjasama dengan BKKBN. Program Diklat Kependudukan mulai dilaksanakan di sekolah pada tahun 1978.

Sejak tahun 1987/1988 mulai dirasakan bahwa manusia tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup, sehingga dimasukkanlah materi lingkungan hidup, dan berubah nama menjadi “Proyek Kependudukan dan Lingkungan Hidup”. Adapun pelaksanaan program PKLH mulai terealisir sejak tahun
1992/1993 (Anonim a 2002:1).

Pelaksanaan PKLH ini diperkuat dengan memorandum bersama antara

Depdiknas dengan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 0142/U/1996
dan Kep. 89/MenLH/5/1996 tentang pembinaan dan pengembangan pendidikan lingkungan hidup.

Rahardjo (2004:45), mengungkapkan bahwa DEPDIKNAS telah lama melaksanakan program PKLH di sekolah dasar yang disesuaikan ke dalam lima bidang studi yaitu IPS, IPA, Bahasa Indonesia, agama, dan orkes.
Siswa sekolah dasar secara formal telah mengenal konsep-konsep PKLH, dengan demikian Susilowati (2003:9), menekankan bahwa untuk menjamin keberhasilan pendidikan lingkungan di sekolah dasar, maka pengetahuan guru- guru sekolah dasar tentang lingkungan harus memadai.

Di sisi lain para guru masih kurang memiliki wawasan tentang kependudukan dan lingkungan hidup, akibatnya pengintegrasian pendidikan kependudukan dan lingkungan hidup ke dalam materi pelajaran masih kurang (Anonim c 2002:2). Menurut Siskandar (2002:5), pendidikan di sekolah sangat strategis sebagai tempat untuk merencanakan dan melaksanakan pendidikan yang diberi muatan nilai-nilai, pengetahuan, dan pembiasaan perilaku positif dalam rangka memberikan kesadaran tentang pentingnya sikap dan perilaku untuk melestarikan lingkungannya.

Dari latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di kelas 4, 5, dan 6 dengan mempertimbangkan aspek perkembangan kognitif siswa menurut William Stern dan Clam Stern (dalam Ahmadi dan Munawar Soleh 2005:91), bahwa anak usia 9 – 10 tahun (kelas tinggi) telah dapat mengamati relasi/hubungan kausal dari benda-benda dan peristiwa-peristiwa dan mulai memperhatkan ciri-ciri dan sifat-sifat dari benda sebagai objek
pengamatannya. Berdasarkan pertimbangan di atas maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul “Kemampuan Guru dalam Mengintegrasikan Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) dengan Mata Pelajaran Sains dan Pengetahuan Sosial di SD Negeri Se-Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang Tahun 2006/2007).

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment