BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa yang penuh gejolak, masa yang penuh dengan berbagai pengenalan dan petualangan akan hal-hal yang baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan mereka kelak. Di saat remajalah proses menjadi manusia dewasa berlangsung. Pengalaman manis, pahit, sedih, gembira, lucu, bahkan menyakitkan mungkin akan dialami dalam mencari jati diri. Rasa ingin tahu dari remaja kadang-kadang kurang disertai dengan pertimbangan rasional akan akibat lanjut dari suatu perbuatan (Jufri, 2005).
Alan Guttmacher Institute, suatu lembaga penelitian kesehatan nonprofit, melaporkan bahwa berdasarkan data terakhir (2003), sekitar 60 persen kelahiran anak di kalangan remaja di dunia adalah kehamilan yang tidak diharapkan. Satu diantara remaja usia 19 tahun tidak mempunyai akses untuk mendapat kontrasepsi. Lebih dari dua pertiga wanita di negara berkembang mendapat pendidikan kurang dari sembilan tahun.
Ditemukan juga bahwa remaja putri di negara berkembang yang terpaksa keluar dari sekolah, sudah melakukan hubungan seks di bawah usia 20 tahun, menikah muda dan tidak pernah menggunakan kontrasepsi. Oleh sebab itu, menurut para ahli, hanya dengan pendidikanlah untuk dapat menyelamatkan remaja putri di seluruh dunia.
Masih di negara berkembang, banyak wanita sudah mempunyai anak pertama pada usia di bawah 18 tahun, sementara wanita-wanita di desa dengan pendidikan tidak menyukai kontrasepsi, dan hampir semuanya terpaksa melahirkan dan menemui resiko kehamilan yang cukup gawat. Namun masalah ini sebenarnya bukan urusan negara berkembang saja. Di Amerika Serikat, tujuh diantara 10 remaja yang melahirkan adalah kelahiran yang tidak diinginkan (Anonim, 2003).
Survei pada 24 negara di Amerika Utara dan Eropa menunjukkan bahwa perilaku seks remaja sudah dimulai sejak usia 15 tahun. Survei dilakukan kepada 33.943 di 24 negara yang dikerjakan oleh sebuah LSM Perancis tersebut, menunjukkan 13,2 % remaja berperilaku seks aktif semenjak usia 15 tahun dan tidak menggunakan alat kontrasepsi. Sementara 82% lainnya, menggunakan alat kontrasepsi (Pahaji, 2008).
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh 3 orang sosiolog di Bowling Green University menunjukkan bahwa lebih dari setengah wanita dewasa yang pernah “tidur” dengan pria yang baru dikenal ataupun sekedar teman biasa, tidak mengambil langkah-langkah pencegahan. Dibandingkan dengan sekitar seperempat gadis yang dikategorikan memiliki pasangan tetap dan menggunakan kontrasepsi. Penelitian tersebut meneliti 1.600 wanita muda yang melakukan hubungan seks pertama kali sebelum berusia 18 tahun.
Di Indonesia, jumlah remaja yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk. Sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah. Setiap tahunnya 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan. Hingga Juni 2006 telah tercatat 6332 kasus AIDS dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus baru yang dilaporkan berasal dari usia 15-29 tahun.
Diperkirakan bahwa terdapat sekitar 270.000 pekerja seks perempuan yang ada di Indonesia, dimana lebih dari 60 persen adalah berusia 24 tahun atau kurang, dan 30 persen berusia 15 tahun atau kurang. Setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia, dimana 20 persen diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh remaja (Okanegara, 2007).
Suatu angka menakjubkan menyebutkan bahwa 51,5% remaja melakukan hubungan seksual di tempat kos. Ditambah lagi, Lembaga Swadaya Masyarakat Sahabat Anak dan Remaja Indonesia (Sahara Indonesia menyebutkan bahwa 44,8% mahasiswa PTN dan PTS serta remaja di Bandung telah melakukan hubungan seks hampir sebagian besar di wilayah rumah kos mereka (Eva, 2004).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Apakah ada pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan?
2. Apakah ada pengaruh lingkungan keluarga terhadap perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan?
3. Apakah ada pengaruh alat kontrasepsi terhadap perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku seksual remaja.
b. Untuk mengetahui pengaruh lingkungan keluarga terhadap perilaku seksual remaja.
c. Untuk mengetahui pengaruh alat kontrasepsi terhadap perilaku seksual remaja.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu:
1. Apakah ada pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan?
2. Apakah ada pengaruh lingkungan keluarga terhadap perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan?
3. Apakah ada pengaruh alat kontrasepsi terhadap perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja pada penghuni kos-kosan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan seks terhadap perilaku seksual remaja.
b. Untuk mengetahui pengaruh lingkungan keluarga terhadap perilaku seksual remaja.
c. Untuk mengetahui pengaruh alat kontrasepsi terhadap perilaku seksual remaja.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi FKM UIT Makassar pada umumnya dan khususnya bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi.
2. Manfaat Instansi
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi instansi-instansi terkait, khususnya tempat penelitian, sehingga dapat memberikan pemecahan masalah kepada pihak-pihak yang tersangkut dalam masalah ini.
3. Manfaat untuk Diri Sendiri
Penelitian ini dapat dijadikan proses pembelajaran dalam menangani masalah kedepannya, khususnya masalah yang berhubungan dengan perilaku seksual dan masalah yang dihadapi selama penelitian.
1. Manfaat Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi FKM UIT Makassar pada umumnya dan khususnya bagi peneliti lain, sebagai bahan referensi.
2. Manfaat Instansi
Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi instansi-instansi terkait, khususnya tempat penelitian, sehingga dapat memberikan pemecahan masalah kepada pihak-pihak yang tersangkut dalam masalah ini.
3. Manfaat untuk Diri Sendiri
Penelitian ini dapat dijadikan proses pembelajaran dalam menangani masalah kedepannya, khususnya masalah yang berhubungan dengan perilaku seksual dan masalah yang dihadapi selama penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Remaja
WHO mendefinisikan remaja sebagai fase ketika seorang anak mengalami hal-hal sebagai berikut:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja, dan membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth).
Sarwono (2005) membagi tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:
a. Remaja Awal (Early Adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis.
b. Remaja Madya (Middle Adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan ”narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis, dan sebagainya.
c. Remaja Akhir (Late Adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:
1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
3) Terbentuk identitas seksual yang akan berubah lagi.
4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
5) Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
Freud dalam Sarwono (2005) menyatakan bahwa seksualitas pada remaja dimulai dengan perubahan-perubahan tubuh dan faali yang menimbulkan tujuan baru dari dorongan seks, yaitu reproduksi (keturunan). Tahap ini disebutnya fase genital, yang merupakan perkembangan terakhir dari tahap-tahap sebelumnya yang belum bertujuan reproduktif.
Fase genital pada masa remaja ini diwujudkan melalui tiga hal, yaitu:
a. Melalui rangsangan dari luar (rabaan, sentuhan) terhadap daerah-daerah erogen (bagian tubuh yang dapat menimbulkan gairah seksual).
b. Melalui ketegangan dari dalam dan kebutuhan faali untuk menyalurkan sekresi seksual (sperma).
c. Melalui kegairahan psikologi yang disebabkan oleh hal yang pertama tadi dan menyebabkan terjadinya dorongan untuk beronani.
B. Tinjauan Umum tentang Perilaku Seksual Remaja
Perilaku seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perihal hubungan intim antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Masters, et al. dalam Jufri (2005) sexual behaviour adalah perilaku yang berhubungan dengan fungsi-fungsi reproduktif atau yang merangsang sensasi dalam reseptor-reseptor yang terletak pada atau di sekitar organ-organ reprodukstif dan daerah-daerah erogen.
Sarwono (2005), mengartikan perilaku seksual sebagai tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, yang bentuk tingkah lakunya mulai dari perasaan tertarik, berkencan, bercumbu dan bersenggama dengan objek seksualnya yang dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Menurut Hurlock dalam Jufri (2005), meningkatnya minat remaja terhadap seks, akan mendorong remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi tentang seks. Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk-beluk tentang seks dapat dipelajari dari orangtuanya. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi tentang seks yang mungkin dapat diperoleh, misalnya melalui informasi hygiene seks di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, membaca buku-buku tentang seks, atau memuaskan rasa ingin tahu dengan jalan masturbasi, bercumbu atau bersenggama. Perilaku seksual umumnya dimulai dengan masa “masa pacaran”. Dalam pola pacaran, berkencan berperan penting karena remaja jatuh cinta dan berharap merencanakan perkawinan, sehingga remaja sendiri pun harus memikirkan sungguh-sungguh masalah keserasian pasangan kencan sebagai teman hidup.
Gunarsa dalam Jufri (2005) mengidentifikasi bentuk-bentuk perilaku seksual, meliputi:
1. Berjalan berduaan dengan pacar sambil bergandengan tangan
2. Memegang bahu atau pundak ketika berjalan dengan pacar
3. Memeluk pinggang pacar pada saat berboncengan di sepeda motor
4. Ciuman di kening
5. Berpelukan erat
6. Ciuman di bibir
7. Ciuman di leher
8. Saling meraba bagian tubuh dalam keadaan berpakaian
9. Ciuman pipi
10. Saling meraba bagian tubuh dalam keadaan tidak berpakaian
11. Menempelkan alat kelamin dalam keadaan tidak berpakaian
12. Bersenggama
Menurut Berzonsky dalam Jufri (2005), alasan remaja berperilaku seksual, yaitu:
1. Eksplorasi atau melakukan eksperimen dengan alat seksualnya
2. Bersenang-senang atau just for fun
3. Agar disenangi orang lain
WHO mendefinisikan remaja sebagai fase ketika seorang anak mengalami hal-hal sebagai berikut:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri.
WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja, dan membagi kurun usia tersebut dalam dua bagian, yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda (youth).
Sarwono (2005) membagi tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:
a. Remaja Awal (Early Adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara erotis.
b. Remaja Madya (Middle Adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan ”narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri dengan menyukai teman-teman yang mempunyai sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu, ia berada dalam kondisi kebingungan karena ia tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, idealis atau materialis, dan sebagainya.
c. Remaja Akhir (Late Adolescence)
Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal di bawah ini:
1) Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2) Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
3) Terbentuk identitas seksual yang akan berubah lagi.
4) Egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
5) Tumbuh ”dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
Freud dalam Sarwono (2005) menyatakan bahwa seksualitas pada remaja dimulai dengan perubahan-perubahan tubuh dan faali yang menimbulkan tujuan baru dari dorongan seks, yaitu reproduksi (keturunan). Tahap ini disebutnya fase genital, yang merupakan perkembangan terakhir dari tahap-tahap sebelumnya yang belum bertujuan reproduktif.
Fase genital pada masa remaja ini diwujudkan melalui tiga hal, yaitu:
a. Melalui rangsangan dari luar (rabaan, sentuhan) terhadap daerah-daerah erogen (bagian tubuh yang dapat menimbulkan gairah seksual).
b. Melalui ketegangan dari dalam dan kebutuhan faali untuk menyalurkan sekresi seksual (sperma).
c. Melalui kegairahan psikologi yang disebabkan oleh hal yang pertama tadi dan menyebabkan terjadinya dorongan untuk beronani.
B. Tinjauan Umum tentang Perilaku Seksual Remaja
Perilaku seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perihal hubungan intim antara laki-laki dan perempuan.
Menurut Masters, et al. dalam Jufri (2005) sexual behaviour adalah perilaku yang berhubungan dengan fungsi-fungsi reproduktif atau yang merangsang sensasi dalam reseptor-reseptor yang terletak pada atau di sekitar organ-organ reprodukstif dan daerah-daerah erogen.
Sarwono (2005), mengartikan perilaku seksual sebagai tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis, yang bentuk tingkah lakunya mulai dari perasaan tertarik, berkencan, bercumbu dan bersenggama dengan objek seksualnya yang dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri.
Menurut Hurlock dalam Jufri (2005), meningkatnya minat remaja terhadap seks, akan mendorong remaja selalu berusaha mencari lebih banyak informasi tentang seks. Hanya sedikit remaja yang berharap bahwa seluk-beluk tentang seks dapat dipelajari dari orangtuanya. Oleh karena itu, remaja mencari berbagai sumber informasi tentang seks yang mungkin dapat diperoleh, misalnya melalui informasi hygiene seks di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, membaca buku-buku tentang seks, atau memuaskan rasa ingin tahu dengan jalan masturbasi, bercumbu atau bersenggama. Perilaku seksual umumnya dimulai dengan masa “masa pacaran”. Dalam pola pacaran, berkencan berperan penting karena remaja jatuh cinta dan berharap merencanakan perkawinan, sehingga remaja sendiri pun harus memikirkan sungguh-sungguh masalah keserasian pasangan kencan sebagai teman hidup.
Gunarsa dalam Jufri (2005) mengidentifikasi bentuk-bentuk perilaku seksual, meliputi:
1. Berjalan berduaan dengan pacar sambil bergandengan tangan
2. Memegang bahu atau pundak ketika berjalan dengan pacar
3. Memeluk pinggang pacar pada saat berboncengan di sepeda motor
4. Ciuman di kening
5. Berpelukan erat
6. Ciuman di bibir
7. Ciuman di leher
8. Saling meraba bagian tubuh dalam keadaan berpakaian
9. Ciuman pipi
10. Saling meraba bagian tubuh dalam keadaan tidak berpakaian
11. Menempelkan alat kelamin dalam keadaan tidak berpakaian
12. Bersenggama
Menurut Berzonsky dalam Jufri (2005), alasan remaja berperilaku seksual, yaitu:
1. Eksplorasi atau melakukan eksperimen dengan alat seksualnya
2. Bersenang-senang atau just for fun
3. Agar disenangi orang lain
Menurut Hurlock dalam Jufri (2005), faktor-faktor yang menyebabkan remaja melakukan perilaku seksual adalah:
1. Adanya minat remaja pada seks
2. Sumber-sumber informasi mengenai seks, seperti hygiene sex di sekolah, buku-buku tentang seks
3. Sikap sosial yang baru terhadap seks
4. Mudahnya memperoleh alat-alat kontrasepsi dan legalisasi pengguguran di banyak negara
5. Hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua
6. Perubahan sikap remaja terhadap perilaku seksual
Sedangkan menurut Luthfie dalam Jufri (2005), beberapa faktor yang menimbulkan dorongan untuk melakukan perilaku seksual pada remaja/mahasiswa, yaitu:
1. Budaya tertutup, dimana orang tua menganggap tabu kalau membicarakan soal seks pada anaknya sehingga mereka mencari sumber lain yang belum tentu benar.
2. Tabloid dan majalah porno yang menyebabkan mereka berkhayal bagaimana melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.
3. Blue film merupakan faktor pemicu yang amat cepat merangsang orang buat melakukan hubungan seksual. Gambar dan suara yang muncul dari film tersebut membuat remaja yang melihatnya menjadi terkesima, sehingga terangsang untuk melakukan hal yang serupa.
4. Situs seks, pengaruh yang ditimbulkannya hampir sama dengan blue film (film porno). Gambar-gambar bernuansa seksual yang ditampilkan melalui cybersex di internet dapat mengundang timbulnya rangsangan atau dorongan untuk melakukan seks permisif.
5. Telepon/SMS seks, termasuk faktor yang bisa memicu terjadinya perilaku seks bebas, karena meskipun tidak melihat gambarnya tetapi dari desahan suara yang dimunculkan lewat kabel telepon itu membuat remaja berimajinasi.
6. Mengunjungi ke night club, di tempat ini banyak wanita-wanita yang pakaiannya mengundang birahi sehingga menimbulkan rangsangan. Karena itu, remaja termasuk mahasiswa yang sering ke night club sangat mungkin terpengaruh untuk melakukan perilaku seks bebas.
7. Problema seks di televisi. Tayangan acara tertentu yang menampilkan adegan hot. Dilihat dari nilai tradisional, acara problem seks di televisi dianggap tidak begitu cocok, karena sebagian besar acara yang dipertontonkan kadang terlalu vulgar, bahkan dalam memberi contoh terkadang juga tidak pas. Terapannya lebih cocok untuk orang dewasa, tetapi kenyataannya remaja pun sangat menggandrungi tontonan yang bertemakan seks.
8. Konsultasi seksologi di media massa dan media elektronik juga dapat merangsang orang untuk melakukan hubungan seks, apalagi jika pertanyaan dan jawaban ahli terkesan terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan perkembangan moralitas remaja.
9. Gaya berpacaran remaja atau mahasiswa sekarang sudah sangat ‘maju’. Pegangan tangan dan ciuman saat berada di mall bahkan di tempat-tempat terbuka, sudah dianggap biasa.
Faktor lain yang sering disebut-sebut sebagai penyebab kebebasan seks yang sering menimbulkan beban mental pada remaja adalah kampanye keluarga berencana (KB). Dengan diberlakukannya program KB di suatu negara, khususnya dengan beredarnya alat-alat kontrasepsi akan merangsang remaja untuk melakukan hubungan seks.
Sanderowitz & Paxman dalam Sarwono (2005), menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi seperti rendahnya pendapatan dan taraf pendidikan, besarnya jumlah keluarga dan rendahnya nilai agama di masyarakat mempengaruhi perilaku seksual remaja.
C. Tinjauan Umum tentang Variabel yang Diteliti
1. Tinjauan tentang pendidikan seksual
Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (2005), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Jufri (2005), mengartikan pendidikan seksualitas sebagai upaya pemberian informasi tentang seksualitas dan perkembangan tubuh yang akan membantu individu untuk memahami dan mempercayai perasaannya sendiri, sehingga ia akan mampu mengendalikan masa depannya. Karena itu, anggapan yang menilai pendidikan seksualitas identik dengan pornografi adalah salah. Pendidikan seks bukan berarti mengajari remaja atau anak untuk melakukan hubungan seks.
Menurut Kartono Mohamad dalam Mu’tadin (2002) pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab (dalam Diskusi Panel Islam Dan Pendidikan Seks Bagi Remaja, 1991). Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang.
Muhammad Sa’id Mursi dalam Syarifuddin, Pendidikan seks menurut Islam adalah upaya pengajaran dan penerapan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak dari kebiasaan yang tidak islami serta menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang (zina).
WHO menyebutkan, ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari pendidikan seksualitas. Pertama, mengurangi jumlah remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kedua, bagi remaja yang sudah melakukan hubungan seksual, mereka akan melindungi dirinya dari penularan penyakit menular seksual danHIV/AIDS.
Menurut Jufri (2005), beberapa pertimbangan dalam melakukan pendidikan seks remaja, antara lain:
a. Pendidikan seks perlu menempatkan seksualitas pada perspektif yang semestinya, bukan sesuatu untuk ditakuti dan disembunyikan, tetapi untuk dikelola dengan tepat.
b. Pendidikan seks perlu mengembalikan gambaran tentang seksual yang tepat, apalagi dengan banyaknya media yang seringkali membuat imej negatif mengenai peran jenis laki-laki dan wanita secara tidak proporsional.
c. Pendidikan seks tidak hanya memberi tahu atau mendikte moral, tetapi secara jujur, realistis, dan terbuka membahas berbagai isu dan masalah seksualitas.
d. Pendidikan seks perlu memberikan pengetahuan atau informasi aktual yang dapat membantu remaja untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab, dan karenanya meruntuhkan semua mitos yang selama ini beredar.
e. Pendidikan seks perlu memberikan porsi untuk meningkatkan self-esteem dan rasa percaya diri remaja, terutama bila diberikan kepada remaja awal.
f. Pendidikan seks perlu difokuskan pada pemberian kesempatan kepada remaja untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi remaja dan juga pengambilan keputusan tentang perilaku seks.
2. Tinjauan tentang lingkungan keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan “keluarga”: ibu bapak dengan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat. Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggotanya.
Abu Zahra dalam Mufidah (2008), menyatakan bahwa institusi keluarga mencakup suami, istri, anak-anak dan keturunan mereka, kakek, nenek, saudara-saudara kandung dan anak-anak mereka, dan mencakup pula saudara kakek, nenek, paman dan bibi serta anak mereka (sepupu).
Keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak lahir sampai datang ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antarmanusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, sebelum mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya. Norma atau nilai itu dijadikan bagian dari kepribadiannya. Maka, kita dapat menyaksikan tindak-tanduk orang suku tertentu yang berbeda dari suku lainnya dan di dalam suku tertentu itupun pola perilaku orang yang berasal dari kelas sosial atas berbeda dari yang kelas sosial bawah. Demikian pula agama dan pendidikan bisa mempengaruhi kelakuan seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka secara turun menurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orang tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenanya ada pula pada orang tuanya. Hal itu bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, melainkan karena proses pendidikan, proses sosialisasiatau kalau mengutip Sigmund Freud: proses identifikasi (Sarwono, 2005).
3. Tinjauan tentang alat kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata “kontra” yang berarti mencegah atau melawan, dan “konsepsi” yaitu pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Jadi kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut.
Pada umumnya kontrasepsi mempunyai fungsi, yaitu:
a. Mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi
b. Melumpuhkan sperma
c. Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma
Metode kontrasepsi dapat dibagi menjadi:
a. Metode Sederhana
1) Tanpa alat/obat:
a) Senggama terputus
b) Pantang berkala
2) Dengan alat/obat:
a) Kondom
b) Diafragma atau kap
c) Cream, jelli dan cairan berbusa
d) Tablet berbusa (vaginal tablet)
e) Intravag (tisu KB)
b. Metode Efektif
1) Pil KB
2) AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim/IUD)
3) Suntikan KB
4) Susuk KB (Alat Kontrasepsi Bawah Kulit)
c. Metode Mantap
1) Pada wanita: Metode Operasi Wanita/Tubektomi
2) Pada pria: Metode Operasi Pria/Vasektomi.
1. Adanya minat remaja pada seks
2. Sumber-sumber informasi mengenai seks, seperti hygiene sex di sekolah, buku-buku tentang seks
3. Sikap sosial yang baru terhadap seks
4. Mudahnya memperoleh alat-alat kontrasepsi dan legalisasi pengguguran di banyak negara
5. Hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua
6. Perubahan sikap remaja terhadap perilaku seksual
Sedangkan menurut Luthfie dalam Jufri (2005), beberapa faktor yang menimbulkan dorongan untuk melakukan perilaku seksual pada remaja/mahasiswa, yaitu:
1. Budaya tertutup, dimana orang tua menganggap tabu kalau membicarakan soal seks pada anaknya sehingga mereka mencari sumber lain yang belum tentu benar.
2. Tabloid dan majalah porno yang menyebabkan mereka berkhayal bagaimana melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.
3. Blue film merupakan faktor pemicu yang amat cepat merangsang orang buat melakukan hubungan seksual. Gambar dan suara yang muncul dari film tersebut membuat remaja yang melihatnya menjadi terkesima, sehingga terangsang untuk melakukan hal yang serupa.
4. Situs seks, pengaruh yang ditimbulkannya hampir sama dengan blue film (film porno). Gambar-gambar bernuansa seksual yang ditampilkan melalui cybersex di internet dapat mengundang timbulnya rangsangan atau dorongan untuk melakukan seks permisif.
5. Telepon/SMS seks, termasuk faktor yang bisa memicu terjadinya perilaku seks bebas, karena meskipun tidak melihat gambarnya tetapi dari desahan suara yang dimunculkan lewat kabel telepon itu membuat remaja berimajinasi.
6. Mengunjungi ke night club, di tempat ini banyak wanita-wanita yang pakaiannya mengundang birahi sehingga menimbulkan rangsangan. Karena itu, remaja termasuk mahasiswa yang sering ke night club sangat mungkin terpengaruh untuk melakukan perilaku seks bebas.
7. Problema seks di televisi. Tayangan acara tertentu yang menampilkan adegan hot. Dilihat dari nilai tradisional, acara problem seks di televisi dianggap tidak begitu cocok, karena sebagian besar acara yang dipertontonkan kadang terlalu vulgar, bahkan dalam memberi contoh terkadang juga tidak pas. Terapannya lebih cocok untuk orang dewasa, tetapi kenyataannya remaja pun sangat menggandrungi tontonan yang bertemakan seks.
8. Konsultasi seksologi di media massa dan media elektronik juga dapat merangsang orang untuk melakukan hubungan seks, apalagi jika pertanyaan dan jawaban ahli terkesan terlalu vulgar dan tidak sesuai dengan perkembangan moralitas remaja.
9. Gaya berpacaran remaja atau mahasiswa sekarang sudah sangat ‘maju’. Pegangan tangan dan ciuman saat berada di mall bahkan di tempat-tempat terbuka, sudah dianggap biasa.
Faktor lain yang sering disebut-sebut sebagai penyebab kebebasan seks yang sering menimbulkan beban mental pada remaja adalah kampanye keluarga berencana (KB). Dengan diberlakukannya program KB di suatu negara, khususnya dengan beredarnya alat-alat kontrasepsi akan merangsang remaja untuk melakukan hubungan seks.
Sanderowitz & Paxman dalam Sarwono (2005), menunjukkan bahwa faktor-faktor sosial ekonomi seperti rendahnya pendapatan dan taraf pendidikan, besarnya jumlah keluarga dan rendahnya nilai agama di masyarakat mempengaruhi perilaku seksual remaja.
C. Tinjauan Umum tentang Variabel yang Diteliti
1. Tinjauan tentang pendidikan seksual
Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (2005), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.
Jufri (2005), mengartikan pendidikan seksualitas sebagai upaya pemberian informasi tentang seksualitas dan perkembangan tubuh yang akan membantu individu untuk memahami dan mempercayai perasaannya sendiri, sehingga ia akan mampu mengendalikan masa depannya. Karena itu, anggapan yang menilai pendidikan seksualitas identik dengan pornografi adalah salah. Pendidikan seks bukan berarti mengajari remaja atau anak untuk melakukan hubungan seks.
Menurut Kartono Mohamad dalam Mu’tadin (2002) pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab (dalam Diskusi Panel Islam Dan Pendidikan Seks Bagi Remaja, 1991). Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang.
Muhammad Sa’id Mursi dalam Syarifuddin, Pendidikan seks menurut Islam adalah upaya pengajaran dan penerapan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak dari kebiasaan yang tidak islami serta menutup segala kemungkinan kearah hubungan seksual terlarang (zina).
WHO menyebutkan, ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari pendidikan seksualitas. Pertama, mengurangi jumlah remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kedua, bagi remaja yang sudah melakukan hubungan seksual, mereka akan melindungi dirinya dari penularan penyakit menular seksual danHIV/AIDS.
Menurut Jufri (2005), beberapa pertimbangan dalam melakukan pendidikan seks remaja, antara lain:
a. Pendidikan seks perlu menempatkan seksualitas pada perspektif yang semestinya, bukan sesuatu untuk ditakuti dan disembunyikan, tetapi untuk dikelola dengan tepat.
b. Pendidikan seks perlu mengembalikan gambaran tentang seksual yang tepat, apalagi dengan banyaknya media yang seringkali membuat imej negatif mengenai peran jenis laki-laki dan wanita secara tidak proporsional.
c. Pendidikan seks tidak hanya memberi tahu atau mendikte moral, tetapi secara jujur, realistis, dan terbuka membahas berbagai isu dan masalah seksualitas.
d. Pendidikan seks perlu memberikan pengetahuan atau informasi aktual yang dapat membantu remaja untuk mengambil keputusan yang bertanggung jawab, dan karenanya meruntuhkan semua mitos yang selama ini beredar.
e. Pendidikan seks perlu memberikan porsi untuk meningkatkan self-esteem dan rasa percaya diri remaja, terutama bila diberikan kepada remaja awal.
f. Pendidikan seks perlu difokuskan pada pemberian kesempatan kepada remaja untuk meningkatkan keterampilan berkomunikasi remaja dan juga pengambilan keputusan tentang perilaku seks.
2. Tinjauan tentang lingkungan keluarga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan “keluarga”: ibu bapak dengan anak-anaknya, satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat. Keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggotanya.
Abu Zahra dalam Mufidah (2008), menyatakan bahwa institusi keluarga mencakup suami, istri, anak-anak dan keturunan mereka, kakek, nenek, saudara-saudara kandung dan anak-anak mereka, dan mencakup pula saudara kakek, nenek, paman dan bibi serta anak mereka (sepupu).
Keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak lahir sampai datang ia meninggalkan rumah untuk membentuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antarmanusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, sebelum mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya. Norma atau nilai itu dijadikan bagian dari kepribadiannya. Maka, kita dapat menyaksikan tindak-tanduk orang suku tertentu yang berbeda dari suku lainnya dan di dalam suku tertentu itupun pola perilaku orang yang berasal dari kelas sosial atas berbeda dari yang kelas sosial bawah. Demikian pula agama dan pendidikan bisa mempengaruhi kelakuan seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka secara turun menurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orang tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenanya ada pula pada orang tuanya. Hal itu bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, melainkan karena proses pendidikan, proses sosialisasiatau kalau mengutip Sigmund Freud: proses identifikasi (Sarwono, 2005).
3. Tinjauan tentang alat kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata “kontra” yang berarti mencegah atau melawan, dan “konsepsi” yaitu pertemuan antara sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma (sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Jadi kontrasepsi adalah menghindari/mencegah terjadinya kehamilan sebagai akibat pertemuan antara sel telur yang matang dengan sel sperma tersebut.
Pada umumnya kontrasepsi mempunyai fungsi, yaitu:
a. Mengusahakan agar tidak terjadi ovulasi
b. Melumpuhkan sperma
c. Menghalangi pertemuan sel telur dengan sperma
Metode kontrasepsi dapat dibagi menjadi:
a. Metode Sederhana
1) Tanpa alat/obat:
a) Senggama terputus
b) Pantang berkala
2) Dengan alat/obat:
a) Kondom
b) Diafragma atau kap
c) Cream, jelli dan cairan berbusa
d) Tablet berbusa (vaginal tablet)
e) Intravag (tisu KB)
b. Metode Efektif
1) Pil KB
2) AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim/IUD)
3) Suntikan KB
4) Susuk KB (Alat Kontrasepsi Bawah Kulit)
c. Metode Mantap
1) Pada wanita: Metode Operasi Wanita/Tubektomi
2) Pada pria: Metode Operasi Pria/Vasektomi.
BAB III
KERANGKA KONSEP
KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian
1. Pendidikan Seks
Pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Intinya pendidikan seks tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama (DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin-SMU Lab School Jakarta).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja dan pendidikan seks, terutama yang berhubungan perkembangan seks. Ada kesan pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaaan, tidak ada kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar prilaku seks semata yang disertai birahi, bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini “seks adalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba“ (dikenal dengan istilah sexpectation).
1. Pendidikan Seks
Pendidikan seks adalah perlakuan sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah diterapkan oleh masyarakat. Intinya pendidikan seks tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama (DR. Arief Rahman Hakim dan Drs. Fakhrudin-SMU Lab School Jakarta).
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika berbicara tentang remaja dan pendidikan seks, terutama yang berhubungan perkembangan seks. Ada kesan pada remaja bahwa seks itu menyenangkan, puncak rasa kecintaaan, tidak ada kedukaan, tidak menyakitkan bahkan membahagiakan, sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan. Seks hanya berkisar prilaku seks semata yang disertai birahi, bahkan ada yang beranggapan bahwa gaul atau tidaknya seorang remaja dilihat dari pengalaman seks mereka, sehingga ada opini “seks adalah sesuatu yang menarik dan perlu dicoba“ (dikenal dengan istilah sexpectation).
2. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang di dalamnya terjadi suatu interaksi yang akan membawa pada perubahan-perubahan tertentu sesuai dengan nilai-nilai budaya yang melingkupinya, dalam interaksi tersebut terdapat orang dewasa (orang tua) dan orang yang sedang berproses ke arah kedewasaan. Dalam interaksi tersebut terdapat fihak yang dominan dan cenderung mendominasi dalam membentuk interaksi serta substansi interaksi, seperti nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki dan menjadi sikap fihak yang belum dewasa, yaitu anak-anak dalam keluarga tersebut.
Lingkungan yang ada terutama di lingkungan pendidikan yang terjadi dalam keluarga merupakan fondasi utama bagi perkembangan si remaja yang selanjutnya, interaksi orang tua dengan Si remaja bisa berbentuk verbal dalam bentuk suatu keharusan untuk menjadi sikap/perilaku Si remaja, ataupun berbentuk tindakan orang tua yang ditangkap dipersepsi anak sebagai sesuatu tindakan bermakna dalam konteks kehidupan keluarga, perkataan dan atau perbuatan/tindakan dan prilaku orang tua merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi sikap anak dengan intensitas yang berbeda-beda. Nilai-nilai dan sikap orang tua jelas mengacu pada pemahaman akan nilai-nilai moral dan budaya. Kondisi tersebut bisa merupakan suatu yang disadari dan terencana dalam benak orang tua maupun sebagai kondisi yang rutin tanpa kesadaran dan rencana, dan kondisi yang kedua ini justru merupakan kondisi yang sebagian terjadi dalam keluarga.
3. Alat Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah suatu cara atau alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan. Biasanya wanita menggunakan kontrasepsi untuk menunda kehamilan pertamanya dahulu atau menjarangkan kelahiran dengan anak berikutnya.
Direktur Kesehatan Reproduksi Remaja BKKBN Edi M Hasmi mengatakan program KB yang di arahkan pada remaja lebih ditekankan pada konteks kesehatan reproduksi. Sejak dini, kesehatan reproduksi perlu diperkenalkan pada anak dan remaja sesuai dengan tingkat usia mereka.
Program ini bukan sekadar memperkenalkan alat kontrasepsi pada remaja, tetapi lebih kepada sikap dan tingkah laku, sehingga mereka siap dalam berkeluarga. Remaja memang diperkenalkan dengan alat-alat kontrasepsi, namun sebagai pengetahuan saja, bukan didorong untuk menggunakan. Alat kontrasepsi tidak boleh digunakan oleh remaja dan itu sudah ada UU-nya.
Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang di dalamnya terjadi suatu interaksi yang akan membawa pada perubahan-perubahan tertentu sesuai dengan nilai-nilai budaya yang melingkupinya, dalam interaksi tersebut terdapat orang dewasa (orang tua) dan orang yang sedang berproses ke arah kedewasaan. Dalam interaksi tersebut terdapat fihak yang dominan dan cenderung mendominasi dalam membentuk interaksi serta substansi interaksi, seperti nilai-nilai, pengetahuan, dan keterampilan yang harus dimiliki dan menjadi sikap fihak yang belum dewasa, yaitu anak-anak dalam keluarga tersebut.
Lingkungan yang ada terutama di lingkungan pendidikan yang terjadi dalam keluarga merupakan fondasi utama bagi perkembangan si remaja yang selanjutnya, interaksi orang tua dengan Si remaja bisa berbentuk verbal dalam bentuk suatu keharusan untuk menjadi sikap/perilaku Si remaja, ataupun berbentuk tindakan orang tua yang ditangkap dipersepsi anak sebagai sesuatu tindakan bermakna dalam konteks kehidupan keluarga, perkataan dan atau perbuatan/tindakan dan prilaku orang tua merupakan sesuatu yang dapat mempengaruhi sikap anak dengan intensitas yang berbeda-beda. Nilai-nilai dan sikap orang tua jelas mengacu pada pemahaman akan nilai-nilai moral dan budaya. Kondisi tersebut bisa merupakan suatu yang disadari dan terencana dalam benak orang tua maupun sebagai kondisi yang rutin tanpa kesadaran dan rencana, dan kondisi yang kedua ini justru merupakan kondisi yang sebagian terjadi dalam keluarga.
3. Alat Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah suatu cara atau alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan. Biasanya wanita menggunakan kontrasepsi untuk menunda kehamilan pertamanya dahulu atau menjarangkan kelahiran dengan anak berikutnya.
Direktur Kesehatan Reproduksi Remaja BKKBN Edi M Hasmi mengatakan program KB yang di arahkan pada remaja lebih ditekankan pada konteks kesehatan reproduksi. Sejak dini, kesehatan reproduksi perlu diperkenalkan pada anak dan remaja sesuai dengan tingkat usia mereka.
Program ini bukan sekadar memperkenalkan alat kontrasepsi pada remaja, tetapi lebih kepada sikap dan tingkah laku, sehingga mereka siap dalam berkeluarga. Remaja memang diperkenalkan dengan alat-alat kontrasepsi, namun sebagai pengetahuan saja, bukan didorong untuk menggunakan. Alat kontrasepsi tidak boleh digunakan oleh remaja dan itu sudah ada UU-nya.
B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas maka bagan kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut:
Berdasarkan tinjauan pustaka diatas maka bagan kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut:
Keterangan :
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Pendidikan Seks
Menurut Arif Rahman Hakim, pendidikan seksual adalah perlakuan proses sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat.
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Pendidikan Seks
Menurut Arif Rahman Hakim, pendidikan seksual adalah perlakuan proses sadar dan sistematis di sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan proses perkelaminan menurut agama dan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat.
Kriteria Objektif
Cukup : Jika responden pernah mendapatkan penjelasan tentang seks minimal dari keluarga dan sekolah.
Kurang : Jika tidak sesuai kriteria di atas.
2. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggotanya.
Kriteria Objektif
Cukup : Jika responden responden mempunyai keluarga yang harmonis dan sering berkomunikasi dengan anggota keluargal lainnya.
Kurang : Jika tidak sesuai kriteria di atas.
3. Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah suatu cara atau alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan.
Kriteria Objektif
Cukup : Jika responden membolehkan melakukan hubungan seksual dengan adanya alat kontrasepsi.
Kurang : Jika responden tidak membolehkan hubungan seksual, walaupun dengan adanya alat kontrasepsi.
Cukup : Jika responden pernah mendapatkan penjelasan tentang seks minimal dari keluarga dan sekolah.
Kurang : Jika tidak sesuai kriteria di atas.
2. Lingkungan Keluarga
Lingkungan keluarga merupakan sebuah institusi terkecil di dalam masyarakat yang berfungsi sebagai wahana untuk mewujudkan kehidupan yang tentram, aman, damai dan sejahtera dalam suasana cinta dan kasih sayang diantara anggotanya.
Kriteria Objektif
Cukup : Jika responden responden mempunyai keluarga yang harmonis dan sering berkomunikasi dengan anggota keluargal lainnya.
Kurang : Jika tidak sesuai kriteria di atas.
3. Kontrasepsi
Kontrasepsi adalah suatu cara atau alat yang digunakan untuk mencegah kehamilan.
Kriteria Objektif
Cukup : Jika responden membolehkan melakukan hubungan seksual dengan adanya alat kontrasepsi.
Kurang : Jika responden tidak membolehkan hubungan seksual, walaupun dengan adanya alat kontrasepsi.
D. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh pendidkan seks terhadap perilaku seksual remaja.
2. Ada pengaruh lingkungan keluarga terhadap perilaku seksual remaja.
3. Ada pengaruh alat kontrasepsi terhadap perilaku seksual remaja.
1. Ada pengaruh pendidkan seks terhadap perilaku seksual remaja.
2. Ada pengaruh lingkungan keluarga terhadap perilaku seksual remaja.
3. Ada pengaruh alat kontrasepsi terhadap perilaku seksual remaja.
BAB IV
METODE PENELITIAN
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan pendekatan Cross Sectional Study, untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja, dengan mengukur variabel independen (pendidikan seks, lingkungan keluarga, dan alat kontrasepsi) dan variabel dependen (perilaku seksual) pada periode yang sama.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penghuni kos-kosan RT …/RW …, Kelurahan Buakana, Kecamatan Rappocini.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penghuni kos-kosan RT …/RW …, Kelurahan Buakana, Kecamatan Rappocini, dimana penarikan sampel dilakukan dengan metode Exhaustic Sample (Total Sampel).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survei analitik dengan pendekatan Cross Sectional Study, untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja, dengan mengukur variabel independen (pendidikan seks, lingkungan keluarga, dan alat kontrasepsi) dan variabel dependen (perilaku seksual) pada periode yang sama.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penghuni kos-kosan RT …/RW …, Kelurahan Buakana, Kecamatan Rappocini.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah penghuni kos-kosan RT …/RW …, Kelurahan Buakana, Kecamatan Rappocini, dimana penarikan sampel dilakukan dengan metode Exhaustic Sample (Total Sampel).
C. Cara Pengumpulan Data
1. Data Primer
Data diperoleh melalui daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tujuan penelitian, kemudian diberikan dan diisi sendiri oleh responden.
2. Data Sekunder
Data diperoleh dari Ketua RT/RW setempat dan juga diperoleh dari pemilik kos-kosan.
D. Pengolahan dan Penyajian Data
1. Pengolahan Data
Data yang akan terkumpul akan diolah dengan komputer menggunakan Program SPSS.
2. Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, disertai dengan penjelasan-penjelasan untuk mengetahui hasil penelitian secara jelas dan mendetail.
E. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Dilakukan secara deskriptif terhadap tiap variabel dengan menghitung frekuensi dalam bentuk persentase.
1. Data Primer
Data diperoleh melalui daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disusun sebelumnya berdasarkan tujuan penelitian, kemudian diberikan dan diisi sendiri oleh responden.
2. Data Sekunder
Data diperoleh dari Ketua RT/RW setempat dan juga diperoleh dari pemilik kos-kosan.
D. Pengolahan dan Penyajian Data
1. Pengolahan Data
Data yang akan terkumpul akan diolah dengan komputer menggunakan Program SPSS.
2. Penyajian Data
Data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, disertai dengan penjelasan-penjelasan untuk mengetahui hasil penelitian secara jelas dan mendetail.
E. Analisis Data
1. Analisis Univariat
Dilakukan secara deskriptif terhadap tiap variabel dengan menghitung frekuensi dalam bentuk persentase.
2. Analisis Bivariat
Dilakukan terhadap tiap variabel untuk melihat hubungan variabel dependen dengan variabel independen dengan menggunakan uji Chi Square.
Dilakukan terhadap tiap variabel untuk melihat hubungan variabel dependen dengan variabel independen dengan menggunakan uji Chi Square.
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment