MUTIARA SALAF

Bookmark and Share



Bukti Cinta Kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata:
“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, ‘Telah berdusta orang yang mengaku mencintai-Ku, namun ketika gelapnya malam menyelimutinya dia justru terlelap dari (beribadah) kepada-Ku. Bukankah setiap pecinta menyukai menyepi berdua dengan kekasihnya? Inilah Aku, mendatangi para pecinta-Ku dengan serta-merta mengawasinya. Sesungguhnya mereka pun telah berdiri di hadapan-Ku dengan menggambarkan-Ku berada di depan mata mereka. Mereka berbicara kepada-Ku dalam keadaan (membayangkan) tengah menyaksikan-Ku dengan mata kepala mereka, mereka berbincang-bincang dengan-Ku dalam keadaan hadir menghadap. Esok Aku akan menyejukkan mata-mata mereka itu di dalam surga-surga-Ku’.”

(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/374)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 63/VI/1431 H/2010, rubrik: Permata Salaf.

Keutamaan Malu

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama mengatakan bahwa malu hakikatnya adalah akhlak yang mengantar seseorang untuk meninggalkan kejelekan dan menghalanginya mengurangi hak-hak orang lain.”

Kami telah meriwayatkan dari al-Qasim al-Junaidi rahimahullah, ia berkata, “Malu adalah memerhatikan nikmat-nikmat (Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan menganggap dirinya kurang (mensyukuri nikmat-nikmat tersebut). Dari keduanya terlahir rasa malu.”

Ummu Abdillah al-Wadi’iyyah hafizhahallahu ta’ala berkata, “Malu adalah salah satu akhlak yang utama. Ia merupakan perhiasan manusia. Hilangnya rasa malu akan menyebabkan segala macam keburukan, sehingga terjadilah pertumpahan darah, dinodainya kehormatan manusia, dilakukannya perbuatan-perbuatan keji, tidak dihargainya orang-orang tua, dan campur baurnya laki-laki dengan para wanita. Para wanita keluar sembari menampakkan perhiasan dan berdandan, bepergian tanpa mahram. Hilangnya rasa malu juga akan menyebabkan al-haq hanya didengar namun selanjutnya ditolak.”

Al-Imam al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Lima tanda celakanya seseorang adalah kerasnya hati, mata yang tidak bisa menangis, sedikitnya rasa malu, cinta dunia, dan panjang angan-angan.”

(Nashihati lin Nisa’, hlm. 196-197)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 62/VI/1431 H/2010, hal. 1, rubrik Permata Salaf.

Pentingnya Manhaj dan Akhlak yang Baik

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, "Sesungguhnya kalian berada pada suatu zaman (yakni zaman beliau hidup, -pen.) yang didapati banyak para ulamanya, sedikit ahli pidatonya, sedikit pula peminta-mintanya, dan berlimpahnya pemberian. Amal perbuatan pada zaman ini merupakan pembimbing bagi berbagai hawa nafsu.
Sepeninggal kalian, akan datang suatu masa yang sedikit didapati para ulamanya, banyak oratornya, begitu pula pengemisnya, dan sedikitnya pemberian. Hawa nafsu pada masa itu merupakan pemimpin bagi amal-amal (mereka). Ketahuilah, benarnya manhaj dan baiknya akhlak seseorang pada akhir zaman itu lebih utama daripada beberapa amal perbuatan." (Rasysyul Barad Syarh al-Adabul Mufrad, hal. 120)
Dikutip dari Majalah Asy Syariah no. 61/VI/1431 H/2010, dalam rubrik Permata Salaf.

Keutamaan Berjabat Tangan karena Allah

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, "Berjabat tangan itu dapat menambah kecintaan."

Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata, "Telah sampai kepadaku bahwasanya apabila dua orang yang saling mencintai (karena Aklah Subhanahu wa Ta'ala) saling melihat, kemudian salah satunya tertawa kepada sahabatnya dan keduanya saling berjabat tangan, maka berguguranlah kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana gugurnya daun-daun dari pepohonan."

Seseorang berkata kepada beliau, "Sungguh ini merupakan amalan yang ringan sekali." Beliau pun menyahut, "Kamu katakan ringan?! Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka." (Al-Anfal: 63)

[Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 291]
Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 60/V/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Wajib Menolak Kemungkaran Dengan Hati, Apapun Kondisinya!

Diriwayatkan dari Abu Juhaifah rahimahullah beliau mengatakan: Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sesungguhnya sesuatu yang pertama kali diharuskan atas kalian dari urusan jihad adalah berjihad dengan tangan-tangan kalian, kemudian berjihad dengan lisanl-isan kalian, kemudian berjihad dengan hati-hati kalian. Maka barangsiapa yang hatinya tidak mengetahui yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar, hati itu akan terbalik. Bagian atasnya menjadi bagian bawahnya.”

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mendengar seseorang berkata: “Binasalah orang yang tidak memerintahkan yang ma’ruf dan tidak mencegah yang mungkar.” Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menimpali: “Binasalah siapa saja yang hatinya tidak dapat mengenali mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar.”

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menjelaskan: “Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengisyaratkan bahwa mengetahui perkara yang ma’ruf dan yang mungkar dengan hati merupakan perkara yang wajib. Tidak gugur kewajiban tersebut dari seorangpun. Maka barangsiapa yang tidak dapat mengenalinya, dia akan binasa. Adapun mengingkari kemungkaran dengan lisan dan tangan, kewajiban tersebut hanyalah disesuaikan dengan kemampuan.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga mengatakan: ‘Hampir-hampir saja orang yang hidup di antara kalian akan menyaksikan kemungkaran yang tidak mampu untuk diingkarinya, hanya saja Allah mengetahui dari hati orang tersebut bahwa dia sangat membenci kemungkaran itu’.”

(Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 258-259)
Sumber: Majalah Asy Syariah no. 59/V/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Memilih Teman Dalam Menuntut Ilmu

Sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu untuk tidak bergaul kecuali dengan orang yang bisa memberinya faedah (ilmu) atau dia (teman tersebut) bisa mengambil faedah (ilmu) darinya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Hendaknya engkau menjadi seorang alim atau orang yang belajar. Jangan menjadi jenis yang ketiga, maka engkau akan binasa." (HR. Ibnu Abdilbar dalam Kitabul 'Ilmi)

Bila dia hendak ikut dalam pertemanan atau diajak berteman dengan seseorang yang menyianyiakan umurnya, tidak bisa memberinya faedah (ilmu), tidak pula bisa mengambil ilmu darinya, tidak bisa menolongnya untuk urusan yang sedang ditempuhnya (yakni ilmu), maka hendaknya ia dengan lemah lembut memutus jalan pertemanan tersebut dari awal, sebelum hubungan itu menjadi erat. Karena bila sesuatu telah kokoh, akan sulit menghilangkannya. Dan di antara ucapan yang beredar di kalangan fuqaha: "Mencegah lebih mudah daripada menghilangkan."

Bila dia membutuhkan teman, hendaknya dia memilih orang yang shalih, beragama, bertakwa, wara', cerdas, banyak kebaikannya lagi sedikit keburukannya, baik dalam bergaul, dan tidak banyak berdebat. Bila dia lupa, teman tersebut bisa mengingatkannya. Bila dia mencoba mengingat, teman  ini bisa menolongnya. Bila dia sedang membutuhkan, temannya ini bisa membantu. Bila sedang bosan, temannya ini bisa menyabarkan dirinya.

(Tadzkiratus Sami' wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Muta'allim, karya Ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullah, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, hal. 83-84)
Sumber: Majalah Asy Syariah, vol. V/no. 58/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.

Kemarahan Itu Membinasakan

'Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah berkata, "Telah beruntung orang yang dijaga dari hawa nafsu, kemarahan, dan ketamakan."

Ja'far bin Muhammad rahimahullah berkata, "Kemarahan itu adalah kunci dari segala macam kejelekan."

Dikatakan kepada Ibnul Mubarak rahimahullah, "Himpunkanlah untuk kami akhlak-akhlak baik dalam satu kata!" Beliau rahimahullah mengatakan, "Menjauhi marah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 372, 379)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Kemarahan itu membinasakan. Dia mampu merusak akal sebagaimana khamr mampu menghilangkan kesadaran." (An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi, hal. 155)

Sumber: Majalah Asy Syariah, vol. V/no. 57/1431 H/2010, rubrik Permata Salaf.
 
Menghindari Banyak Makan

Di antara sebab terbesar yang membantu seseorang untuk tetap giat menuntut ilmu, memahaminya, dan tidak jemu adalah memakan sedikit dari sesuatu yang halal.

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Aku tidak pernah kenyang semenjak 16 tahun lalu. Karena, banyak makan akan menyebabkan banyak minum, sedangkan banyak minum akan membangkitkan keinginan untuk tidur, menyebabkan kebodohan dan menurunnya kemampuan berpikir, lemahnya semangat, serta malasnya badan. Ini belum termasuk makruhnya banyak makan dari tinjauan syariat dan timbulnya penyakit jasmani yang membahayakan.”

Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:
“Sesungguhnya penyakit, kebanyakan yang engkau lihat terjadi karena makanan atau minuman.”

Seandainya tidak ada keburukan dari banyak makan dan minum kecuali menyebabkan sering ke toilet, hal itu sudah cukup bagi orang yang berakal dan cerdas untuk menjaga diri darinya. Barangsiapa yang menginginkan keberhasilan dalam menuntut ilmu dan mendapatkan bekal hidup dari ilmu, namun disertai dengan banyak makan dan minum serta tidur, sungguh dia telah mengusahakan sesuatu yang mustahil menurut kebiasaan.

(Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, hal. 73-74, Al-Imam Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jamaah Al-Kinani rahimahullah, dengan beberapa perubahan)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 56/V/1431 H/2003, rubrik Permata Salaf.

Menebar Fitnah Menuai Petaka

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Janganlah kalian terburu-buru dalam menyampaikan berita serta tergesa-gesa dalam menebarkan berbagai kekejian. Jangan pula menjadi orang yang tidak bisa menyimpan rahasia dan gemar menyebarkannya. Karena sungguh, di belakang kalian menanti malapetaka yang teramat dahsyat, kesempitan hidup, kekejian, azab yang pedih, siksaan berat yang melelahkan dan melemahkan, di mana manusia menjadi sangat ketakutan dan dibuat sengsara karenanya, yang diikuti oleh fitnah yang besar, berat, dan berkepanjangan.”

(Syarah Shahih Al-Adabul Mufrad, 1/421-422, Rasysyul Barad Syarh Al-Adabul Mufrad hal. 172-173)
Sumber: Majalah Asy Syariah, No. 55/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Waktu Dan Tempat Menghafal Ilmu

Seseorang hendaknya membagi waktu siang dan malamnya. Semestinya dia memanfaatkan umurnya, karena sisa umur seseorang tidak ternilai harganya.
- Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur.
- Waktu untuk membahas/meneliti (suatu permasalahan) adalah di awal hari.
- Waktu terbaik untuk menulis adalah di tengah siang.
- Waktu terbaik untuk menelaah dan mengulang (pelajaran) adalah malam hari.

Al-Khathib rahimahullah berkata: “Waktu terbaik untuk menghafal adalah waktu sahur, setelah itu pertengahan siang, kemudian waktu pagi.”

Beliau berkata lagi: “Menghafal di malam hari lebih bermanfaat daripada di siang hari, dan menghafal ketika lapar lebih bermanfaat daripada menghafal dalam keadaan kenyang.”

Beliau juga berkata: “Tempat terbaik untuk menghafal adalah di dalam kamar, dan setiap tempat yang jauh dari hal-hal yang melalaikan.”

Beliau menyatakan pula: “Tidaklah terpuji untuk menghafal di hadapan tetumbuhan, yang menghijau, atau di sungai, atau di tengah jalan, di tempat yang gaduh, karena hal-hal itu umumnya akan menghalangi kosongnya hati.”

(Diambil dari Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim fi Adabil ‘Alim wal Muta’allim, karya Al-Qadhi Ibrahim bin Abil Fadhl ibnu Jamaah Al-Kinani rahimahullah, hal. 73-73, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah)
Sumber: Majalah Asy Syari’ah, No. 54/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Gantungkan Cita-Citamu Setinggi Langit
Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah ketika menerangkan ucapan Abu Thayyib Al-Mutanabbi mengatakan: "Aku tidak menganggap aib-aib manusia sebagai kekurangan, seperti kurangnya orang-orang yang mampu mencapai kesempurnaan."

Beliau rahimahullah berkata: "Seyogianya orang yang berakal berusah menyempurnakan dirinya sampai pada batas maksimal yang ia mampu. Seandainya digambarkan kepada anak Adam dirinya dapat naik ke atas langit, sungguh aku memandang kerelaanya tinggal di bumi ini merupakan seburuk-buruknya kekurangan. Jika saja kenabian dapat diperoleh dengan usaha yang sungguh-sungguh, niscaya aku memandang orang-orang yang meninggalkan upaya dalam mendapatkannya berada pada puncak kerendahan. Perjalanan hidup yang baik, menurut para ahli hikmah, adalah keluarnya suatu jiwa menuju puncak kesempurnaan yang mungkin dalam keilmuan dan amalan."

Beliau berkata: "Secara ringkas, tidaklah ia tinggalkan satu keutamaan pun yang mungkin untuk dia raih melainkan ia berusaha mendapatkannya. Karena sesungguhnya merasa cukup (dalam hal ini, pen.) adalah kondisi orang-orang yang rendah. Maka jadilah dirimu seorang yang kedua kakinya berpijak di atas tanah, akan tetapi cita-citanya berada pada bintang Tsurayya.

Jika engkau mampu untuk melampaui seluruh ulama dan orang-orang yang zuhud, maka lakukanlah. Karena sesungguhnya mereka adalah lelaki dan engkau pun juga lelaki, dan tidaklah pemalas itu bermalas-malasan melainkan karena rendahnya keinginan dan hinanya cita-citanya. Ketahuilah, sungguh engkau berada pada medan pertempuran, sedangkan waktu itu akan berlalu dengan cepat. Maka janganlah engkau kekal dalam kemalasan. Tidaklah sesuatu itu dapat terluput melainkan karena kemalasan, dan tidaklah seseorang dapat meraih apa yang dicapainya melainkan karena kesungguhan dan tekadnya yang bulat."

(Awa'iquth Thalab hal. 51-52)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.53/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Jihad Dan Kesabaran

'Umar radhiyallahu 'anhu bertanya kepada para syaikh dari kalangan bani 'Abbas: "Dengan apa kalian memerangi manusia?"

Mereka menjawab: "Dengan kesabaran. Tidaklah kami menjumpai suatu kaum (musuh, pen.) melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami."

Sebagian salaf berkata: "Masing-masing dari kami tidaklah menyukai kematian dan sakitnya luka-luka, akan tetapi kami diberi kelebihan dengan kesabaran."

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan:
"Ini dalam jihad memerangi musuh yang dhahir (lahir) yakni jihad melawan orang-orang kafir. Seperti itu pula dalam jihad memerangi musuh yang batin yakni jihad melawan (kejahatan) jiwa dan hawa nafsu. Maka sungguh berjihad pada keduanya (dhahir dan batin) merupakan seagung-agungnya jihad. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Seorang mujahid adalah yang memerangi jiwanya karena Allah." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, hal. 516)

Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullah mengatakan (Tuhfatul Ahwadzi hal. 206): "Yakni memaksa jiwanya yang suka memerintahkan kepada kejelekan untuk tunduk kepada apa yang mengandung keridhaan Allah Subhanahu wa Ta'ala, dalam bentuk melaksanakan amalan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan. Jihad terhadap jiwa tersebut juga merupakan fondasi dari segala macam jihad. Karena sesungguhnya selama seseorang belum berjihad untuk menundukkan jiwanya sendiri, tidaklah mungkin baginya untuk dapat berjihad memerangi musuh yang di luar jiwanya (musuh yg dhahir)"

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.52/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Hafalan Al-Qur’an Terlebih Dahulu!

Abu Umar bin Abdil Barr rahimahullah berkata:
"Menuntut ilmu itu ada tahapan-tahapannya. Ada marhalah-marhalah dan tingkatan-tingkatannya. Tidak sepantasnya bagi penuntut ilmu untuk melanggar/melampaui urutan-urutan tersebut. Barangsiapa secara sekaligus melanggarnya, berarti telah melanggar jalan yang telah ditempuh oleh as-salafus shalih rahimahumullah. Dan barangsiapa yang melanggar jalan yang mereka tempuh secara sengaja, maka dia telah salah jalan, dan siapa saja yang melanggarnya karena sebab ijtihad maka dia telah tergelincir. Ilmu yang pertama kali dipelajari adalah menghafal Kitabullah Azza wa Jalla serta berusaha memahaminya. Segala hal yang dapat membantu dalam memahaminya juga merupakan suatu kewajiban untuk dipelajari bersamaan dengannya. Saya tidak mengatakan bahwa wajib untuk menghafal keseluruhannya. Namun saya katakan bahwasanya hal itu adalah kewajiban yang mesti bagi orang yang ingin menjadi seorang yang alim, dan bukan termasuk dari bab kewajiban yang diharuskan."

Al-Khathib Al-Baghdadi rahimahullah berkata:
"Semestinya seorang penuntut ilmu memulai dengan menghafal Kitabullah Azza wa Jalla, di mana itu merupakan ilmu yang paling mulia dan yang paling utama untuk didahulukan dan dikedepankan."

Al-Hafidz An-Nawawi rahimahullah berkata:
"Yang pertama kali dimulai adalah menghafal Al-Qur'an yang mulia, di mana itu adalah ilmu yang terpenting di antara ilmu-ilmu yang ada. Adalah para salaf dahulu tidak mengajarkan ilmu-ilmu hadits dan fiqih kecuali kepada orang yang telah menghafal Al-Qur'an. Apabila telah menghafalnya, hendaklah waspada dari menyibukkan diri dengan ilmu hadits dan fiqih serta selain keduanya dengan kesibukan yang dapat menyebabkan lupa terhadap sesuatu dari Al-Qur'an tersebut, atau waspadalah dari hal-hal yang dapat menyeret pada kelalaian terhadapnya (Al-Qur'an)."

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi hal. 60-64)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.51/IV/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Pangkal Segala Keburukan

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan:
"Empat perkara yang jika ada pada diri seseorang niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjaganya dari setan dan mengharamkannya dari api neraka, yaitu siapa saja yang bisa menguasai diri tatkala didera oleh keinginan, rasa takut, nafsu, syahwat, dan kemarahan."

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menerangkan:
Keempat perkara yang disebutkan oleh Al-Hasan Al-Bashri ini merupakan pangkal dari segala macam keburukan. Karena, keinginan terhadap sesuatu ialah kecenderungan jiwa kepadanya dengan sebab meyakini kemanfaatannya. Sehingga jika seseorang tengah berkeinginan terhadap sesuatu niscaya akan terbawa untuk berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara yang dia yakini akan bisa menyampaikannya. Terkadang mayoritas cara-cara tersebut adalah cara-cara yang diharamkan, atau bisa jadi sesuatu yang dia ingini itu sendiri merupakan perkara yang haram.

Sedangkan (definisi) takut adalah kekhawatiran terhadap sesuatu. Apabila seseorang merasa takut terhadap sesuatu niscaya akan melakukan sebab-sebab (faktor-faktor) yang akan menolaknya dengan berbagai cara/jalan yang diyakini akan dapat menolaknya. Adakala kebanyakan dari jalan-jalan tersebut adalah perkara-perkara yang diharamkan.

Syahwat adalah kecondongan jiwa pada hal-hal yang mencocokinya di mana jiwa itu merasakan kelezatan/kenyamanan dengannya. Mayoritasnya, jiwa itu cenderung kepada keharaman-keharaman seperti zina, mencuri, minum khamr, condong kepada kekafiran, sihir, kemunafikan, dan kebid'ahan-kebid'ahan.
Sedangkan kemarahan ialah mendidihnya darah di qalbu guna mencegah hal-hal yang menyakitinya tatkala mengkhawatirkan bakal terjadinya suatu peristiwa, atau dalam upaya membalas dendam kepada pihak yang telah menyakitinya sesudah terjadinya peristiwa tersebut. Sehingga muncullah dari semua itu tindakan-tindakan yang haram, seperti pembunuhan, pemukulan, berbagai bentuk kezaliman dan permusuhan. Muncul pula darinya berbagai macam ucapan keji yang bisa saja naik ke derajat kekafiran sebagaimana yang terjadi pada diri Jabalah bin Al-Aiham.

Demikian pula sumpah-sumpah yang tidak diperbolehkan secara syariat dan atau sampai mengucapkan kalimat talak (cerai) kepada istri yang kemudian berakhir dengan penyesalan.

(Jami'ul 'Ulum wal Hikam hal. 379-380)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.49/IV/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Wasiat Seorang Ayah Kepada Putranya (1)

Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq rahimahullah berwasiat kepada putranya, Musa. Beliau rahimahullah berkata:
Wahai anakku…. barangsiapa merasa cukup dengan apa yang menjadi bagiannya maka dia akan menjadi kaya dan barangsiapa memanjangkan pandangannya kepada apa yang ada di tangan orang lain niscaya dia akan mati dalam keadaan miskin.

Barangsiapa yang tidak ridha dengan apa yang diberikan untuknya berarti telah mencacati Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam ketetapan takdir-Nya.
Barangsiapa menganggap kecil ketergelinciran orang lain maka menjadi besarlah ketergelinciran irinya.
Barangsiapa menyibak tabir (aib) orang lain maka akan tersibak pula aurat (aib)nya.
Barangsiapa menghunuskan pedang pemberontakan maka akan terbunuh karenanya.
Barangsiapa menggali sumur (lubang) bagi saudaranya maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjerumuskan dirinya ke dalamnya.
Barangsiapa masuk (bercampur) dengan orang-orang bodoh niscaya akan terhina.
Dan barangsiapa bergaul dengan para ulama maka dia akan dimuliakan dengannya.
Barangsiapa memasuki tempat-tempat kejelekan maka dia akan tertuduh (dengan kejelekan pula, pen.).

Wahai anakku…. waspadalah, jangan sampai engkau menganggap remeh orang lain, sehingga engkau pun menjadi hina karenanya.
Waspadalah…. Jangan engkau menggeluti perkara-perkara yang tidak bermanfaat bagi dirimu, sehingga engkau pun menjadi hina karenanya.

Wahai anakku…. katakanlah yang haq (benar) dalam keadaan menguntungkan ataupun merugikanmu niscaya engkau memiliki kedudukan tersendiri di antara teman-temanmu. Jadilah engkau seorang yang gemar membaca dan mengikuti Al-Qur'an, seorang yang gigih menyebarkan agama Islam, seorang yang selalu memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, seorang yang menyambung tali persaudaraan dengan orang yang memutus hubungan rahim denganmu. Jadilah engkau sebagai orang yang selalu memulai dalam menyapa orang-orang yang mendiamkanmu dan memberi kepada orang yang meminta kepadamu.

Wahai anakku…. jauhilah namimah (perbuatan mengadu domba). Sungguh namimah itu akan menanamkan permusuhan di dalam hati-hati (manusia). Dan hati-hatilah dari membongkar aib manusia. Karena kedudukan seseorang yang membongkar aib-aib manusia berada pada posisi sasaran bidik (sewaktu-waktu akan balik dibongkar aibnya, pen.). Apabila engkau mencari kebaikan maka wajib bagimu mengambil dari sumbernya. Sesungguhnya kebaikan itu memiliki asal dan pada asal itu terdapat pokok-pokok dan pada pokok-pokok itu terdapat cabang-cabang, dan pada cabang-cabang itu terdapat buah, serta tidaklah buah itu menjadi matang (dengan baik) kecuali pada tangkainya, dan tidaklah ada tangkainya kecuali ada pokoknya dan tidak ada pokok melainkan dengan adanya asal (bibit) yang baik.

Kunjungilah orang-orang yang baik dan jangan mengunjungi orang-orang yang jelek (jahat). Karena orang-orang yang jelek itu ibarat gurun pasir yang tidak dapat memancarkan air, atau ibarat pohon yang tidak menghijau daunnya, atau ibarat tanah yang tidak dapat menumbuhkan rerumputan.

(Al-Imam Ja'far Ash-Shadiq, hal. 27-29, karya Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Abdillah Ad-Darwis, hakim pada Mahkamah Al-Kubra di Qathif)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.48/IV/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Wasiat Seorang Ayah Kepada Putranya (2)

Qais bin 'Ashim berwasiat kepada putra-putranya, beliau rahimahullah berkata:
"Bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan jadikanlah orang tertua di antara kalian sebagai pemimpin. Sungguh apabila suatu kaum mengangkat orang tertua mereka sebagai pemimpin niscaya pemimpin tersebut akan menggantikan peran orang tua mereka dalam memberikan/melakukan yang terbaik bagi mereka. Jikalau orang termudanya dijadikan sebagai pemimpin yang ditaati tentu akan menyebabkan berkurangnya penghormatan terhadap orang-orang tuanya, berakibat pada pembodohan mereka, peremehan, serta sikap tidak merasa butuh terhadap orang-orang tua tersebut.

Hendaklah kalian memiliki harta dan mengembangkannya melalui pekerjaan/usaha yang baik, karena hal itu akan menjadikan kalian memiliki kemuliaan serta kedudukan yang tinggi serta mencukupkan kalian dari meminta-minta. Hati-hatilah kalian, jangan sampai mengemis-ngemis kepada manusia, karena hal itu merupakan batasan terakhir dari usaha seseorang. Jika aku mati, janganlah kalian melakukan niyahah (meratap), sebab Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidaklah diniyahahi. Jika aku mati, kuburkanlah di tanah yang tidak diketahui oleh Bani Bakr bin Wail, karena di masa jahiliyah dulu, aku pernah menyerang mereka secara tiba-tiba pada saat mereka lengah."

(Syarh Shahih Al-Adabul Mufrad hal. 475)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.50/V/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.
 
Keutamaan Meninggalkan Perkara Haram

Maimun bin Mihran rahimahullah mengatakan:
"Berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan lisan adalah kebaikan. Yang lebih dari itu adalah seorang hamba mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala tatkala bermaksiat, kemudian dia menahan diri darinya."

'Umar bin Abdil 'Aziz rahimahullah berkata:
"Bukanlah takwa itu dengan (amalan sunnah seperti) bangun di waktu malam (bertahajjud, pen.) dan berpuasa di siang hari. Bukan pula dengan menghubungkan antara keduanya. Akan tetapi takwa adalah menunaikan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala wajibkan dan meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta'ala haramkan. Jika bersamaan dengan itu terdapat suatu amalan (sunnah, pen.) maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan."

Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu mengatakan:
"Sesungguhnya mengembalikan 1/6 dirham (uang perak) dari harta yang haram itu lebih utama dari 100.000 dirham yang diinfaqkan (sebagai amalan sunnah) di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala."

Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata:
Diriwayatkan dari sebagian salaf: "Meninggalkan 1/6 dirham dari hal-hal yang dibenci Allah Subhanahu wa Ta'ala itu lebih utama daripada 500 kali haji."

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: "Kesimpulan dari ucapan-ucapan tersebut menunjukkan bahwa menjauhi perkara-perkara yang haram meskipun sedikit adalah lebih utama daripada memperbanyak amalan-amalan yang sifatnya sunnah. Karena meninggalkan keharaman-keharaman adalah wajib, sedangkan amalan-amalan tersebut hukumnya sunnah."

(Jami'ul 'Ulum wal Hikam, jilid 1 hal. 247-248)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.47/IV/1430 H/2009, rubrik Permata Salaf.

Jauhilah Ilmu Yang Tidak Bermanfaat

Al-Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
"Ilmu yang dibenci untuk dipelajari serta disebarkan adalah ilmu orang-orang terdahulu (ilmu tentang konsep ketuhanan menurut orang-orang jahiliyah dan ahlul kitab, pent.). Juga ilmu ketuhanan menurut filosof berikut sebagian bahkan mayoritas aktivitas mereka: ilmu sihir, ilmu sulap, ilmu kimia (yang tidak bermanfaat, ed), ilmu perdukunan, ilmu tipu muslihat, dan usaha penyebaran hadits-hadits palsu serta seluruh kisah batil atau mungkar, sejarah kepahlawanan-kepahlawanan rekaan dan yang semisalnya, risalah-risalah pengikut paham tasawuf (sufi) berikut sya'ir-sya'ir yang mengandung celaan terhadap kemuliaan nubuwah, serta ilmu-ilmu batil lainnya yang sangat banyak.

Karena itu berhati-hatilah! Barangsiapa dari kalangan cendekiawan yang diuji untuk melakukan penelitian dalam ilmu-ilmu tersebut karena kelapangan dan keilmuannya hendaklah mempersedikit upaya untuk itu dan menelaah untuk dirinya sendiri, dan hendaklah dia meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan bersandar kepada tauhid serta berdoa meminta keselamatan dalam agamanya. Demikian pula hadits-hadits palsu yang sangat banyak jumlahnya, yang memuat tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Tidak halal untuk disebarluaskan kecuali dalam rangka tahdzir (memperingatkan manusia) supaya tidak meyakinya. Jika memungkinkan untuk meniadakannya, maka itu lebih baik lagi."

"Ya Allah, jagalah keimanan kami…. Tiada kekuatan kecuali kekuatan Allah semata."

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi, hal. 55-56)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.46/IV/1429 H/2008, rubrik Permata Salaf.

Mengamalkan Ilmu

Abud Darda' radhiyallahu 'anhu berkata: "Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai engkau mengamalkannya."

Ali radhiyallahu 'anhu berkata: "Ilmu membisikkan untuk diamalkan, kalau seseorang menyambut (maka ilmu tersebut akan bertahan bersama dirinya). Bila tidak demikian, maka ilmu itu akan pergi."

Al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata: "Seorang alim senantiasa dalam keadaan bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia sudah mengamalkannya, barulah dia menjadi alim."

(Diambil dari 'Awa'iq Ath-Thalab, hal. 17-18)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.45/IV/1429 H/2008, rubrik Permata Salaf.

Majelis Yang Wajib Ditinggalkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: "Tidak diperkenankan bagi seorangpun menghadiri majelis-majelis kemungkaran atas dasar pilihannya sendiri bukan karena terpaksa, sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, janganlah ia duduk (di suatu majelis) yang dihidangkan padanya khamr (minuman keras)."(HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi dari Ibnu 'Umar. Hadits ini hasan dengan syawahidnya.)

Dilaporkan kepada Umar bin Abdul 'Aziz rahimahullah tentang adanya suatu kaum yang sedang meminum khamr. Beliaupun memerintahkan agar mereka semua dicambuk. Kemudian seseorang berkata kepada beliau: "Sesungguhnya di antara mereka ada orang yang sedang berpuasa."

'Umar bin Abdul 'Aziz menjawab: "Mulailah darinya (dalam mencambuk). Tidakkah kalian mendengar firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
"Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kalian di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kalian mendengarkan ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan, maka janganlah kalian duduk bersama mereka sehingga mereka berpindah kepada pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (jika kalian berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan mereka."(An-Nisa' ayat 140)

(Irwa'ul Ghalil fid Difa' 'Anisy Syaikh Al-'Allamah Rabi' bin Hadi 'Umar Al-Madhkhali, hal. 151)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.44/IV/1429 H/2008, rubrik Permata Salaf.

Beragam Tujuan Dalam Menimba Ilmu

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: "Janganlah kalian mempelajari ilmu karena tiga hal:
(1) dalam rangka debat kusir dengan orang-orang bodoh,
(2) untuk mendebat para ulama, atau
(3) memalingkan wajah-wajah manusia ke arah kalian.
Carilah apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan ucapan dan perbuatan kalian. Karena, sesungguhnya itulah yang kekal abadi, sedangkan yang selain itu akan hilang dan pergi."
(Jami'ul 'Ulum wal Hikam, 1/45)

Ishaq ibnu Ath-Thiba' rahimahullah berkata: Aku mendengar Hammad bin Salamah rahimahullah berkata: "Barangsiapa mencari (ilmu, -pen.) hadits untuk selain Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan membuat makar atasnya."

Waki' rahimahullah berkata: "Tidaklah kita hidup melainkan dalam suatu tutupan. Andaikata tutupan tersebut disingkap, niscaya akan memperlihatkan suatu perkara yang besar, yakni kejujuran niat."

Al-Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: "Menuntut ilmu yang merupakan perkara yang wajib dan sunnah yang sangat ditekankan, namun terkadang menjadi sesuatu yang tercela pada sebagian orang. Seperti halnya seseorang menimba ilmu agar dapat berjalan bersama (disetarakan, pen.) dengan para ulama, atau supaya dapat mendebat kusir orang-orang yang bodoh, atau untuk memalingkan mata manusia ke arahnya, atau supaya diagungkan dan dikedepankan, atau dalam rangka meraih dunia, harta, kedudukan dan jabatan yang tinggi. Ini semua merupakan salah satu dari tiga golongan manusia yang api neraka dinyalakan (sebagai balasan, -pen) bagi mereka."*

(An-Nubadz fi Adabi Thalabil 'Ilmi, hal. 10-11)
* HR. Muslim no. 1907 dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu.
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.33/III/1428 H/2007, rubrik Permata Salaf.

Sabar Saat Mendapat Musibah

Al-Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
"Kebaikan yang tiada kejelekan padanya adalah bersyukur ketika sehat wal afiat, serta bersabar ketika diuji dengan musibah. Betapa banyak manusia yang dianugerahi berbagai kenikmatan namun tiada mensyukurinya. Dan betapa banyak manusia yang ditimpa suatu musibah akan tetapi tidak bersabar atasnya." (Mawa'izh Al-Imam Hasan Al-Bashri, hal. 158)

Beliau rahimahullah juga berkata:
"Tidaklah seorang hamba menahan sesuatu yang lebih besar daripada menahan al-hilm (kesantunan) di kala marah dan menahan kesabaran ketika ditimpa musibah." (Mawa'izh Al-Imam Hasan Al-Bashri, hal. 62)

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata:
"Tiga perkara yang merupakan bagian dari kesabaran, engkau tidak menceritakan musibah yang menimpamu, tidak pula sakit yang engkau derita, serta tidak merekomendasikan dirimu sendiri." (Mawa'izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.32/III/1428 H/2007, rubrik Permata Salaf.
 
Kejelekan-Kejelekan Harta

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata:
'Isa bin Maryam 'alaihis salam bersabda: "Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan, dan pada harta terdapat penyakit yang sangat banyak."

Beliau ditanya: "Wahai ruh (ciptaan) Allah, apa penyakit-penyakitnya?"
Beliau menjawab: "Tidak ditunaikan haknya."
Mereka menukas: "Jika haknya sudah ditunaikan?"
Beliau menjawab: "Tidak selamat dari membanggakannya dan menyombongkannya."
Mereka menimpalinya: "Jika selamat dari bangga dan sombong?"
Beliau menjawab: "Memperindah dan mempermegahnya akan menyibukkan dari dzikrullah (mengingat Allah Subhanahu wa Ta'ala)."

(Mawa'izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 81)

Beliau rahimahullah berkata: "Kelebihan dunia adalah kekejian di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala pada hari kiamat."
Beliau ditanya: "Apa yang disebut dengan kelebihan dunia?"
Beliau menjawab: "Yakni engkau memiliki kelebihan pakaian sedangkan saudaramu telanjang, dan engkau memiliki kelebihan sepatu sementara saudaramu tidak memiliki alas kaki."

(Mawa'izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 76)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.31/III/1428 H/2007, rubrik Permata Salaf.

Cinta Dunia Merupakan Dosa Besar

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
"Tidaklah aku merasa heran terhadap sesuatu seperti keherananku atas orang yang tidak menganggap cinta dunia sebagai bagian dari dosa besar. Demi Allah! Sungguh, mencintainya benar-benar termasuk dosa yang terbesar. Dan tidaklah dosa-dosa menjadi bercabang-cabang melainkan karena cinta dunia. Bukankah sebab disembahnya patung-patung serta dimaksiatinya Ar-Rahman tak lain karena cinta dunia dan lebih mengutamakannya?" (Mawa'izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 138)

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata:
"Telah sampai kepadaku bahwasanya akan datang satu masa kepada umat manusia di mana pada masa itu hati-hati manusia dipenuhi oleh kecintaan terhadap dunia, sehingga hati-hati tersebut tidak dapat dimasuki rasa takut terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dan itu dapat engkau ketahui apabila engkau memenuhi sebuah kantong kulit dengan sesuatu hingga penuh, kemudian engkau bermaksud memasukkan barang lain ke dalamnya namun engkau tidak mendapati tempat untuknya."

Beliau rahimahullah berkata pula:
"Sungguh aku benar-benar dapat mengenali kecintaan seseorang terhadap dunia dari (cara) penghormatannya kepada ahli dunia." (Mawa'izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 120)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.30/III/1428 H/2007, rubrik Permata Salaf.
 
Al-Yakin

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
"Tidaklah seorang hamba meyakini surga dan neraka dengan keyakinan yang sebenar-benarnya melainkan (pasti menjadi) khusyu', kurus-layu, istiqamah, dan sederhana hingga datang maut menjemputnya."

Dan beliau berkata:
"Wahai anak Adam, sesungguhnya di antara (tanda) lemahnya keyakinanmu adalah engkau lebih percaya dengan apa yang berada di tanganmu daripada apa yang berada di tangan Allah Azza wa Jalla."

(Mawa'izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 77-78)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.29/III/1428 H/2007, rubrik Permata Salaf.

Menjauhi Kecintaan Terhadap Kekuasaan

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah menulis surat kepada 'Abbad bin 'Abbad Al-Khawwash rahimahullah:
Amma ba'du. Sesungguhnya engkau hidup di zaman yang para shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berlindung agar tidak menemui zaman itu. Padahal mereka memiliki ilmu yang tidak kita miliki dan mereka memiliki kekokohan yang tidak kita miliki. Maka bagaimana ketika kita mendapati zaman ini dengan sedikitnya ilmu kita, sedikitnya kesabaran kita, sedikitnya penolong dalam kebaikan, rusaknya manusia, dan kotoran dunia?

Oleh karena itu, hendaknya engkau berpegang pada generasi awal, dan peganglah erat-erat. Hendaknya engkau mempunyai sifat khumul (tidak ingin disebut dan dan dikenal), karena sesungguhnya sekarang adalah zaman khumul. Hendaknya engkau ber-uzlah dan sedikit bergaul dengan manusia. Karena dahulu bila manusia bertemu, mereka saling mengambil manfaat. Adapun hari ini, yang seperti itu sudah hilang. Dan keselamatan adalah dengan meninggalkan mereka, menurut pendapat kami.

Jauhilah umara, janganlah mendekati mereka dan bergaul dengan mereka sedikit pun. Hati-hatilah, jangan sampai engkau terpedaya, sehingga dikatakan kepadamu: "Engkau bisa memberi pembelaan, dan menghindari atau menolak kedzaliman." Sesungguhnya itu adalah tipu daya iblis. Yang seperti ini hanyalah dipakai oleh qurra (ulama) yang jahat sebagai tangga. Dahulu dikatakan: "Takutlah kalian dari fitnah ahli ibadah yang bodoh dan finah alim yang jahat, karena fitnah keduanya merupakan fitnah bagi setiap orang."

Adapun masalah dan fatwa yang engkau dapatkan, ambillah dan janganlah melampaui mereka dalam hal itu. Dan berhati-hatilah engkau agar tidak seperti seseorang yang suka bila perkataanya diamalkan, disebarkan, atau didengarkan; yang bila hal itu semua tidak didapatnya, akan diketahui apa yang ada dalam dirinya. Dan jauhilah kecintaan terhadap kekuasaan, karena sesungguhnya ada seseoran yang lebih cinta kekuasaan daripada emas dan perak. Padahal cinta kekuasaan merupakan pintu yang rumit, yang tidak bisa diketahui kecuali oleh ulama yang benar-benar ahli. Maka periksalah dirimu dan beramallah dengan niat. Ketahuilah, sesungguhnya sudah dekat kepada manusia suatu perkara, dimana seseorang lebih menginginkan kematian (daripada menemui perkara itu). Wassalam

(diambil dari Min Washaya As-Salaf, hal. 19-25)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.23/II/1427 H/2006, rubrik Permata Salaf.

Hakikat Kedzaliman Penguasa

Sulaiman bin 'Ali Ar-Rab'i rahimahullah meriwayatkan:
"Tatkala terjadi fitnah Ibnul Asy'ats, yang memberontak kepada Al-Hajjaj bin Yusuf, maka 'Uqbah bin Abdul Ghafir, Abul Jauza' dan Abdullah bin Ghalib dari kalangan orang-orang yang seperti mereka (yakni kaum Khawarij), mendatangi Al-Hasan -yakni Al-Bashri-. Mereka berkata: 'Wahai Abu Sa'id (yakni Al-Hasan)! Apa pendapatmu terhadap perbuatan memerangi orang yang melampaui batas ini (yaitu Al-Hajjaj), yang telah menumpahkan darah yang haram dan mengambil harta yang haram, meninggalkan shalat, dan berbuat ini dan itu…?' Mereka lalu menyebutkan perbuatan-perbuatan Al-Hajjaj…*

Al-Hasan Al-Bashri lalu menjawab: 'Aku berpendapat bahwa kalian tidak boleh memberontak kepadanya. Karena, bila ini adalah hukuman dari Allah maka kalian tidak akan bisa menolak hukuman Allah dengan pedang-pedang kalian. Dan bila ini merupakan ujian, hendaknya kalian bersabar sampai Allah menentukan hukumnya, dan Allah adalah Hakim yang terbaik.'

Mereka pun pergi dari sisi Al-Hasan dan mengatakan: 'Apakah kita akan menaati al-'Ilj** ini?' Sedangkan mereka adalah orang Arab. Akhirnya mereku ikut memberontak bersama Ibnul Asy'ats, dan mereka semua terbunuh."

(Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'd dalam Ath-Thabaqat 7/163-164, Ad-Dulabi dalam Al-Kuna 2/121, dengan sanat yang shahih. Diringkas dari Fatawal 'Ulama Al-Kabir, hal. 36-37)

catatan kaki :
* Hisyam bin Hasan berkata: "Mereka menghitung yang dibunuh Al-Hajjaj dengan cara shabran (yaitu seseorang diikat lalu dibiarkan sampai mati, red) mencapai jumlah 120.000 orang!"
(Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 2220) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih
As-Sunan. Dinukil dari Fatawa Al-'Ulama Al-Kabir hal. 36)

** Al-'Ilj adalah sebutan untuk seorang lelaki kafir dari kalangan ajam (non Arab) atau lainnya, sebagaimana disebutkan dalam An-Nihayah karya Ibnu Atsir (3/286). Maksudnya, ketika Al-Hasan Al-Bashri menyelisihi hawa nafsu orang-orang Khawarij ini dan mereka tidak mempunyai hujjah untuk membantahnya, fanatik kesukuan Arab mereka menyebabkan mereka mencela nasab beliau. Dan memang ayah dan ibu beliau rahimahullah adalah hamba sahaya. (Dinukil dari Fatawa Al-'Ulama Al-Kabir hal. 37)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.22/II/1427 H/2006, rubrik Permata Salaf.

Menyikapi Buku-Buku Ahlu Bid’ah

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata dalam Ath-Thuruqul Hukmiyyah:
"(Pasal:) Dan demikianlah, tidak ada ganti rugi atas pembakaran buku-buku menyesatkan, begitu pula pemusnahannya. Al-marwazi rahimahullah berkata: Aku bertanya kepada Al-Imam Ahmad rahimahullah: 'Saya meminjam sebuah buku yang di dalamnya memuat perkara-perkara yang keji. Menurut pendapat Anda, (sebaiknya) saya merobek-robek atau membakarnya?' Beliau rahimahullah menjawab: "Bakarlah buku tersebut!"

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: "Maksudnya, bahwa buku-buku yang mengandung kedustaan dan kebid'ahan ini wajib untuk dirusak dan disirnakan. Dan itu lebih utama dari pemusnahan sarana-sarana hiburan, alat-alat musik, ataupun bejana-bejana khamr. Karena sesungguhnya bahaya (yang ditimbulkan buku-buku sesat tersebut) lebih besar dari bahaya ini semua (alat-alat hiburan, musik, dan khamr). Dan tidak ada ganti rugi atas pemusnahan (buku-buku tersebut), sebagaimana tidak ada ganti rugi pada pemecahan bejana-bejana khamr dan arak."

Asy-Syaikh Muwaffaquddin rahimahullah menyebutkan tentang larangan melihat buku-buku ahlu bid'ah. Beliau katakan: "Dahulu, para salaf melarang keras duduk-duduk bersama ahlul bid'ah, melihat-lihat buku-buku mereka, dan mendengar ucapan-ucapan mereka."

(Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama'ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa'if, hal. 132, 133, 134)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.21/II/1427 H/2006, rubrik Permata Salaf.

Kewajiban Berpegang Kepada Al-Jamaah

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa memisahkan diri dari al-jamaah (penguasa kaum muslimin) sejengkal saja, maka sungguh dia telah melepaskan ikatan Islam dari lehernya." (Namun tidak berarti dia kafir, tapi telah melakukan perbuatan yang mengantarkan kepada kekafiran, dan dia disebut ahlul bughat (pemberontak, -pent). (As-Sunnah, Ibnu Abi 'Ashim hal. 419-420, hadits 892, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga bersabda:
"Tiga (golongan) yang jangan ditanya tentang mereka: Seseorang yang memisahkan diri dari aljamaah, menentang (melawan) pemerintahnya, dan mati dalam keadaan sebagai pemberontak." (As-Sunnah, Ibnu Abi 'Ashim hal. 422, 490, 1060, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Wahai manusia, wajib bagi kalian untuk taat dan berpegang kepada al-jamaah. Karena sesungguhnya itu merupakan tali Allah Azza wa Jalla yang Dia perintahkan untuk berpegang dengannya. Dan sungguh sesuatu yang kalian benci dalam jamaah (persatuan) lebih baik daripada sesuatu yang kalian cintai dalam perpecahan." (Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, 24 hal. 10)

Al-Imam Al-Auza'i rahimahullah berkata:
"Lima perkara yang kebanyakan para shahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik senantiasa berada di atasnya: berpegang kepada al-jamaah, mengikuti As-Sunnah, memakmurkan masjid-masjid, membaca Al-Qur'an, dan berjihad di jalan Allah Azza wa Jalla." (Al-Lalikai, no. 48 jilid 1 hal. 64)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.20/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.

Seorang Penasehat Tidak Berarti Ma’shum

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, berkata:
"Wahai manusia, sesungguhnya aku tengah menasehati kalian, dan bukan berarti aku orang terbaik di antara kalian, bukan pula orang yang paling shalih di antara kalian. Sungguh, akupun telah banyak melampaui batas terhadap diriku. Aku tidak sanggup mengekangnya dengan sempurna, tidak pula membawanya sesuai dengan kewajiban dalam menaati Rabb-nya. Andaikata seorang muslim tidak memberi nasehat kepada saudaranya kecuali setelah dirinya menjadi orang yang sempurna, niscaya tidak akan ada pemberi nasehat. Akan menjadi sedikit jumlah orang yang mau memberi peringatan dan tidak akan ada orang-orang yang berdakwah di jalan Allah Azza wa Jalla, tidak ada yang mengajak untuk tata kepada-Nya, tidak pula melarang untuk memaksiati-Nya.

Namun dengan berkumpulnya ulama dan kaum mukminin, sebagian memperingatkan kepada sebagian yang lain, niscaya hati orang-orang yang bertakwa akan hidup dan mendapat peringatan dari kelalaian serta aman dari lupa dan kekhilafan. Maka terus-meneruslah berada pada majelis-majelis dzikir (majelis ilmu), semoga Allah Azza wa Jalla mengampuni kalian. Bisa jadi (ada) satu kata yang terdengar (di sana) dan kata itu merendahkan (diri kita) namun sangat bermanfaat (bagi kita). Bertakwalah kalian semua kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar takwa dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan muslim."

Pada suatu hari beliau rahimahullah pergi menemui murid-murid beliau dan mereka tengah berkumpul, maka beliau rahimahullah berkata: "Demi Allah Azza wa Jalla, sungguh! Andai saja salah seorang dari kalian mendapati salah seorang dari generasi pertama (umat ini) sebagaimana yang telah aku dapati, serta melihat salah seorang dari Salafush Shalih sebagaimana yang telah aku lihat, niscaya di pagi hari dia dalam keadaan bersedih hati dan pada sore harinya dalam keadaan berduka. Dia pasti mengetahui bahwa orang yang bersungguh-sungguh dari kalangan kalian (hanya) seperti orang yang bermain-main. Dan seorang yang rajin dari kalangan kalian (hanya) serupa dengan orang yang suka meninggalkan. Seandainya aku ridha terhadap diriku sendiri pastilah aku akan memperingatkan kalian (dengannya), akan tetapi Allah Azza wa Jalla Maha Tahu bahwa aku tidak senang terhadapnya, oleh karena itu aku membencinya."

(Mawa'izh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 185-187)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.19/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.

Hakikat Dunia

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, berkata:
"Tidaklah dunia ini seluruhnya dari awal hingga akhirnya kecuali ibarat seseorang yang tertidur sejenak, kemudian bermimpi melihat sesuatu yang disenanginya, kemudian terbangun."

Makna tersebut diambil dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Tidaklah aku di dunia ini melainkan (hanya) seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon lalu beristirahat dan kemudian meninggalkannya (pohon tersebut)." (HR. At-Tirmidzi no. 3277)
(Mawa'izh Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 170)

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah, berkata:
"Beramaklah untuk duniamu sesuai keadaan tinggalmu di sana. Dan beramallah untuk akhiratmu sesuai kadar kekekalanmu di sana." (Mawa'izh Lil Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 49)

Al-Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata:
"Seandainya dunia dengan seluruh isinya berada di bawah kekuasaanku, (sama sekali) tidak membuatku bangga. Dan andaikata seseorang merampas seluruhnya dari tanganku, akupun tidak akan mengejarnya, tidak pula bersedih hati karenanya." (Mawa'izh Lil Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh, hal. 117)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.18/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.

Penghalang Terkabulnya Doa

Seseorang berkata kepada Ibrahim bin Adham rahimahullah: "Allah Azza wa Jalla telah berfirman dalam kitab-Nya: 'Berdoalah kalian kepada-Ku, niscaya aku kabulkan doa kalian.' (Al-Mu'min: 60)
Sedangkan kami telah berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala sekian lama namun tidak juga Allah Azza wa Jalla kabulkan doa kami."

Maka beliaupun menjawab: "Hati kalian telah mati karena sepuluh perkara:
Pertama: Kalian mengenal Allah Azza wa Jalla namun tidak menunaikan hak-Nya.
Kedua: Kalian membaca Kitabullah namun tidak mengamalkannya.
Ketiga: Kalian mengaku cinta kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam namun meninggalkan Sunnahnya.
Keempat: Kalian mengaku musuhnya setan namun sepakat dengannya.
Kelima: Kalian katakan kami cinta jannah (surga) namun tidak beramal untuk itu.
Keenam: Kalian katakan kami takut an-naar (neraka) namun menggadaikan diri-diri kalian kepadanya (an-naar).
Ketujuh: Kalian katakan bahwa sesungguhnya kematian itu pasti (terjadi) namun kalian tidak bersiap-siap untuknya.
Kedelapan: Kalian sibuk dengan aib-aib saudara kalian dan mencampakkan aib-aib diri sendiri.
Kesembilan: Kalian memakan nikmat Rabb kalian namun tidak mensyukurinya.
Kesepuluh: Kalian mengubur mayit-mayit kalian dan tidak mengambil pelajaran darinya.

(Al-Hilyah, jilid 8 hal. 15-16)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.17/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.

Tangisan Seorang Muslim

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata: "Barangsiapa yang ilmunya membuat dia menangis, maka dia seorang yang alim."

Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Qur'an dibacakan kepadanya, mereka menyungkurkan muka mereka sambil bersujud." (Al-Isra: 107)

Dan Allah berfirman: "Apabila dibacakan ayat-ayat Ar Rahman (Dzat yang Maha Pemurah) kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan sujud dan menangis." (Maryam: 58)
(Mawa'izh lil Imam Sufyan Ats-Tsauri, hal. 132-133)

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

"Andai seseorang menangis pada sekumpulan manusia karena takut kepada Allah, niscaya mereka dirahmati semuanya."

"Tidak ada satu amalanpun kecuali ada timbangannya yang jelas kecuali menangis karena takut kepada Allah. Allah tidak membatasi sedikitpun nilai dari setiap tetes air matanya."

Dan beliau juga berkata: "Tidaklah seseorang menangis kecuali hatinya menjadi saksi akan kebenaran atau kedustaan dia."

(Mawa'izh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 109)

Abdul Karim bin Rasyid rahimahullah berkata: Aku pernah berada di majelis Al-Hasan Al-Bashri, kemudian ada yang menangis dengan mengeraskan tangisannya. Maka Al-Hasan berkata: "Sesungguhnya sekarang setan telah membuat orang ini menangis." (Mawa'izh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 152)

Al-Imam Fudhail bin 'Iyyadh rahimahullah berkata: "Menangis itu bukanlah dengan tangisan mata (saja). Akan tetapi dengan menangisnya hati. Sungguh, ada seseorang yang terkadang kedua matanya menangis sementara hatinya mengeras. Karena tangisan seorang munafik adalah dengan kepalanya bukan dengan hatinya." (Mawa'izh lil Imam Al-Fudhail bin 'Iyyadh, hal. 54)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.11/I/1425 H/2004, rubrik Permata Salaf.

Pelajaran Dari Nasehat Kepada Penguasa

Al-Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh memberi nasehat kepada Khalifah Harun Al-Rasyid:
"Sesungguhnya 'Umar bin Abdul 'Aziz ketika memegang tampuk kekuasaan, beliau memanggil Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab Al-Qurdhi, dan Raja' bin Haiwah, kemudian berkata kepada mereka:
"Aku sedang diuji dengan musibah ini (yaitu kekuasaan yang ada pada beliau), maka bermusyawarahlah kalian denganku." Demikianlah, Umar bin Abdul 'Aziz menganggap kekuasaan adalah suatu musibah, sedangkan Anda dan pejabat-pejabat Anda (wahai Harun) menilainya sebagai suatu nikmat.
Kemudian Salim bin Abdullah berkata kepada Umar bin Abdul 'Aziz: "Jika anda ingin selamat dari azab Allah, maka berpuasalah dari dunia dan jadikanlah kematian untuk berbuka."

Muhammad bin Ka'ab berkata kepada Umar bin Abdul 'Aziz: "Jika engkau ingin selamat dari azab Allah, jadikanlah orang-orang tua kaum muslimin sebagai ayah dan kalangan mudanya sebagai saudara serta anak-anak kecilnya sebagai putramu."

Kemudian Raja' berkata kepad Umar: "Jika engkau ingin selamat dari azab Allah maka senangilah untuk kaum muslimin apa yang engkau cintai bagi dirimu dan bencilah untuk kaum muslimin apa yang engkau benci bagi dirimu, kemudian matilah jika engkau telah dikehendaki."

Aku nasehatkan kepadamu (wahai Harun): "Sesungguhnya aku benar-benar sangat mengkhawatirkanmu akan suatu hari yang pada hari itu kaki-kaki ini akan digelincirkan. Maka adakah pada dirimu -semoga Allah merahmatimu- apa yang ada pada diri Umar bin Abdul 'Aziz? Atau adakah orang yang mengajakmu bermusyawarah sebagaimana mereka ini (bermusyawarah dengan Umar?)"

(Disarikan dari Mawa'izh lil Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh, hal. 122-123)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.16/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.

Introspeksi Diri

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) menintrospeksi diri karena Allah Subhanahu wa Ta'ala semata."

"Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan."

"Sesungguhnya seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka dia pun berbisik: 'Demi Allah, sungguh aku benar-benar menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi Allah, tiada (alasan syar'i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu'."

"Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: 'Apa yang aku maukan dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur (alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi lagi selama-lamanya, insya Allah'."

"Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al Qur'an dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur'an serta berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka. "Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggung jawaban atas semua itu. Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki nasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan."

(Mawa'izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.15/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.

Kewajiban Mengikuti Sunnah Nabi

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Sederhana dalam As-Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh di dalam bid'ah." (Ibnu Nashr, 30, Al-Lalikai 1/88 no. 114, dan Al-Ibanah 1/320 no. 161)

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata:
"Tetaplah kamu beristiqamah dan berpegang dengan atsar serta jauhilah bid'ah." (Al-I'tisham, 1/112)

Al-Imam Az-Zuhri rahimahullah berkata:
Ulama kita yang terdahulu selalu mengatakan: "Berpegang dengan As-Sunnah adalah keselamatan. Ilmu itu tercabut dengan segera, maka tegaknya ilmu adalah kekokohan Islam sedangkan dengan perginya para ulama akan hilang pula semua itu (ilmu agama)." (Al-Lalikai 1/94 no. 136 dan Ad-Darimi, 1/58 no. 16)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata:
"Berhati-hatilah kamu, jangan sampai menulis masalah apapun dari ahli ahwa', sedikit atau pun banyak. Berpeganglah dengan Ahlul Atsar dan Ahlus Sunnah." (As-Siyar, 11/231)

Al-Imam Al-Auza'i rahimahullah berkata:
"Berpeganglah dengan atsar Salafus Shalih meskipun seluruh manusia menolakmu dan jauhilah pendapat orang-orang (selain mereka) meskipun mereka menghiasi perkataannya terhadapmu." (Asy-Syari'ah hal. 63)

(Lammuddurril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur, karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.14/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.
 
Musibah

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata:
"Apabila air laut telah meluap menerobos ke daratan, maka siapakah yang sanggup membendungnya?!" (Beliau inginkan dengan perkataan itu untuk memberi peringatan terhadap banyaknya kemungkaran) (Mawa'izh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah hal. 90)

Al-Imam Fudhail bin 'Iyyadh rahimahullah berkata:
"Menangislah kalian atas orang-orang yang ditimpa bencana. Jika dosa-dosa kalian lebih besar dari dosa-dosa mereka (yang ditimpa musibah -red), maka ada kemungkinan kalian bakal dihukum atas dosa-dosa yang telah kalian perbuat, sebagaimana mereka telah mendapat hukumannya, atau bahkan lebih dahsyat dari itu." (Mawa'izh Al-Imam Fudhail bin 'Iyyadh rahimahullah hal. 73)

"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla benar-benar menjanjikan adanya ujian bagi hamba-Nya yang beriman, sebagaimana seseorang berwasiat akan kebaikan pada keluarganya." (Mawa'izh Al-Imam Fudhail bin 'Iyyadh rahimahullah, hal. 111)

"Tidak ada musibah yang lebih besar dari musibah yang menimpa kita, (di mana) salah seorang dari kita membaca Al Qur'an siang dan malam akan tetapi tidak mengamalkannya, sedangkan semua itu adalai risalah-risalah dari Rabb kita untuk kita." (Mawa'izh Al-Imam Fudhail bin 'Iyyadh rahimahullah, hal. 32)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
"Semua orang mukmin itu berbeda dengan orang kafir dengan sebab dia beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, membenarkan apa saja yang dikabarkan oleh para Rasul tersebut, menaati segala yang mereka perintahkan dan mengikuti apa saja yang diridhai dan dicintai Allah Azza wa Jalla. Dan bukannya (pasrah) terhadap ketentuan dan takdir-Nya yang berupa kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan-kemaksiatan. Akan tetapi (hendaknya) dia ridha terhadap musibah yang menimpanya bukan terhadap perbuatan-perbuatan tercela yang telah dilakukannya. Maka terhadap dosa-dosanya, dia beristighfar (minta ampun) dan dengan musibah-musibah yang menimpanya dia bersabar." (Makarimul Akhlaq, Syaikhul Islam Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah, hal. 281)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.13/II/1426 H/2005, rubrik Permata Salaf.

Hakikat Umur Kita

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

"Wahai anak Adam, (masa) siangmu adalah tamumu, maka berbuat baiklah terhadapnya. Karena sungguh, jika engkau berbuat baik kepadanya, niscaya dia akan pergi dengan memujimu. Dan apabila engkau berbuat buruk terhadapnya maka dia akan pergi dengan mencercamu, begitu pula dengan malammu."

"Wahai anak Adam, injaklah bumi ini dengan kakimu. Sungguh, sekecil apapun dia, pasti bakal menguburmu. Sesungguhnya engkau itu senantiasa sedang mengurangi usiamu, semenjak engkau dilahirkan dari perut ibumu."

"Wahai anak Adam, engkau dapati pagimu berada di antara dua waktu, yang keduanya tak mungkin meninggalkanmu, yakni bahayanya malam dan bahayanya siang. Sampai engkau mendatangi negeri akherat, yang bisa jadi engkau datang ke al-jannah (surga) dan bisa jadi engkau ke an-naar (neraka). Maka siapakah yang bahayanya lebih besar dari dirimu sendiri?"

"Wahai anak Adam, engkau hanyalah (laksana) hari-hari yang setiap kali berlalu satu hari maka hilanglah pula sebagian dari dirimu."

(Mawa'izh lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 35)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.12/I/1425 H/2004, rubrik Permata Salaf.

Bekerja Dan Beramal

Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata:
Wahai saudaraku, hendaknya engkau memiliki pekerjaan dan penghasilan yang halal yang kamu peroleh dengan tanganmu. Hindari memakan atau mengenakan kotoran-kotoran manusia (maksudnya pemberian manusia -ed). Karena sesungguhnya orang yang memakan kotoran manusia, permisalannya laksana orang yang memiliki sebuah kamar di bagian atas, sedangkan yang di bawahnya bukan miliknya. Ia selalu dalam ketakutan akan terjatuh ke bawah dan takut kamarnya roboh. Sehingga orang yang selalu memakan kotoran-kotoran manusia akan berbicara sesuai hawa nafsu. Dan dia merendahkan dirinya di hadapan manusia karena khawatir mereka akan menghentikan (bantuannya) untuknya.

Wahai saudaraku, jika engkau menerima sesuatu dari manusia maka engkau pun memotong lisanmu (tidak berani bicara di saat wajib menegur mereka). Dan engkau memuliakan sebagian orang kemudian merendahkan sebagian yang lain, padahal ada balasan yang akan menimpamu dihari kiamat. Maka harta yang diberikan seseorang kepadamu hakikatnya adalah kotoran dia, dan tafsir dari kotoran dia adalah pembersihan amalannya dari dosa-dosa. Jika engkau menerima sesuatu dari manusia, maka saat mereka mengajakmu kepada kemungkaran engkau pun menyambutnya. Sehingga, sungguh orang yang memakan kotoran manusia bagaikan orang yang memiliki sekutu-sekutu dalam suatu perkara yang mau tidak mau dia akan menjadi bagian dari mereka.

Wahai saudaraku, kelaparan dan ibadah yang sedikit itu lebih baik daripada engkau kenyang dengan kotoran-kotoran manusia sekalipun banyak beribadah. Sungguh telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
"Andai salah seorang dari kalian mengambil seutas tali lalu mengumpulkan kayu bakar kemudian memikulnya di belakang punggungnya, niscaya lebih baik baginya daripada menetapi (terus-menerus) meminta kepada saudaranya, atau mengharap darinya."

(Dinukil dari kitab Mawa'izh Lil Imam Sufyan Ats-Tsaury, hal. 82-84)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.10/I/1425 H/2004, rubrik Permata Salaf.

Dosa

Umar bin 'Abdul Aziz rahimahullah berkata:
"Aku tidak pernah berdusta saat aku mengetahui bahwa kedustaan merugikan pelakunya." (Siyar A'lam An-Nubala, 5/121)

Ibn Syubrumah rahimahullah berkata:
"Aku heran terhadap manusia yang menjaga makanannya dalam keadaan takut terhadap penyakit, akan tetapi dia tidak menjaga dari perbuatan dosa dalam keadaan takut ancaman neraka." (Siyar A'lam An-Nubala, 6/348)

Thalaq bin Habib rahimahullah berkata:
"Sesungguhnya hak-hak Allah itu lebih besar dari yang bisa hamba tunaikan dan nikmat Allah itu lebih banyak dari yang bisa dihitung. Maka hendaknya seseorang itu bertaubat di pagi dan sore hari." (Siyar A'lam An-Nubala, 4/602)

Syaqiq bin Ibrahim rahimahullah berkata:
"Tanda taubat ialah menangis (menyesal) atas perbuatan (dosa) yang telah dilakukan dan takut akan terjatuh kembali ke dalam dosa (tersebut), tidak bergaul dengan orang-orang yang jahat dan senantiasa bersama orang-orang yang baik." (Siyar A'lam An-Nubala, 9/315)

Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no.09/I/1425 H/2004, rubrik Permata Salaf.

Akhir Perjalanan Ahli Bid’ah

Dari Abu Qilabah rahimahullah, beliau berkata:
"Tidak ada seseorang yang mengadakan suatu kebid'ahan melainkan suatu saat dia akan menganggap halal menghunus pedang (menumpahkah darah kaum muslimin, atau memberontak kepada pemerintah)."(Al-I'tisham, 1/112, Ad-Darimi, 1/58 no. 99)

Ayyub rahimahullah biasa menamakan ahli bid'ah itu sebagai Khawarij. Beliau mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang Khawarij itu hanya berbeda dalam hal nama dan julukan, namun mereka sepakat dalam hal menghalalkan darah kaum muslimin." (Al-I'tisham, 1/113)

Ada seseorang berkata kepada Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu: "Segala puji hanya bagi Allah yang telah menjadikan hawa nafsu kami berjalan di atas hawa nafsu kalian (yakni para shahabat)."
Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhu segera menimpali, "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kebaikan sedikitpun di dalam hawa nafsu itu. Ia dinamakan hawa karena ia menjerumuskan pemiliknya ke dalam neraka." (Asy-Syarhu wal Ibanah hal. 123 no. 62)

(Diambil dari Lammud Durril Mantsur minal Qaulil Ma'tsur karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al-Haritsi)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 08/I/1425H/2004, rubrik Permata Salaf.

Al-Ilmu

Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah berkata:
"Para ulama di muka bumi seperti bintang-bintang di langit. Bila bintang-bintang itu tampak, maka orang-orang mengambil petunjuk dengan bintang-bintang itu. Dan bila bintang-bintang itu tidak terlihat oleh mereka, mereka menjadi bingung."

Abul Aswad Ad-Duali rahimahullah berkata:
"Tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu. Para raja adalah hakim atas para manusia sedangkan para ulama adalah hakim atas raja-raja."

Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata: "Akan lahir dari ilmu: kemuliaan walaupun orangnya hina, kekuatan walaupun orangnya lemah, kedekatan walaupun orangnya jauh, kekayaan walaupun orangnya fakir, dan kewibawaan walaupun orangnya tawadhu'."

Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah berkata: "Orang yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah orang yang kedudukannya berada di antara Allah dan hamba-hamba-Nya. Mereka adalah para Nabi dan para ulama."

(Diambil dari Tadzkiratus Sami' wal Mutakallim fi Adabil 'Alim wal Muta'allim, Ibnu Jamaah Al-Kinani)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 07/I/1425H/2004, rubrik Permata Salaf.

Menjauhi Popularitas

Dari Habib bin Abi Tsabit, katanya:
"Pada suatu hari Abdullah bin Mas'ud keluar dari rumahnya kemudian manusia membuntutinya. Ia bertanya: 'Apakah kalian punya keperluan?'. 'Tidak, akan tetapi kami ingin berjalan bersamamu', jawab mereka.
'Kembalilah, sesungguhnya hal itu sebuah kehinaan bagi yang mengikuti dan membahayakan (fitnah) hati bagi yang diikuti,' tukas Ibnu Mas'ud. (Shifatush Shafwah, 1/406)

Dari Al-Harits bin Suwaid, katanya:
"Abdullah bin Mas'ud berkata: 'Seandainya kalian mengetahui diriku (seperti) yang aku ketahui, pasti kalian akan menaburi tanah di atas kepalaku'." (Shifatush Shafwah, 1/406, 497)

Dari Bistham bin Muslim, katanya:
"Adalah Muhammad bin Sirin jika berjalan dengan seseorang, ia berdiri dan berkata, 'Apakah kamu punya keperluan?'. Jika orang yang berjalan bersamanya mempunyai keperluan, maka ia tunaikan. Dan jika kembali berjalan bersamanya, ia bertanya lagi, 'Apakah kamu mempunyai keperluan?'." (Shifatush Shafwah, 3/243)

Dari Al-Hasan, salah seorang murid Ibnul Mubarak, katanya:
"Pada suatu hari aku bepergian bersama Ibnul Mubarak. Lalu kami mendatangi tempat air minum di mana manusia berkerumun untuk mengambil airnya. Ibnul Mubarak mendekat untuk minum. Tidak ada seorang pun yang mengenalnya sehingga mereka mendesak dan menyingkirkannya. Ketika telah keluar, berkatalah ia kepadaku, 'Inilah kehidupan, yaitu kita tidak dikenal dan tidak dihormati.'

Ketika di Kufah, kitab manasik dibacakan kepadanya, hingga sampai pada hadits dan terdapat ucapan Abdullah bin Al-Mubarak (Ibnul Mubarak, red) dan kami mengambilnya. Ia berkata, 'Siapa yang menulis ucapanku ini?' Aku katakan, 'Penulis.'

Maka ia mengerik tulisan itu dengan jari tangannya hingga terhapus kemudian berkata, 'Siapakah aku hingga ditulis ucapannya?'." (Shifatush Shafwah, 4/135)

Dari seseorang, katanya:
"Aku melihat wajah Al-Imam Ahmad sangat muram setelah dipuji seseorang (dengan ucapan) 'Jazakallahu khairan (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan, red) atas perjuangan Islam anda'. Al-Imam Ahmad berkata, 'Bahkan Allah telah memberikan kebaikan Islam kepadaku. Siapakah dan apa aku ini?'." (Siyar A'lamin Nubala, 11/225)

(Dikutip dari kitab Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf, hal. 23-24)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 06/I/Muharram 1425 H/Maret 2004, rubrik Permata Salaf.

Iman

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata kepada sahabatnya: "Marilah kita menambah iman!" Lalu mereka berdzikir kepada Allah.

Hubaih bin Hamasah radhiyallahu 'anhu berkata:
"Sesungguhnya iman bertambah dan berkurang."
Ia ditanya: "Apakah tanda bertambah dan berkurangnya?"
Ia menjawab: "Jika kita mengingat dan takut kepada Allah, maka itu tanda tambahnya keimanan. Dan jika kita lalai, lupa, dan menyia-nyiakan waktu, itu pertanda berkurangnya iman."

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Semua keyakinan yang benar adalah keimanan." (Maksudnya keyakinan yang mendorong amal shalih).

Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu berkata:
"Marilah duduk bersamaku untuk beriman (berdzikir) sesaat."

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:
"Aku mencari jannah (surga) dengan keyakinan, dan lari dari neraka dengan keyakinan." (Maksudnya dengan iman).

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah menulis surat kepada 'Adi bin 'Adi:
"Sesungguhnya iman mempunyai kewajiban-kewajiban, syariat-syariat, hukum-hukum, dan sunnah-sunnahnya. Barangsiapa menyempurnakan perkara-perkara tersebut, maka ia telah menyempurnakan keimanannya. Dan barangsiapa tidak menyempurnakannya, berarti ia belum menyempurnakan keimanannya. Jika aku masih diberi umur panjang, aku akan menjelaskan masalah ini kepadamu hingga kamu melaksanakannya. Jika aku mati, maka aku memang tidak bersemangat untuk bersama kalian."

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata:
"Bila keimanan bersemi dalam hati sesuai dengan tuntunan syariat, niscaya hati rindu terbang ke jannah dan takut dari siksa neraka."

Luqman berkata:
"Amal tidak mampu tegak kecuali dengan iman. Barangsiapa lemah keimanannya, maka lemah amalnya."

Abdullah bin Ukaim rahimahullah berkata:
"Aku mendengar Abdullah bin Mas'ud berdoa: 'Ya Allah tambahlah keimanan, keyakinan, dan pemahamanku."

(Dari Fathul Bari karya Ibnu Rajab Al-Hanbali, Maktabah Sahab)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 05/I/Dzulqa'dah 1424 H/Februari 2004, rubrik Permata Salaf.

Takut Kepada Allah Azza Wa Jalla

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Kalian dalam perjalanan malam dan siang, umur-umur berkurang, amal-amal tercatat serta kematian datang dengan tiba-tiba. Siapa yang menanam kebaikan akan segera menuai kesenangan, siapa yang menanam kejelekan akan segera menuai penyesalan. Setiap penanam akan mendapatkan apa yang ditanam. Yang telah menjadi bagiannya tidak akan meleset darinya, dan ketamakan tidak akan meraih apa yang tidak ditakdirkan. Siapa yang memberi kebaikan maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberinya kebaikan dan siapa yang menjaga diri dari kejelekan maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menjaganya. Orang-orang bertakwa adalah pemimpin, ahli fiqih adalah penuntun, dan duduk bersama mereka adalah tambahan (ilmu). (Siyar A'lamin Nubala, 1/497)

Abu Ubaidah radhiyallahu 'anhu berkata:
"Ketahuilah, berapa banyak orang memutihkan baju tapi mengotori agama. Ketahuilah berapa banyak manusia memuliakan diri sendiri padahal ia hina. Gantilah amal-amal jelek yang telah lewat dengan amal-amal baik sekarang!" (Siyar A'lamin Nubala, 1/18)

Qubaishah bin Qais Al Anbari rahimahullah berkata:
Adalah Adh Dhahak bin Muzahim bila datang waktu sore selalu menangis. Lalu ia ditanya: "Mengapa kamu menangis?" Ia menjawab: "Aku tidak tahu apakah amalku naik (diterima di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala) pada hari ini." (Shifatush Shafwah, 4/150)

Al Qasim bin Muhammad rahimahullah berkata:
"Kami pernah bepergian bersama Ibnul Mubarak dan banyak pertanyaan terlintas di benakku terhadap dirinya, apa yang menyebabkan lelaki ini dihormati hingga ia sangat populer di kalangan manusia? Jika ia shalat, puasa, jihad, dan haji, kami juga shalat, puasa, jihad dan haji. Pada suatu perjalanan menuju Syam pada malam hari, kami makan malam di sebuah rumah. Tiba-tiba lampu mati. Seseorang berdiri mengambil lampu dan menyalakannya. Sejenak ia diam kemudian lampu menyala. Sesaat kemudian aku melihat wajah Ibnul Mubarak dan janggutnya basah dengan air mata. Batinku berkata: "Karena rasa takut itulah lelaki ini dihormati melebihi kami, barangkali ketika lampu dibawa, ia berjalan menuju kegelapan dan mengingat hari kiamat lalu menangis." (Shifatush Shafwah, 4/140)

Ibnu Syaudzab rahimahullah berkata:
Ketika Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu wafat, dia menangis. Ia ditanya mengapa menangis, ia menjawab: "Jauhnya perjalanan akherat, sedikitnya bekal, dan perjalanan menanjak. Orang yang jatuh ke dalamnya bisa jadi jatuh ke dalam surga atau ke dalam neraka." (Siyar A'lamin Nubala, 1/694)

(Dipetik dari Aina Nahnu Min Akhlaqis Salaf, hal. 17-18)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 04/I/Syawal 1424 H/Desember 2003, rubrik Permata Salaf.

Takwa

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu berkata:
"Orang yang bertakwa adalah orang-orang yang takut kepada Allah dan siksa-Nya ketika ia meninggalkan petunjuk yang diketahui, dan mengharap rahmat-Nya ketika membenarkan wahyu yang Dia turunkan."

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:
"Takwa bukanlah hanya dengan puasa di siang hari, shalat malam dan menggabungkan dua amalan ini. Namun takwa adalah meninggalkan apa yang diharamkan Allah dan menunaikan kewajiban-Nya. Barangsiapa yang diberi karunia kebaikan setelahnya, itu adalah kebaikan di atas kebaikan."

Tholq bin Habib rahimahullah berkata:
"Takwa adalah taat kepada Allah di atas cahaya-Nya (ilmu) dengan mengharap pahala-Nya dan meninggalkan maksiat di atas cahaya Allah karena takut akan siksa-Nya."

Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Takwa adalah Allah ditaati dan tidak didurhakai, diingat dan tidak dilupakan, disyukuri (kenikmatan-Nya) dan tidak diingkari."

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu ditanya tentang takwa, maka beliau menjawab:
"Apakah kamu pernah menginjak jalan yang berduri?"
"Ya," jawab penanya.
"Lalu apa yang kamu lakukan?" tanya Abu Hurairah.
Dia berkata, "Jika aku melihat duri maka aku menghindarinya, atau aku lewati atau aku memagarinya."
Abu Hurairah berkata: "Itulah takwa."

(Dinukil dari Jami'ul 'Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab, hal. 244-245)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 03/I/Ramadhan 1424 H/Oktober-November 2003, rubrik Permata Salaf.

Bahaya Bid’ah

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Ikutilah jejak kami dan janganlah kamu mengadakan kebid'ahan. Sungguh agama Islam telah mencukupi bagi kehidupan kalian."

Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu berkata:
"Sesungguhnya di belakang hari banyak terjadi fitnah, yang padanya banyak harta, Al Qur'an terbuka sehingga orang beriman, orang munafik, laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, budak dan orang merdeka mengambilnya, hingga ada orang berkata: "Mengapa manusia tidak mengikutiku padahal aku telah menyampaikan Al Qur'an? (Ternyata) mereka tidak akan mengikuti hingga aku mengadakan kebid'ahan untuk mereka." Waspadalah terhadap kebid'ahan yang diadakan oleh suatu kaum karena mereka telah sesat. Aku memperingatkan kalian dari hakim yang sesat, sesungguhnya setan berkata sesat melalui lisan hakim dan orang munafik terkadang berkata benar."

Abu Idris Al Khaulani rahimahullah berkata:
"Aku melihat kobaran api di masjid yang tidak bisa aku padamkan lebih aku sukai daripada aku melihat kebid'ahan di masjid yang aku tidak bisa mengubahnya."

Abdullah bin Al Mubarak rahimahullah berkata:
"Ketahuilah wahai saudaraku! Sesungguhnya kematian adalah karamah bagi seorang muslim yang bertemu Allah di atas As Sunnah, maka (kita ucapkan) inna lillahi wa inna wa inna ilaihi raji'un dan mengadu kepada Allah akan keterasingan kita, hilangnya saudara-saudara kita, sedikitnya penolong As Sunnah dan bermunculannya kebid'ahan, dan inna lillahi wa inna wa inna ilaihi raji'un kita mengadukan kepada Allah terhadap hilangnya para ulama, pengikut As Sunnah, dan terhadap bermunculannya kebid'ahan yang menimpa umat ini."

(Dinukil dari Mukhtashar Kitab Al I'tisham karya Imam Asy Syathibi, hal. 23-26)
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 02/I/Sya'ban 1424 H/September 2003, rubrik Permata Salaf.

Ittiba’, Kewajiban Mengikuti Sunnah*

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata:
"Sederhana dalam Sunnah (menjalankan ajaran Rasulullah) lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid'ahan."

Ubai bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu berkata:
"Kamu harus berpegang dengan jalan Allah dan As Sunnah. Sesungguhnya orang yang berjalan di atas jalan Allah dan As Sunnah kemudian mengingat Ar Rahman (Allah) hingga air matanya menetes karena takut kepada-Nya, tidak akan tersentuh api neraka. Sesungguhnya sederhana dalam jalan Allah dan As Sunnah lebih baik daripada bersungguh-sungguh dalam kebid'ahan."

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata:
"Hai Yusuf! Jika ada seorang Ahlus Sunnah dari negeri timur maka sampaikanlah salamku kepadanya, dan jika ada seorang Ahlus Sunnah dari negeri barat maka sampaikanlah salamku kepadanya. Sungguh Ahlus Sunnah wal Jama'ah sangat sedikit jumlahnya."

Yunus bin Abi A'la rahimahullah berkata:
Aku mendengar Imam Syafi'i berkata, "Jika aku melihat seorang lelaki Ahli Hadits seolah aku melihat shahabat Nabi."

(Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, 33-34)

Al Auza'i rahimahullah berkata:
"Kami berjalan kemana As Sunnah berjalan."
(Syarah Ushul I'tiqad Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Al Imam Al Lalikai, 1/64)

Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ud rahimahullah berkata:
"Kamu tidak akan salah selamanya asal kamu di atas As Sunnah."
(At Thabaqat, 1/71, Al Hujajul Qawiyyah, 30)

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:
"Kamu haruslah komitmen dengan As Sunnah, sesungguhnya As Sunnah menjagamu dengan ijin Allah."
(Al Hilyah, 5/338, Al Hujajul Qawiyyah, 30)

*Definisi As Sunnah adalah mengamalkan Al Qur'an dan Hadits serta mengikuti pendahulu yang shalih serta berittiba' (berteladan) dengan jejak mereka.
Sumber: Majalah Asy Syari'ah, no. 05/I/Jumadil Akhir 1424 H/Agustus 2003, rubrik Permata Salaf.

Ikhlas

Yahya bin Abi Katsir rahimahullah brkata: "Pelajarilah niat karena niat lebih sempurna daripada amal."

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata: "Berapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niat."

Yusuf bin Al Husain Ar Razi rahimahullah berkata: "Perkara yang paling berat di dunia adalah ikhlash. Aku sering menghilangkan riya' dari hatiku tetapi seolah tumbuh lagi di hatiku dengan warna yang berbeda."

Mutharrif bin Abdullah rahimahullah berkata: "Baiknya hati tergantung dari baiknya amal dan baiknya amal tergantung dari baiknya niat."

Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata: "Sesuatu yang paling berat mengobatinya bagiku adalah niatku, karena niatku senantiasa berbolak-balik."

Seorang ahli cerita yang suka menasehati orang berdiri dekat Muhammad bin Wasi', lalu berkata, "Betapa aku melihat hati manusia tidak khusyu' tidak menangis, dan kulit tidak bergetar dengan nasehat. Mengapa?"
Muhammad berkata, "Hai fulan, aku melihat manusia datang dari sisimu, sesungguhnya peringatan itu jika keluar dari hati (yakni dilakukan secara ikhlas-red) maka akan diterima hati."
(Shifatus Shofwah, 4/269, Aina Nahnu min Akhlaqis Salaf)

(Dinukil dari kitab Jami'ul 'Ulum wal Hikam karya Ibnu Rajab Al Hambaly)
Sumber: Majalah Syari'ah, no.04/I/Jumadil Ula 1424 H/Juli 2005, rubrik Permata Salaf.

Sabar

Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu berkata: "Kehidupan yang terbaik kami dapatkan dengan sabar. Jika sabar itu ada pada seseorang, pasti ia tergolong orang dermawan."

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu berkata: "Posisi sabar bagi iman seperti posisi kepala bagi tubuh. Jika kepala terputus maka matilah badan. Ketahuilah, tidak beriman orang yang tidak sabar."

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata: "Allah tidak memberi suatu kenikmatan kepada salah seorang hamba-Nya kemudian Dia mencabutnya dari orang tersebut dan menggantinya dengan sabar, maka penggantinya itu lebih baik daripada apa yang dicabut darinya."

Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: "Sabar adalah salah satu kekayaan dari kekayaan yang baik. Allah tidak memberikan kecuali kepada hamba-Nya yang mulia di sisi-Nya."

(Dinukil dari kitab 'Uddatush Shabirin wa Dzakhiratisy-Syakirin karya Syamsudin Muhammad bin Abu Bakar Ibnu Qayyim Al Jauziyah)
Sumber: Majalah Syari'ah No.03/I/Rabi'ul Akhir 1424 H/Juni 2003, rubrik Permata Salaf.

Zuhud Terhadap Dunia

Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu mendatangi negeri Syam. Kedatangannya disambut para amir dan pembesar. Umar berkata: "Di mana saudaraku Abu Ubaidah?" Mereka menjawab: "Ia akan datang kepadamu sekarang juga."

Tak lama kemudian Abu Ubaidah datang sambil menaiki seekor unta yang hidungnya diikat dengan tali. Ia mengucapkan salam kepada Umar kemudian berkata kepada orang-orang: "Tinggalkanlah kami!"

Maka Umar berjalan bersama Abu Ubaidah hingga tiba di rumahnya. Ia pun singgah di rumah itu. Ternyata di dalam rumah itu, umar tidak menjumpai barang apapun kecuali hanya pedang, perisai, dan pelana untuk kuda. Maka Umar berkata: "Mengapa kamu tidak mengumpulkan harta?" Abu Ubaidah menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya barang-barang inilah yang bisa menyampaikan kami ke tempat peristirahatan (akhirat) dengan selamat."

(Siyar A'laamin Nubala I/16)

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata: "Barangsiapa yang menginginkan akhirat, berarti ia akan mengalami kesulitan di dunia. Barangsiapa menghendaki dunia, maka dia akan mengalami kesulitan di akhirat. Wahai sekalian manusia, bersusah payahlah kalian dengan sesuatu yang musnah untuk kebahagiaan yang kekal." (Siyar A'laamin Nubala I/496)

Abu Darda radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku memohon perlindungan kepada Allah dari hati yang bercerai-berai." Ia ditanya: "Bagaimana hati yang bercerai-berai itu?" Abu Darda menjawab: "Di setiap lembah milikku selalu ada hartanya." (Siyar A'laamin Nubala II/348)

(Dinukil dari kitab Aina Nahnu min Akhlakis Salaf karya Abdul Aziz bin Nashirul Jalil dan Bahaud-Din bin Fatih 'Aqil)
Sumber: Majalah Syari'ah no.02/I/Rabi'ul Awwal 1424 H/Mei 2003, rubrik Permata Salaf.

Sebab Hilangnya Agama

Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Jangan ada dari kalian taklid kepada siapapun dalam perkara agama sehingga bila ia beriman (kamu) ikut beriman dan bila ia kafir (kamu) ikut pula kafir. Jika kamu ingin berteladan, ambillah contoh orang-orang yang telah mati, sebab yang masih hidup tidak aman dari fitnah."

Abdullah bin Ad Dailamy berkata:
"Sebab pertama hilangnya agama ini adalah ditinggalkannya As Sunnah (ajaran Nabi). Agama ini akan hilang Sunnah demi Sunnah sebagaimana lepasnya tali seutas demi seutas."

Abdullah bin 'Athiyah berkata:
"Tidaklah suatu kaum berbuat bid'ah dalam agama kecuali Allah akan mencabut dari mereka satu Sunnah yang semisalnya. Dan Sunnah itu tidak akan kembali kepada mereka sampai hari kiamat."

Muhammad ibnu Syihab Az Zuhri berkata:
"Ulama kami yang terdahulu selalu mengingatkan bahwa berpegang teguh dengan As Sunnah adalah keselamatan. Ilmu akan dicabut dengan segera. Tegaknya ilmu adalah kekokohan agama dan dunia sedangkan hilangnya ilmu maka hilang pula semuanya."

(Dinukil dari kitab Lammudurul Mantsur Minal Qaulil Ma'tsur karya Abu Abdillah Jamal bin Furaihan Al Haritsy)
Sumber : Majalah Syari'ah no.01/I/Shafar 1424 H/April 2003, rubrik Permata Salaf.




Kumpulan nasihat penyejuk jiwa dan wasiat berharga dari generasi Salafus Shalih.
Dikumpulkan oleh akhi Fadhl Ihsan Ebook portabled by Akhukum fillah Abu Harun As Salafy

Sumber : http://faisalchoir.blogspot.com/2011/07/permata-salaf-1.html

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment