Oleh : Ust. Abu Al-Jauzaa'
Bismillah,
Persoalan ikut Pemilu dan berparlemen telah dibicarakan para ulama. Ada yang mengharamkannya secara mutlak seperti mayoritas ulama Yaman, ada juga yang memperbolehkannya pada kondisi tertentu sebagaimana masyhur ternukil di beberapa ulama Saudi. Saya tidak akan menyinggung pendapat yang mengharamkannya, karena itu bukan inti dari maksud ditulisnya artikel ini, tapi lebih fokus pada pendapat yang kedua. Saya ambilkan fatwa dari orang yang kita tidak berselisih tentangnya : Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah.
Beliau pernah ditanya tentang Pemilu di Kuwait dimana telah diketahui/terbukti bahwa mayoritas orang yang mengikuti Pemilu itu adalah kaum muslimin dan para aktifis dakwah yang kemudian terfitnah agamanya (ما حكم الانتخابات الموجودة في الكويت , علماً بأن أغلب من دخلها من الإسلاميين ورجال الدعوة فتنوا في دينهم).
Maka jawab beliau (saya kutip kalimat intinya) :
أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً, لأنه إذا تقاعس أهل الخير من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون الذين ليس عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً
"Aku berpendapat bahwasannya Pemilu itu wajib. Kita wajib memilih orang yang kita pandang padanya terdapat kebaikan. Hal itu karena apabila orang-orang mundur, siapakah yang akan menempati tempat mereka ?. Orang-orang jelek/jahat dan orang-orang tak punya pendirian yang tidak memiliki kebaikan ataupun kejelekan, yang mengikuti setiap seruan. Maka sudah seharusnya kita memilih orang yang kita pandang shaalih.....dst. [dari pertemuan terbuka, kaset no. 2011; selengkapnya silakan baca :sini].
Begitu juga dengan Lajnah Daaimah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah, pernah ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu dan mencalonkan diri padanya dimana negeri kami ini masih berhukum dengan selain hukum Allah ? (هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن بلادنا تحكم بغير ماأنزل الله) ?.
Setelah memaparkan ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata :
إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه تمام الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية
"Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan (pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam" [baca : sini ].
Saya, Anda, rekan Anda, atau ustadz Anda boleh saja tidak sependapat dengan fatwa di atas karena merajihkan pendapat kebalikannya. Tapi inilah realitas pendapat yang beredar di kalangan ulama.
Fatwa yang semacam ini banyak dikeluarkan oleh para ulama kita yang kesemuanya berujung pada pertimbangan maslahat dan mafsadat. Barangsiapa yang melihat ada maslahat yang lebih besar, maka partisipasi itu diperbolehkan. Dan sebaliknya, barangsiapa yang melihat mafsadat lebih banyak, maka partisipasi itu menjadi larangan.
Pemilu atau mencalonkan diri dalam parlemen adalah masalah ijtihadiy dari para ulama kita. Ia bukanlah masalah yang menjadi (salah satu) garis pemisah antara Ahlus-Sunnah dan non-Ahlus-Sunnah. Ia juga seharusnya bukan menjadi masalah yang menjadi asas kita mencela satu dengan yang lainnya.
Jadi,..... mungkinkah seorang salafiy nyoblos Pemilu ?. Jawabnya mungkin. Mungkinkah seorang salafiy masuk dalam parlemen ?. Jawabnya mungkin.
Lantas apa bedanya dengan harakiy atau hizbiy kalau begitu ?. Menilik penjelasan di atas, benang merah pembedanya adalah bahwasannya seorang Salafiy yang (mungkin) ikut Pemilu dan berparlemen hanyalah menginginkan kebaikan semata, mewujudkan kemaslahatan, dan mengecilkan atau bahkan menghilangkan mafsadat. Ia tidak berloyalitas kecuali pada kebenaran.
Terakhir,... mari kita simak penjelasan Asy-Syaikh As-Sadlaan (anggota haiah kibar ulama Saudi) :
لابد من التأكد من كون المسألة معلومة من الدين بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن لدى الإنسان يجعله يتحمس لها ويعطيها أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية فقد تشدد ويعتبر هذا الموضوع معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي المخالف، وقد يتأول أن هذا نوع من الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات - والمسألة فيها سعة وليست بهذا الضيق الاجتهادي
“Harus benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih (kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat”
[Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyaadl].
Semoga catatan kecil ini bermanfaat.
Wallaahu a’lam.
Sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/mungkinkah-salafiy-ikut-pemilu-dan.html
Bismillah,
Persoalan ikut Pemilu dan berparlemen telah dibicarakan para ulama. Ada yang mengharamkannya secara mutlak seperti mayoritas ulama Yaman, ada juga yang memperbolehkannya pada kondisi tertentu sebagaimana masyhur ternukil di beberapa ulama Saudi. Saya tidak akan menyinggung pendapat yang mengharamkannya, karena itu bukan inti dari maksud ditulisnya artikel ini, tapi lebih fokus pada pendapat yang kedua. Saya ambilkan fatwa dari orang yang kita tidak berselisih tentangnya : Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah.
Beliau pernah ditanya tentang Pemilu di Kuwait dimana telah diketahui/terbukti bahwa mayoritas orang yang mengikuti Pemilu itu adalah kaum muslimin dan para aktifis dakwah yang kemudian terfitnah agamanya (ما حكم الانتخابات الموجودة في الكويت , علماً بأن أغلب من دخلها من الإسلاميين ورجال الدعوة فتنوا في دينهم).
Maka jawab beliau (saya kutip kalimat intinya) :
أنا أرى أن الانتخابات واجبة, يجب أن نعين من نرى أن فيه خيراً, لأنه إذا تقاعس أهل الخير من يحل محلهم؟ أهل الشر, أو الناس السلبيون الذين ليس عندهم لا خير ولا شر, أتباع كل ناعق, فلابد أن نختار من نراه صالحاً
"Aku berpendapat bahwasannya Pemilu itu wajib. Kita wajib memilih orang yang kita pandang padanya terdapat kebaikan. Hal itu karena apabila orang-orang mundur, siapakah yang akan menempati tempat mereka ?. Orang-orang jelek/jahat dan orang-orang tak punya pendirian yang tidak memiliki kebaikan ataupun kejelekan, yang mengikuti setiap seruan. Maka sudah seharusnya kita memilih orang yang kita pandang shaalih.....dst. [dari pertemuan terbuka, kaset no. 2011; selengkapnya silakan baca :sini].
Begitu juga dengan Lajnah Daaimah yang diketuai Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah, pernah ditanya : "Bolehkah ikut mencoblos dalam Pemilu dan mencalonkan diri padanya dimana negeri kami ini masih berhukum dengan selain hukum Allah ? (هل يجوز التصويت في الانتخابات والترشيح لها ؟مع العلم أن بلادنا تحكم بغير ماأنزل الله) ?.
Setelah memaparkan ketidakbolehan mencalonkan diri dalam rangka turut serta dalam aturan yang berhukum dengan selain hukum Allah, dan memilih orang yang akan menyukseskan hukum selain hukum Allah; maka Lajnah berkata :
إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام واتخذوا ذلك وسيلة إلى التغلب على نظام الحكم على ألا يعمل من رشح نفسه تمام الدخول إلى مناصب لا تتنافي مع الشريعة الإسلامية
"Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam, dan menjadikan hal itu sebagai sarana untuk menguasai sistem/aturan (pemerintahan), (maka hal ini diperbolehkan). Dengan ketentuan, orang yang mencalonkan dirinya tersebut setelah terpilih tidak menerima jabatan kecuali jabatan yang tidak berlawanan dengan syari'at Islam" [baca : sini ].
Saya, Anda, rekan Anda, atau ustadz Anda boleh saja tidak sependapat dengan fatwa di atas karena merajihkan pendapat kebalikannya. Tapi inilah realitas pendapat yang beredar di kalangan ulama.
Fatwa yang semacam ini banyak dikeluarkan oleh para ulama kita yang kesemuanya berujung pada pertimbangan maslahat dan mafsadat. Barangsiapa yang melihat ada maslahat yang lebih besar, maka partisipasi itu diperbolehkan. Dan sebaliknya, barangsiapa yang melihat mafsadat lebih banyak, maka partisipasi itu menjadi larangan.
Pemilu atau mencalonkan diri dalam parlemen adalah masalah ijtihadiy dari para ulama kita. Ia bukanlah masalah yang menjadi (salah satu) garis pemisah antara Ahlus-Sunnah dan non-Ahlus-Sunnah. Ia juga seharusnya bukan menjadi masalah yang menjadi asas kita mencela satu dengan yang lainnya.
Jadi,..... mungkinkah seorang salafiy nyoblos Pemilu ?. Jawabnya mungkin. Mungkinkah seorang salafiy masuk dalam parlemen ?. Jawabnya mungkin.
Lantas apa bedanya dengan harakiy atau hizbiy kalau begitu ?. Menilik penjelasan di atas, benang merah pembedanya adalah bahwasannya seorang Salafiy yang (mungkin) ikut Pemilu dan berparlemen hanyalah menginginkan kebaikan semata, mewujudkan kemaslahatan, dan mengecilkan atau bahkan menghilangkan mafsadat. Ia tidak berloyalitas kecuali pada kebenaran.
Terakhir,... mari kita simak penjelasan Asy-Syaikh As-Sadlaan (anggota haiah kibar ulama Saudi) :
لابد من التأكد من كون المسألة معلومة من الدين بالضرورة، لأن استقرار رجوح مسألة في الذهن لدى الإنسان يجعله يتحمس لها ويعطيها أكبر من حجمها، ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية فقد تشدد ويعتبر هذا الموضوع معلوماً من الدين بالضرورة، ويعادي المخالف، وقد يتأول أن هذا نوع من الولاء لغير المسلم - أي دخول الانتخابات - والمسألة فيها سعة وليست بهذا الضيق الاجتهادي
“Harus benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih (kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat”
[Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyaadl].
Semoga catatan kecil ini bermanfaat.
Wallaahu a’lam.
Sumber : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/04/mungkinkah-salafiy-ikut-pemilu-dan.html
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment