Oleh : Ust. Armen Halim Naro Lc
Bismillah,
Permasalahan harta, seakan-akan sebuah permasalahan yang tidak berkesudahan Sebagai seorang muslim yang menghadirkan akhirat ke dalam kehidupannya, tentu tidak menganggap permasalahan ini sepele atau terlampau menyempitkan ruang geraknya dalam mencari rizki. Sebab bagaimanapun juga, kita tetap butuh harta sebagai bekal, dan tetap waspada terhadap fitnahnya. Bagaimana tidak, pada saat ini kita menyaksikan, banyak orang tidak peduli lagi dalam mencari rizki, apakah dari yang halal atau dari yang haram. Hingga muncul penilaian, bahwa semua kebahagian hidup, keberhasilan, atapun kesuksesan ditentukan dan diukur dengan harta.
Pada dasarnya, syariat selalu mendorong naluri manusia untuk berusaha, hal itu tidak saling bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Imam Mawardi rahimahullah mengelompokkan bidang usaha manusia kepada tiga bidang pokok : pertanian, perdagangan, dan industri[1]. Dewasa ini, sebagian ulama memasukkan bidang ‘kepegawaian’ menjadi salah satu bidang usaha yang sangat berharga bagi kebanyakan manusia, disamping tiga pokok usaha yang telah disebutkan Imam Mawardi rahimahullah tersebut.
Bismillah,
Permasalahan harta, seakan-akan sebuah permasalahan yang tidak berkesudahan Sebagai seorang muslim yang menghadirkan akhirat ke dalam kehidupannya, tentu tidak menganggap permasalahan ini sepele atau terlampau menyempitkan ruang geraknya dalam mencari rizki. Sebab bagaimanapun juga, kita tetap butuh harta sebagai bekal, dan tetap waspada terhadap fitnahnya. Bagaimana tidak, pada saat ini kita menyaksikan, banyak orang tidak peduli lagi dalam mencari rizki, apakah dari yang halal atau dari yang haram. Hingga muncul penilaian, bahwa semua kebahagian hidup, keberhasilan, atapun kesuksesan ditentukan dan diukur dengan harta.
Pada dasarnya, syariat selalu mendorong naluri manusia untuk berusaha, hal itu tidak saling bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Imam Mawardi rahimahullah mengelompokkan bidang usaha manusia kepada tiga bidang pokok : pertanian, perdagangan, dan industri[1]. Dewasa ini, sebagian ulama memasukkan bidang ‘kepegawaian’ menjadi salah satu bidang usaha yang sangat berharga bagi kebanyakan manusia, disamping tiga pokok usaha yang telah disebutkan Imam Mawardi rahimahullah tersebut.
Mencari rizki dengan menjadi pegawai negeri maupun swasta adalah sesuatu yang halal. Akan tetapi, fenomena yang kita saat ini, tidak jarang seorang pegawai menghadapi hal-hal yang haram atau makruh dalam pekerjaannya tersebut. Di antaranya, disebabkan munculnya suap, sogok menyogok atau pemberian uang diluar gaji yang tidak halal mereka terima. Bagaimana tinjauan syariat dalam masalah ini ? :
DEFINISI SUAP, HADIAH DAN BONUS
Banyak sebutan untuk pemberian sesuatu kepada petugas atau pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya. Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu gaji, uang suap, hadiah dan bonus.[2]
Suap, disebut juga dengan sogok atau memberi uang pelicin. Adapun dalam bahasa syariat disebut dengan risywah. Secara istilah disebut “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”. [3]
Hadiah diambil dari kata bahasa Arab, dan definisinya, pemberian seseorang yang sah memberi pada masa hidupnya, secara kontan tanpa ada syarat dan balasan”.[4]
Adapun bonus, ia memiliki definisi, yang mendekati makna hadiah, yaitu upah diluar gaji resmi (sebagai tambahan). [5]
DALIL TENTANG SUAP DAN HADIAH
Suap, hukumnya sangat jelas diharamkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah serta Ijma, baik bagi yang memberi maupun yang menerima.
Di dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.[QS. Al-Baqarah : 188]
Dalam ,menafsirkan ayat di atas, al Haitsami rahimahullah berkata : “Janganlah kalian ulurkan kepada hakim pemberian kalian, yaitu dengan cara mengambil muka dan menyuap mereka, dengan harapan mereka akan memberikan hak orang lain kepada kalian, sedangkan kalian mngetahui hal itu tidak halal bagi kalian”.[6]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُولَٰئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah don ditulikanNya telinga mereka dan dibutakanNya penglihatan mereka [QS. Muhammad : 22-23]
Abul ‘Aliyah rahimahullah berkata, “Membuat kerusakan di permukaan bumi dengan suap dan sogok.”[7]. Dalam mensifati orang-orang Yahudi, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. [QS. Al-Maidah : 42]
Tentang ayat ini, Hasan dan Said bin Jubair rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya, bahwa yang dimaksud adalah pemakan uang suap, dan beliau berkata: “Jika seorang Qodi (hakim) menerima suap, tentu akan membawanya kepada kekufuran”.[8]
Sedangkan dari Sunnah.
عَنْ عُمَر عَبْدِ اللهِ بْنِ قاَلَ : لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ الرَاشِى، وُاْلمُرْتَشَىِ
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhu , ia berkata : “Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap”.[HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190. Syaikh Al-Albani berkata,”Shahih.” Lihat Irwa’ Ghalil 8/244]
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (...dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279 dalam sanadnya ada Laits bin Abi Salim, hafalannya bercampur, dan Syaikhnya, Abul Khattab majhul]
Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat. Yaitu terjauhkan dari rahmat Allah. Al Haitsami rahimahullah memasukkan suap kepada dosa besar yang ke-32.
Sedangkan menurut Ijma’, telah tenjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah, [9] Ibnul Atsir, [10] Shan’ani rahimahullah. [11]
Adapun hadiah, Ia merupakan pemberian yang dianjurkan oleh syariat, sekalipun pemberian itu -menurut pandangan yang memberi- sesuatu yang remeh.
Disebutkan dalam hadits, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Wahai, wanita muslimah. Janganlah kalian menganggap remeh pemberian seorang tetangga kepada tetangganya, sekalipun ujung kaki kambing”. [HR Bukhari, no. 2566. Lihat Fathul Bari, 5/198]
Juga dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencinta”. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar berkata,”Sanadnya shahih”]
Tentang anjuran saling memberi hadiah, di kalangan ulama telah terjadi Ijma’, karena Ia memberikan pengaruh yang positif di masyarakat; baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Bagi yang memberi, itu sebagai cara melepaskan diri dari sifat bakhil, sarana untuk saling menghormati dan sebagainya. Sedangkan kepada yang diberi, sebagai salah satu bentuk memberi kelapangan terhadapnya, hilangnya kecemburuan dan kecurigaan, bahkan mendatangkan rasa cinta dan persatuan dengan sesama.
PERBEDAAN ANTARA SUAP DENGAN HADIAH
Seorang muslim yang mengetahui perbedaan ini, maka ia akan dapat membedakan jalan yang hendak Ia tempuh, halal ataukah haram. Perbedaan tersebut, di antaranya :
1. Suap adalah, pemberian yang diharamkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang haram dan kotor. Sedangkan hadiah merupakan pemberian yang dianjurkan syariat, dan ia termasuk pemasukan yang halal bagi seorang muslim.
2. Suap, ketika memberinya tentu dengan syarat yang tidak sesuai dengan syariat, baik syarat tersebut disampaikan secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedangkan hadiah, pemberiannya tidak bersyarat.
3. Suap, diberikan untuk mencari muka dan mempermudah dalam hal yang batil. Sedangkan hadiah, ia diberikan dengan maksud untuk silaturrahim dan kasih-sayang, seperti kepada kerabat, tetangga atau teman, atau pemberian untuk membalas budi.[12]
4. Suap, pemberiannya dilakukan secara sembunyi, dibangun berdasarkan saling tuntut- menuntut, biasanya diberikan dengan berat hati. Sedangkan hadiah, pemberian terang-terangan atas dasar sifat kedermawanan.
5. Suap -biasanya- diberikan sebelum pekerjaan, sedangkan hadiah diberikan setelahnya. [13]
HUKUM PEMBERIAN KEPADA PEGAWAI
Pada dasarnya, pemberian seseorang kepada saudaranya muslim merupakan perbuatan terpuji dan dianjurkan oleh syariat. Hanya, permasalahannya menjadi berbeda, jika pemberian tersebut untuk tujuan duniawi, tidak ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.Tujuan duniawi yang dimaksud, juga berbeda-beda hukumnya sesuai dengan seberapa jauh dampak dan kerusakan yang ditimbulkan dari pemberian tersebut.
Terdapat riwayat yang sangat menarik untuk menggambarkan penmasalahan ini. Dan Abu Hamid as Sa’idi Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat salah seorang dari suku Azad sebagai petugas yang mengambil zakat Bani Sulaim. Orang memanggilnya dengan ‘Ibnul Lutbiah. Ketika datang, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengaudit hasil zakat yang dikumpulkannya.
Ia (orang tersebut, Red) berkata,”Ini harta kalian, dan ini hadiah,”
Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Kalau engkau benar, mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, sampai hadiah itu mendatangimu?”
Lalu beliau berkhutbah, memanjatkan pujian kepada Allah azza wa jalla , Lalu beliau bersabda : “Aku telah tugaskan seseorang dari kalian sebuah pekerjaan yang Allah azza wa Jalla telah pertanggungjawakan kepadaku, Lalu ia datang dan berkata “yang ini harta kalian, sedangkan yang ini hadiah untukku”. Jika dia benar, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, kalau benar hadiah itu mendatanginya. Demi Allah , tidak boleh salah seorang kalian mengambilnya tanpa hak, kecuali dia bertemu dengan Allah dengan membawa unta yang bersuara, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik,” lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga nampak ketiaknya, dan berkata: “Ya Allah, telah aku sampaikan,” (rawi berkata),”Aku Lihat langsung dengan kedua mataku, dan aku dengar dengan kedua telingaku.” [HR Bukhari, 6979 dan Mustim, 1832]
Karena seringnya orang mempermainkan istilah syariat, sehingga sesuatu yang haram dianggapnya bisa menjadi halal. Begitu pula dengan suap. Di-istilahkan dengan bonus atau fee dan sebagainya. Maka, yang terpenting bagi seorang muslim adalah. harus mengetahui bentuk pemberian tersebut dan hukum syariat tentang permasalahan itu.
Dalam Pemberian Sesuatu Kepada Pegawai. Terbagi Dalam Tiga Bagian.
Pertama : Pemberian Yang Diharamkan Memberi. Maupun Mengambilnya.[14]
Kaidahnya, pemberian tersebut bentujuan untuk sesuatu yang batil, ataukah pemberian atas sebuah tugas yang memang wajib dilakukan oleh seorang pegawai.
Misalnya pemberian kepada pegawai setelah ia menjabat atau diangkat menjadi pegawai pada sebuah instansi. Dengan tujuan mengambil hatinya tanpa hak, baik untuk kepentingan sekarang maupun untuk masa akan datang, yaitu dengan menutup mata terhadap syarat yang ada untuknya, dan atau memalsukan data, atau mengambil hak orang Lain, atau mendahulukan pelayanan kepadanya daripada orang yang lebih berhak, atau memenangkan perkaranya, dan sebagainya.
Diantara permisalan yang juga tepat dalam permasalahan ini adalah, pemberian yang diberikan oleh perusahaan atau toko kepada pegawainya, agar pegawainya tersebut merubah data yang seharusnya, atau merubah masa berlaku barang, atau mengganti nama perusahaan yang memproduksi, dan sebagainya.
Kedua : Pemberian Yang Terlarang Mengambilnya, Dan Diberi Keringanan Dalam Memberikannya.
Kaidahnya, pemberian yang dilakukan secara terpaksa, karena apa yang menjadi haknya tidak dikerjakan, atau disengaja diperlambat oleh pegawai bersangkutan yang seharusnya memberikan pelayanan.
Sebagai misal, pemberian seseorang kepada pegawai atau pejabat, yang ia lakukan karena untuk mengambil kembali haknya, atau untuk menolak kezhaliman terhadap dirinya. Apalagi Ia melihat, jika sang pegawai tersebut tidak diberi sesuatu (uang, misalnya), maka ia akan melalaikan, atau memperlambat prosesnya, atau ia memperlihatkan wajah cemberut dan masam. [15]
Syaikhul Islam Ibnu TaImiyyah rahimahullah berkata : Jika seseorang memberi hadiah (dengan maksud) untuk menghentikan sebuah kezhaLiman atau menagih haknya yang wajib, maka hadiah ini haram bagi yang mengambil, dan boleh bagi yang memberi. Sebagaimana Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku seringkali memberi pemberian kepada seseorang, lalu ia keluar menyandang api (neraka),” ditanyakan kepada beliau,”Ya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengapa engkau memberi juga kepada mereka?” Beliau menjawab, “Mereka tidak kecuali meminta kepadaku, dan Allah tidak menginginkanku bakhil.” [16]
Ketiga : Pemberian Yang Diperbolehkan, Bahkan Dianjurkan Memberi Dan Mengambilnya.
Kaidahnya, suatu pemberian dengan tujuan mengharapkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memperkuat tali silaturahim atau menjalin ukhuwah Islamiah, dan bukan bertujuan memperoleh keuntungan duniawi.
Di bawah ini ada beberapa permasalahan, yang hukumnya masuk dalam bagian ini, sekalipun yang afdhal bagi pegawai, tidak menerima hadiah tersebut, sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari tuduhan dan sadduz zari’ah (penghalang) baginya dari pemberian yang haram.
1. Hadiah seseorang yang tidak mempunyai kaitan dengan pekerjaan (usahanya). Sebelum orang tersebut menjabat, ia sudah sering juga memberi hadiah, karena hubungan kerabat atau yang lainnya. Dan pemberian itu tetap tidak bentambah, meskipun yang ia beri sekarang sedang menjabat.
2. Hadiah orang yang tidak biasa memberi hadiah kepada seorang pegawai yang tidak berlaku persaksiannya, seperti Qodi bersaksi untuk anaknya, dan hadiah tersebut tidak ada hubungannya dengan usahanya.
3. Hadiah yang telah mendapat izin dan oleh pemerintahannya atau instansinya.
4. Hadiah atasan kepada bawahannya.
5. Hadiah setelah ia meninggalkan jabatannya, dan yang lain-lain.
Demikian penmasalahan hadiah, yang ternyata cukup pelik kita hadapi. Apalah lagi dengan perbuatan ghulul?
Ghulul adalah mencuri secara diam-diam. Perbuatan ini, tentu lebih tidak boleh dilakukan. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari ‘Adi bin Amirah Radhiyallahu anhu , ia berkata: Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda : “Barangsiapa yang kami tunjuk untuk sebuah pekerjaan, Lalu ia menyembunyikan sebuah jarum atau lebih, berarti Ia telah berbuat ghulul mencuri secara diam-diam) yang harus ia bawa nanti pada hari kiamat”.
Dia (‘Adi) berkata : Tiba-tiba seorang laki-laki Anshar berkulit hitam, ia tegak bendiri seakan-akan aku melihatnya, lalu ia berkata: “Ya, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, tawarkan pekerjaan kepadaku,” beliau bersabda, “Apa gerangan?” Dia berkata, “Aku mendengar engkau baru saja berkata begini dan begini,” Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ”Saya tegaskan kembali. Barangsiapa yang kami tunjuk untuk mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia membawa semuanya, yang kecil maupun yang besar. Apa yang diberikan kepadanya, ia ambil. Dan apa yang dilarang mengambilnya, ia tidak mengambilnya.”[HR Muslim, no. 1833]
SOLUSI SUAP DAN HADIAH YANG HARAM
Permasalahan suap dan “pemberian hadiah” yang membudaya di masyarakat ini, dikenal di tengah masyarakat seiring dan berkelindan dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Perbuatan ini merupakan penyakit yang sudah sangat akut. Penyebab utamanya adalah kebodohan terhadap syariat Islam yang hanif ini, sehingga banyak perintah yang ditinggalkan, dan ironisnya banyak larangan yang dikerjakan.
Rizki yang didapatkan tidak halal, ia tidak akan mampu mendatangkan kebahagiaan. Ketika satu kemaksiatan dilakukan, itu berarti menanam dan menebarkan kemaksiatan Lainnya. Dia akan menggeser peran hukum, sehingga peraturan syariat tidak lagi mudah dipraktekkan. Padahal untuk mendapatkan kebahagian, Islam haruslah dijalankan secara kafah (menyeluruh).
Secara singkat, solusi memberantas suap maupun penyakit sejenisnya, terbagi dalam dua hal.
Pertama : Solusi Untuk Individu Dan Masyarakat.
1. Setiap individu muslim hendaklah memperkuat ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Takwa merupakan wasiat Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk umat yang terdahulu dan yang kemudian. Dengan takwa ia mengetahui perintahNya lalu melaksanakannya, dan mengetahui laranganNya lalu menjauhinya.
2. Berusaha menanamkan pada setiap diri sifat amanah, dan menghadirkan ke dalam hati besarnya dosa yang akan ditanggung oleh orang yang tidak menunaikan amanah. Dalam hat ini, peran agama memiliki pengaruh sangat besar, yaitu dengan penanaman akhlak yang mulia.
3. Setiap individu selalu belajar memahami rizki dengan benar. Bahwa membahagiakan diri dengan harta bukanlah dengan cara yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, akan tetapi dengan mencari rizki yang halal dan hidup dengan qana’ah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberi berkah pada hartanya, dan Ia dapat berbahagia dengan harta tersebut.
4. Menghadirkan ke dalam hati, bahwa di balik penghidupan ini ada kehidupan yang kekal, dan setiap orang akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua perbuatan manusia akan ditanya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang hartanya, dari mana engkau mendapatkannya, dan kemana engkau habiskan? Jika seseorang selamat pada pertanyaan pertama, belum tentu ia selamat pada pertanyaan berikutnya.
Kedua : Solusi Untuk Ulil Amri (Pemerintah).
1. Jika ingin membersihkan penyakit masyarakat ini, hendakah memulai dari mereka sendiri. Pepatah Arab mengatakan, rakyat mengikuti agama rajanya. Jika rajanya baik, maka masyarakat akan mengikutinya, dan sebaliknya.
2. Bekerjasama dengan para da’i untuk menghidupkan ruh tauhid dan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika tauhid telah lurus dan iman telah benar, maka, semuanya akan berjalan sesuai yang diinginkan oleh setiap diri seorang muslim.
3. Jika mengangkat seorang pejabat atau pegawai, hendaklah mengacu kepada dua syarat, yaitu keahlian, dan amanah. Jika kurang salh satu dari dua syarat tersebut, tak mustahil terjadi kerusakan. Kemudian, memberi hukuman sesuai dengan syariat bagi yang melanggarnya.
4. Semua pejabat pemerintah seharusnya mencari penasihat dan bithanah (orang dekat) yang shalih, yang menganjurkannya untuk berbuat baik, dan mencegahnya dari berbuat buruk. Seiring dengan itu, Ia juga menjauhi bithanah yang thalih.
Demikian yang dapat dikemukakan dalam permasatalan ini Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kekuatan kepada kaum Muslimin untuk menegakkan agamanya pada kehidupan ini, sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Wallahu a’lam bish showab.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
_________
Footnote :
[1]. Al Hawil Kabir, 19/180.
[2]. Lihat Subulussalam, Shan’ani, 1/216.
[3]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 720, dan semakna dengan defimsi para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, 4/336.
[4]. Aqrabul Masalik, 5/341,342.
[5]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 154.
[6]. Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88.
[7]. Ahkamul Qur’an, al Qurthubi, 16/208.
[8]. Al Mughni, 11/437.
[9]. Ibid.
[10]. An Nihayah, 2/226.
[11]. Subulussalam, 1/216.
[12]. Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240.
[13]. Lihat pembahasan ini di kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim, hal 27-29.
[14]. Ibid, hlm. 35-79.
[15]. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sudah merupakan hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan dan tidak lagi tahu malu dengan menghardik orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
[16]. Majmu’ Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261.
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2283/slash/0
Footnote :
[1]. Al Hawil Kabir, 19/180.
[2]. Lihat Subulussalam, Shan’ani, 1/216.
[3]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 720, dan semakna dengan defimsi para ulama. Lihat juga Mukhtarush Shihah, hlm. 244 dan Qamus Muhith, 4/336.
[4]. Aqrabul Masalik, 5/341,342.
[5]. Kamus Besar Bahasa Indenesia, hlm. 154.
[6]. Az Zawajir, Haitsami 1/131, senada dengan yang ditafsirkan al Baghawi, Syarhussunnah, 10/88.
[7]. Ahkamul Qur’an, al Qurthubi, 16/208.
[8]. Al Mughni, 11/437.
[9]. Ibid.
[10]. An Nihayah, 2/226.
[11]. Subulussalam, 1/216.
[12]. Ar-Ruh, Ibnul Qayyim, 1/240.
[13]. Lihat pembahasan ini di kitab Hadaya Lil Muwazhzhafin, Dr. al Hasyim, hal 27-29.
[14]. Ibid, hlm. 35-79.
[15]. Bahkan di banyak kejadian, pemberian seperti itu sudah merupakan hal wajib, sampai-sampai mereka tidak sungkan dan tidak lagi tahu malu dengan menghardik orang yang tidak memberikan uang kepadanya.
[16]. Majmu’ Fatawa, 31/286. Lihat pula pembahasan ini di Fathul Qadir 7/255, Mawahibul Jalil 6/121, al Hawil Kabir, 16/283; Nailul Author, 10/259-261.
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/2283/slash/0
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment