PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Organisasi massa Muhammadiyah merupakan salah satu pergerakan Islam yang pertama dengan bentuk modern dalam era kolonial Belanda. Keberadaan organisasi Muhammadiyah, sebuah organsasi yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta, semakin besar dan diakui masyarakat akibat adannya restu pemerintah kolonial Belanda. Pergerakan ini mendapatkan statusnya sebagai organisasi yang berbadan hukum (Recht Person) lewat surat ketetapan Gouvernement Besluit yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Yogyakarta (Algemene Secretarie, 22
Agustus 1914: No 81). Surat ini keluar setelah Muhammadiyah mengajukan permohonan dan memenuhi persyaratan sebagai badan hukum dengan terlebih dahulu mengajukan anggaran dasar, sekalipun dalam realitasnya anggaran dasar Muhammadiyah ketika itu sifatnya masih sangat sederhana (Pasha dan Darban,
2003:171). Dengan demikian tidak mengherankan bila pada tahun 1920-an munculnya cabang-cabang organisasi massa Muhammadiyah di daerah-daerah akibat status resmi Muhammadiyah, ditambah dengan izin perluasan wilayah gerakan organisasi ini ke seluruh wilayah Hindia Belanda (Mulkan,1990:29). Terlebih setelah dibentuknya utusan dakwah ke berbagai wilayah Nusantara (Darban,2000).
Organisasi Muhammadiyah memang menemukan perkembangan yang signifikan di daerah pedalaman Jawa, dimana pergulatan pemahaman Islam yang cenderung sinkretis (Geertz,1981; Mulder,1983), atau menurut Woodward (1988) yang lebih menganggap sebuah proses akulturasi antar Islam dan budaya lokal, telah melahirkan sikap konfrontatif dan motivasi Ahmad Dahlan serta Muhammadiyahnya, sehingga pendiri organisasi modern ini menemukan permasalahan mendasar umat sekaligus solusi bagi perubahan pemahaman Islam yang selama ini dianggap mengalami stagnasi, terutama terletak pada kehidupan manusianya (Damami,2000). Kegelisahan dalam menatap kondisi umat Islam inilah yang melahirkan pemikiran Ahmad Dahlan untuk mengembalikan posisi umat Islam dengan mereaktualisasi pemahaman Islam sesuai dengan aslinya.
Dalam perkembangan selanjutnya, Muhammadiyah mengalami pdrubahan model dalam gerakan dakwah. Ia lebih nampak sebagai gerakan yang anti dengan tradisi, ritual lokal–dalam arti anti terhadap syirik, tahayul, bid’ah, khurufat yang telah lama bergulir di kalangan masyarakat ‘tradisional’ dan telah merupakan tradisi yang turun-temurun (Asykuri et.al, 2003:2). Kegigihan Muhammadiyah memberantas TBC (Tahayul, Bid’ah, Churufat), menyebabkan sulit berkembang dalam masyarakat, terutama masyarakat tradisional (Geertz,1981). Meminjam istilah dari Abdul Munir Mulkan (2000), Muhammadiyah dalam perjalanannya lebih mengedepankan syariah sebagai doktrin ideologi dalam perubahan sosial. Penerapan syariah ini telah mengantarkan Muhammadiyah berada dalam posisi yang konfrontatif dengan tradisi lokal, baik dengan mayoritas Islam tradisional (NU), maupun dengan
kalangan abangan. Lebih lanjut, menurut Abdulloh (1996), pola pemurnian yang radikal terhadap tradisi yang berlaku di masyarakat lebih banyak diperankan oleh para ahli syariah sekaligus merupakan fungsi dominasi dari skriptualis syariah yang selama ini merupakan referensi pemahaman fundamentalis.
Secara teoritik meluasnya Muhammadiyah di daerah bukan tempat kelahirannya, mengandung banyak arti, termasuk sebuah upaya Islamisasi maupun sebuah usaha pribumisasi pemahaman Islam murni yang berkelanjutan oleh para anggota Muhammadiyah (Mulkan,2000). Kontak yang dilakukan Muhammadiyah di daerah-daerah, termasuk daerah pesisir utara Jawa, bagi Muhammadiyah merupakan sebuah wilayah yang telah ikut melahirkan sebuah motivasi untuk memformalisasi pemahaman Islam murni, sebuah pemahaman yang berdimensi ganda. Pertama, merupakan sebuah proses Islamisasi yang berarti pemberantasan bagi semua aspek yang bertentangan dengan skriptualis syariah yang fundamental (Nakamura,1983). Kedua, merupakan sebuah pergeseran konflik yang lebih luas, konflik yang dimaksud disini adalah pertemuan antara Muhammadiya dengan paham pemurniannya dengan tradisi santri tradisional yang selama ini telah mengakar kuat di masyarakat di pantai Utara Jawa (Asykuri,2003). Sebuah hubungan yang terbentuk karena munculnya patron-kliental diantara para tokoh Islam tradisional dengan para santri dan masyarakat sekitarnya (Mulkan,2000).
Sebagai organisasi yang ada di kawasan selatan pulau Jawa, berkembangnya Muhammadiyah di daerah sepanjang pantai utara Jawa merupakan akibat respon positif pada masyarakat muslim berpendidikan modern
atau terpelajar yang menginginkan suatu perubahan pada umat Islam (Ricklefs,2005:350). Namun demikian, kondisi Muhammadiyah di sepanjang pantai utara Jawa tidak sama dengan keadaan di kawasan selatan pulau Jawa, karena daerah utara pulau Jawa didominasi oleh pergerakan Islam yang lain yakni, Nahdhatul Ulama yang merupakan simbol dari kalangan muslim tradisional dan sampai sekarang termasuk menjadi salah satu kekuatan terbesar dalam gerakan Islam di Indonesia.
Dalam perkembanganya, pemahaman Nahdhatul Ulama sangatlah berbeda dan berlawanan dengan apa yang menjadi tujuan berdirinya Muhammadiyah. Akan tetapi satu hal yang tampak jelas, keberadaan, peran, dan kontribusi kedua organisasi ini dalam transformasi sosial umat Islam pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya sejak awal kelahirannya, pada era kebangkitan nasional hingga saat ini sungguh besar dan sangat penting. Pluralitas wajah pemahaman agama Islam yang diwujudkan dalam berbagai organisasi dapat pula diakibatkan oleh respon dari penganut pemahaman agama yang sama terhadap kondisi sosial yang berbeda (Pranowo,199:19). Dari perspektif inilah dapat dijelaskan tentang kecendrungan organisasi atau gerakan Islam yang dikenal sebagai ‘modernis’ yaitu Muhammadiyah lebih mendapatkan pendukung kuat di daerah perkotaan, sedangkan NU yang berusaha melestarikan tradisi secara kuat, sehingga dikenal sebagai golongan ‘tradisional’ memperoleh pengaruh kuat di desa-desa, baik pedesaan pesisir maupun pedesaan pertanian.
Sebagai daerah pantai pada umumnya, pantai utara Jawa dalam perjalanan waktu telah melahirkan situasi kehidupan yang cepat berubah, apalagi didukung adanya kebudayaan yang berbeda dan beragam dalam satu lokasi, telah
melahirkan kehidupan masyarakat pantai cenderung terbuka, sehingga menjadi suatu yang wajar bila pantai utara Jawa ikut berperan dalam terjadinya konversi masyarakat ke-dalam agama Islam di Indonesia (Masroer,2004:29). Hubungan masyarakat di pantai utara Jawa yang dimulai melalui saluran-saluran seperti asimilasi, akulturasi bahkan yang lebih ekstrim melalui saluran penetrasi telah membuat masyarakat di pantai utara Jawa mempunyai komunitas yang plural baik dari segi komposisi ras, agama, dan tradisi. Kecendrungan yang muncul dalam hubungan komunitas-komunitas masyarakat di pesisir utara Jawa, banyak di perankan oleh Islam. Hal tersebut, berkaitan erat dengan peran yang cukup dominan oleh masyarakat Islam yang pada awal kedatangan Islam, kota-kota pesisir utara Jawa jika direkonstruksi merupakan tempat berkumpulnya masyarakat Islam dalam penyebaran Islam sekaligus merupaka komponen penting dari kehidupan ekonomi dan sosial (Syam,2005)..
Menjamurnya komunitas Islam di pesisir utara Jawa yang diwujudkan dalam bentuk komunitas sosial masyarakat, termasuk banyaknya pesantren yang didirikan sebagai basis penyebaran pandangan hidup masyarakat yang melembaga dalam hubungan keyakinan hidup dan pola kehidupan sosial yang semuannya itu dipengaruhi oleh nilai normatif Islam (Zarkasyi,2003:119). Hal tersebut juga merupakan jawaban dari sebuah asumsi Sartono Kartodirjo yang selama ini mengangap proses penyebaran Islam dan pelembagaan Islam merupakan sebuah gerakan politik. Permasalahannya, perkembangan Islam selama ini yang ditawarkan kepada masyarakat–baik itu raja, bangsawan, pedagang dan rakyat jelata, lebih merupakan sebuah pandangan hidup daripada sebuah gerakan politik, sebab Islam disebarkan di Nusantara bukan melalui
melalui penetrasi dan peperangan, tetapi lebih berupa jalinan hubungan masyarakat melalui kontak-kontak sosial dan ekonomi (ibid,2003:120).
Selanjutnya, melalui cara tradisional dalam penyebarannya dengan berbagai konflik yang dialami–baik dari masyarakat setempat maupun penetrasi dari penjajah–, pelembagaan Islam telah mengalami pasang surut. Ketika bersentuhan dengan kolonial Belanda, masyarakat Islam dengan pesantren menempatkan diri dalam konfrontasi dengan penjajah. Melihat perlawanan dari masyarakat muslim Nusantara, telah melahirkan kebijakan Islam Politieke dari kolonial Belanda yang bertujuan untuk mengiliminir peran strategis dan kekuatan Islam, terutama tokoh-tokoh pergerakan Islam (Suminto,1996:2). Munculah kebijakan untuk memasarkan produk pendidikan model barat, kebijakan ini bertujuan untuk menciptakan pemimpin pribumi yang berorientasi pada nilai-nilai barat. Menurut Aziz Thaba (1996), kebijakan ini merupakan sebuah formulasi dari Snouck Hourgronye–tokoh orientalis dan akademisi Belanda yang berdiri dibelakang hegemoni penjajah sebagai penasehat kolonial– yang bertujuan untuk menghilangkan peran tokoh Islam dengan tokoh pribumi yang berorientasi barat (Azra,1999).
Akhirnya, bukan stabilitas yang diharapkan kolonial Belanda, melainkan sebuah penetangan dan perlawanan yang berasal dari masyarakat dan pergerakan Islam Indonesia–sebagian besar para pemimpin Islam yang berorientasi modern– yang melihat sistem dan pemeberdayaan umat Islam Indonesia sudah sangat tertinggal, demi untuk memenuhi kelangsungan dan kejayaan umat Islam telah muncul pergerakan Islam modern seperti Muhammadiyah, meskipun ada faktor eksternal seperti Pan-Islamisme yang berperan melahirkan motivasi para
pemimpin Islam modern. Dengan demikian, Lahirnya organisasimodern Islam semacam Muhammadiyah di Yogyakarta tahun 1912 merupakan sebuah kemajuan sekaligus perubahan cara pandang struktural perjuangan sekaligus pemahaman Islam yang signifikan bagi kalangan Islam Indonesia.
Secara umum, bila kita berbicara keberhasilan dan munculnya perjuangan rakyat pribumi dalam bentuk organisasi modern pada jaman pergerakan nasional seperti Budi Utomo dan Muhammadiyah tidak terlepas dari faktor Politik Etis yang barangkali bagi kolonial Belanda merupakan dilema tersendiri (Niel,1984:118). Berlakunya Politik Etis yang dihembuskan di tanah Hindia oleh sebagian orang Belanda yang mempunyai rasa kemanusian telah melahirkan sebuah kehidupan baru bagi rakyat pribumi. Dari kebijakan pemerintah kolonial ini, bidang pendidikan merupakan wahana yang sangat penting bagi kelangsungan perjuangan kaum pribumi dalam tahun-tahun berikutnya. Dengan pendidikan inilah cara berfikir dan pengetahuan kaum pribumi menjadi berkembang dan maju yang pada akhirnya dapat mewujudkan sikap kritis dan semangat nasionalisme Rakyat Hindia Belanda, meskipun dalam realitanya pendidikan yang diberikan pemerintah kolonial ini hanya dapat dinikmati oleh kalangan rakyat pribumi yang mempunyai status darah biru. Akan tetapi, keadaan setelah kebijakan Politik Etis digulirkan daerah Hindia Belanda telah menimbulkan suatu perubahan sosial yang pada awalnya menimbulkan ketidaksukaan kalangan elit Jawa yang menghendaki status quo, kelompok ini terdiri dari para bangsawan yang selama ini telah menikmati kehidupan dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda (ibid,1984:71).
Munculnya elit yang berpendidikan barat pada masa pergerakan nasional di Hindia Belanda yang notabene adalah dunia Timur, pada akhirnya akan memunculkan elit baru dengan beberapa ideologi yang sampai sekarang mewarnai kekuasaan politik (Kartodirjo,1983:159). Adanya Politik Etis untuk kalangan masyarakat santri di daerah Hindia telah melahirkan suatu elit yang berpendidikan barat, tetapi mempunyai corak pemikiran dan visi keislaman yang kuat. Perubahan yang terjadi demikian pada akhirnya telah melahirkan kelompok pemikir-pemikir Islam yang didasari nasionalisme mulai melakukan langkah-langkah perjuangan yang modern. Kendati demikian, munculnya pemikiran sekaligus para tokoh yang mengaktualisasikan Islam sebagai tolak ukur perjuangan dengan metode modern muncul akibat Politik Etis, tetapi para tokoh ini tidak menjadikan barat sebagai acuan berfikir, tetapi Timur Tengah yang menjadi acuan berfikir. Disamping itu dalam waktu bersamaan di dunia Arab sedang bergolak perjuangan yang menitikberatkan Pan Islamisme yang di gerakan para tokoh seperti Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh telah mempengaruhi secara ekternal kemunculan organisasi Islam Modern, salah satunya Muhammadiyah (Suwarno,2000:170). Dengan demikian, Politik Etis oleh kalangan Islam di Jawa khususnya dimanfaatkan untuk berjuang dengan konsep perjuang`n modern yang bercorak Islam.
Sebagai program yang diberlakukan dengan tujuan awal untuk memberikan kesan balas budi kepada daerah jajahan ini secara tidak langsung menjadi faktor munculnya kesadaran perjuangan berorganisasi di kalangan masyarakat muslim Indonesia, apalagi pada kaum terpelajar yang menghendaki perjuangan dengan cara modern (Damami,2000:2).
Didukung keadaan bangsa yang terjajah, fungsi dan peran umat Islam menjadi terhambat. Munculnya Muhammadiyah yang merupakan organisasi modern pada saat bangsa Indonesia dijajah telah melahirkan sebuah motivasi sekaligus sebuah harapan bagi masyarakat. Motivasi ini berupa daya tarik pembaharuan dan sistem organisasi yang disusun modern, sehingga membuat gerakan Muhammadiyah mempunyai daya tarik bagi semua lapisan masyarakat Islam, baik masyarakat kelas bawah, kalangan birokrat bahkan sampai kaum terpelajar yang mendapat pdndidikan barat. Selain itu, terjalinnya hubungan yang bersifat horisontal kelembagaan yang saling menguntungkan antara organisasi Budi Utomo dan Muhammadiyah merupakan sebuah contoh hubungan kerjasama yang sangat penting dalam masa pergerakan nasional.
Kontribusi yang sangat penting dari anggota Budi Utomo kepada Ahmad Dahlan dan teman-temannya, adalah berupa pengalaman anggota Budi Utomo yang dituangkan dalam bentuk pendirian Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi modern dan membantu pembentukan menejemen organisasi menurut pengalaman mereka. Satu hal yang tidak dapat dilupakan, sekalipun KH. Ahmad Dahlan cukup dekat dengan organisasi Budi Utomo, namun tampaknya orientasi revivalisme kebudayaan Jawa yang diperjuangkan organisasi Budi Utomo tidak mempengaruhinya, sebab revivalisme kebudayaan (yang terbatas Jawa) seperti itu tidak memuaskan visi ke depan KH. Ahmad Dahlan untuk memecahkan problem masyarakat (Damami,2000:102).
Organisasi Muhammadiyah yang merupakan wadah perjuangan kelompok muslim intelektual yang muncul dalam masa pergerakan nasional merupakan salah satu organisasi yang berjuang dengan konsep modern dan menggunakan
identitas Islam yang sangat kental dalam pergerakannya. Melihat kenyataan seperti itu, sangat ketara sekali bila pergerakan yang didirikan oleh Ahmad Dahlan yang telah mendapatkan semangat Pan Islamisme yang didengungkan di dunia Islam, sejak munculnya telah menggunakan metode organisasi yang menitikberatkan pada pembentukan masyarakat Islam yang ideal, maka berdasarkan parameter tersebut banyak para pengamat yang mengkategorikan Muhammadiyah dengan sendirinya sebagai sebuah gerakan keagamaan Islam yang modern (Damami,2000:1). Kenyataannya, hal ini didukung dan dibuktikan dengan adanya struktur organisasi yang berada di tataran pusat sampai daerah (Noer,1996:84).
Menurut Adaby Darban (2000) bahwa, komunitas Muhammadiyah lahir dengan membentuk sebuah komunitas dengan penerapan Islam secara formal dan berorientasi pada kegiatan yang bersifat sosial, seperti pembangunan Masjid, sekolah model barat dan klinik kesehatan. Kendati, Muhammadiyah lahir merupakan sebuah kebutuhan dan respon yang mendesak untuk mengejar ketertinggalan umat Islam, terutama masyarakat kota yang melihat keterpurukan umat (Pranowo,1998:19). Sebaliknya, dengan munculnya organisasi modern Islam juga memunculkan polemik yang komplek dalam lingkup masyarakat Islam sendiri. Perlu diketahui dengan munculnya orientasi yang sifatnya modern pada umat Islam tidak serta merta mnghilangkan komunitas Islam bersifat non- modernis–penerapan pendidikan dan sistem strukturalnya–atau lebih dikenal dengan Islam tradisional yang selama ini diwakili oleh NU.
Sementara itu, bergulirnya dikotomi modern dan tradisional yang beredar di masyarakat dalam lingkup pemahaman keagamaan dan kegiatan organisasi,
menempatkan posisi organisasi Muhammadiyah sebagai gerakan modern (Suwarno,2001:1). Berangkat dari hal di atas, kemodernisan yang melekat pada organisasi Muhammadiyah paling tidak tampak dalam tiga hal, antara lain, (1). Bentuk gerakannya terorganisasi, (2). Aktivitas pendidikannya mengacu pada model sekolah modern, berpola klasikal, (3). Aktivitas organisasi terutama amal usahanya didasarkan pada pendekatan teknologis (Mulkan,1990:9).
Untuk selanjutnya, ada tiga wajah yang dimiliki oleh Muhammadiyah sebagai pilar pergerakannya, yakni sebagai a religious reformist, agent of social change, dan a political force (Alfian,1989:5). Sebagai a religious reformist, Muhammadiyah tampil dalam bentuk gerakan pemurnian Islam yang tujuan utamanya adalah memberantas syirik, tahyul, bid’ah, dan khurafat di kalangan umat Islam. Hal diatas bertalian erat dengan praktek-praktek keagamaan yang kontradiktif dengan tujuan hakiki Islam itu sendiri yang tidak lain karena singkretisme Islam dengan pola kebudayaan Jawa (Noer,1996:85). Pola kehidupan keagamaan demikian terjadi ketika pengaruh kekuasaan keraton sebagai sentral kultural agama Islam secara legal mendukung kehidupan yang menyimpang dengan kemurnian Islam sekaligus tujuan Muhammadiyah.
Kemudian sebagai agent of social change, Muhammadiyah melakukan usaha modernisasi sosial dan pendidikan yang bertujuan memberantas keterbelakangan umat Islam yang selalu terlambat dan terhambat dalam peran dan fungsinya dalam perubahan akibat kolonialisme yang lama. Sebagai a political force, lebih mengkonsentrasikan pada lingkup keagamaan dan permasalahan sosial kemasyarakatan. Kendati demikian, pada tataran politik praktis Muhammadiyah secara oraganisasi dipastikan tidak pernah secara hukum
berdiri sebagai sebuah partai politik, sebagaimana organisasi massa lainnya seperti NU, PSII, Masyumi dan organisasi lainya yang bergerak secara hukum sebagai organisasi politik. Hanya saja para tokoh dan warga Muhammadiyah secara personal terlibat dalam politik praktis bergabung dengan partai Islam yang ada, meskipun permasalahan ini dalam organisasi Muhammadiyah dalam setiap Muktamar menjadi perdebatan dikalangan warga Muhammadiyah sendiri.
Dengan berbagai wajah inilah organisasi Muhammadiyah mempunyai predikat sebagai gerakan pembaharuan (Nashir, 2000:3). Anggapan atas predikat pembaharuan pada Muhammadiyah ini merupakan keputusan yang sifatnya homogen dari masyarakat Islam Indonesia, fakta ini diakui baik pada kalangan warga Muhammadiyah maupun organisasi pergerakan lainnya. Identitas yang melekat pada diri organisasi Muhammadiyah ini sampai sekarang memberikan warna tersendiri, yaitu merupakan sebuah organisasi yang menjadi tempat bernaungnya orang-orang yang memiliki pendidikan modern. Dampak yang muncul akibat dikotomi membuat sebagian masyarakat yang bersebrangan dengan konsep Muhammadiyah menolak segala bentuk kegiatan yang bernuansa pembaharuan. Terlebih bila ada kegiatan yang mempermasalahkan konsep tradisionalisme yang dilakukan sebagian masyarakat sampai sekarang.
Kemudian, fungsi sosial organisasi Muhammadiyah pada gilirannya muncul sebagai suatu gerakan kebangkitan umat Islam yang disusun dengan agenda modern dan terstruktur, Muhammadiyah mulai berusaha dengan perjuangan untuk dapat mengembalikan martabat bangsa dan umat yang kala itu terjajah, dan tujuan dasarnya menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Dalam
perjalanan agenda perjuangan yang dilakukan organisasi ini juga membuat suatu perubahan sosial yang sangat signifikan baik dalam tubuh umat Islam, juga menumbuhkan perlawanan umat terhadap segala bentuk ketidakadilan dan penjajahan baik secara fisik maupun secara pemikiran, sebagai contoh adalah upaya warga Muhammadiyah di Indonesia dalam membendung penetrasi misionaris di Indonesia (Alwi Shihab,1998:3).
Tidak hanya berhenti di situ saja, dengan didasari oleh nasionalisme yang merupakan salah satu kunci penggerak munculnya organisasi pada awal abad ke-
20 (Suhartono,2001:3). Muhammadiyah juga tampil menjadi pelopor dalam menentang terhadap kebijakan kolonial, sebagai contoh, dalam sebuah kegiatan yang melibatkan salah satu tokoh Muhammadiyah dalam melakukan aksi pemogokan dengan buruh-buruh perkebunan dan pabrik milik Belanda, hal ini berawal dari kebijakan Belanda yang merugikan para buruh. Klimak dari aksi pemogokan ini mengakibatkan A.R Fakhrudin, yang merupakan salah satu tokoh Muhammadiyah masuk penjara, karena partisipasinya dalam aksi tersebut (Nashir,2000:84).
Kegiatan aksi penentangan terhadap kolonial tidak cukup pada fase tersebut, banyak kegiatan yang dilakukan oleh anggota Muhammadiyah sendiri, baik dari pimpinan pusat maupun cabang. Kolaborasi dengan organisasi lain merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk menentang kolonial Belanda. Kerja sama ini juga di bangun atas dasar persamaan tujuan maupun rasa kebangsaan. Ketika partai Masyumi berdiri Muhammadiyah termasuk salah satu anggota istimewa di dalam Masyumi, sehingga banyak kebijakan yang berasal dari Muhammadiyah menjadi rumusan tujuan dasar dan cita-cita partai Masyumi
yang bertujuan memajukan umat pada era rezim kolonial Belanda dan kolonial
Jepang bahkan sampai dibubarkanya partai Islam ini (Muchtar,2004:119).
Fenomena kegiatan yang bernuansa politik dalam lingkup penentangan terhadap kolonial dapat dimengerti oleh semua kalangan bila membaca dan mencermati penjelasan Kepribadian Muhammadiyah sebagai berikut,
“Muhammadiyah tidak buta politik, tidak takut politik, tetapi Muhammadiyah bukan organisasi politik. Muhammadiyah mencampuri soal-soal politik, tetapi apabila soal-soal politik masuk dalam Muhammadiyah ataupun soal politik mendesak- desak urusan agama Islam, maka Muhammadiyah akan bertindak menurut kemampuan, cara dan irama Muhammadiyah sendiri” (PP Muhammadiyah,1996:6).
Dari membaca konsep Kepribadian Muhammadiyah dapat digambarkan sebagai sebuah situasi rumit yang dihadapi organisasi Muhammadiyah ketika berhadapan dengan politik. Kenyataan sosiologis menunjukkan, bahwa hubungan Muhammadiyah dengan politik itu beragam dan tidak linier. Hal ini, berangkat dari suatu permasalahan yang memposisikan Muhammadiyah sebagai salah satu pihak yang secara yuridis bukan merupakan sebuah partai politik.
Sementara itu, peran yang dimiliki Muhammadiyah dalam lingkup sosial kemasyarakatan selama ini berupa sebuah gerakan yang menekankan pada bashs sosial keagamaan. Akan tetapi, melihat perkembangan kondisi kehidupan berbangsa yang menempatkan Muhammadiyah dalam situasi yang mengharuskan organisasi ini menghadapi dinamika kehidupan politik yang difahami sebagai perjuangan untuk meraih kekuasaan yang seharusnya diperankan sebuah partai politik. Keadaan ini membuat bagi Muhammadiyah akan melahirkan suatu paradoks dengan tujuan dari sebuah lembaga semacam Muhammadiyah. Dari sini bila dicermati secara menyeluruh dari pernyataan
diatas, maka dapat diambil sebuah kesimpulan yang menempatkan Muhammadiyah pada kerangka berfikir untuk memposisikan diri sebagai kelompok kepentingan dalam ruang lingkup untuk memainkan fungsi politik.
Perjuangan Muhammadiyah tidak hanya berhenti sampai di situ saja, akan tetapi dilakukan secara berlanjut dan dalam perjalanannya selalu mewarnai dinamika bangsa dari kemerdekaan, orde lama, orde baru dan orde reformasi yang telah mendewasakan dan menumbuhkan kearifan Muhammadiyah yang terus berjuang demi kemajuan umat dan bangsa. Salah satu sisi positif yang dimiliki gerakan Muhammadiyah adalah kontribusinya dalam dinamika perkembangan masyarakat muslim, sehingga dalam kurun waktu yang lama masih tetap eksis pada perjuangan ide-ide demi perubahan umat dan bangsa menuju yang lebih baik. kegiatan ini dilakukan karena didukung oleh sebuah pilihan perjuangan akomodatif dan konsisten dalam jalur sosial keagamaan, yang di kalangan Muhammadiyah sebagai gerakan yang mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar (Sobron,2003:31).
Dengan membaca sejarah pertautan Muhammadiyah dan politik, akhirnya melahirkan suatu kebijakan berupa strategi yang akomodatif dalam pendekatan terhadap penguasa, apalagi ketika rezim orde lama dan orde baru berkuasa secara otoriter. Dengan demikian, tidak salah bila muncul anggapan bahwa organisasi Muhammadiyah termasuk salah satu gerakan yang mengalami pasang surut dan pahit getir kekuasaan rezim yang silih berganti (Nashir,2000:15).
Suasana pasang surut organisasi Muhammadiyah tidak hanya melingkupi wilayah politik dan kekuasaan saja, akan tetapi gerakan yang lahir di Yogyakarta ini mengalami persoalan ketika berhadapan dengan keadaan sosial
di daerah yang di dalamnya terdapat kekuatan yang lebih dominan. Kekuatan itu bisa berwujud organisasi massa maupun bisa sebuah kebudayaan atau tradisi yang kontradiksi dengan Muhammadiyah atau memiliki kepentingan politik yang berkaitan dengan warga dan simpatisan organisasi Muhammadiyah. Suasana ini pada gilirannya tidak jarang telah melahirkan suatu persoalan sosial keagamaan yang pada klimaksnya menjadi suatu bentuk perpecahan, dan tak jarang pula menimbulkan korban dan kerugian harta milik masyarakat. Kasus perseteruan yang terjadi di Banyuwangi yang melibatkan warga Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama pada tahun 1999 merupakan suatu contoh yang layak dijadikan suatu pelajaran yang berharga ( Nashir,2001:3).
Konflik yang mengangkat isu-isu pemahaman beragama dan melibatkan kalangan Muhammadiyah dan NU di dalamnya telah menjadi suatu dinamika kehidupan masyarakat tersendiri. Pemandangan tentang konflik horisontal dalam masyarakat muslim yang melibatkan dua organisasi keagamaan di atas bukan kejadian yang sifatnya kotemporer. Pertentangan yang menafikan persamaan ideologi, dan lebih menonjolkan perbedaan dalam pola pendekatan teknis dalam kehidupan beragama –pendekatan yang lebih bersifat ritual seperti ibadah dan hubungan sosial kemasyarakatan (fikih), telah menguras tenaga organisasi keagamaan tersebut dalam konfrontasi yang tidak kunjung selesai. Tidak ayal lagi, dalam perkembangannya organisasi Muhammadiyah dan NU lebih banyak menampilkan konflik daripada konsensus, apalagi konflik yang melibatkan kedua organisasi tersebut lebih banyak terjadi di daerah yang menempatkan NU sebagai mayoritas massa dalam suatu daerah, termasuk daerah pesisir utara Jawa yang selama ini merupakan tempat terjadinya Islamisasi dan pelembagaan
agama Islam di Jawa (Syam,2005:63-70). Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan konflik juga terjadi di daerah yang menempatkan Muhammadiyah sebagai komponen mayoritas.
Kemudian, pengelompokan masyarakat yang didasarkan pada ritual dan pemahaman keagamaan yang terjadi di pesisir pantai utara Jawa, termasuk di wilayah Kabupaten Rembang telah menempatkan komunitas masyarakat dalam konflik dan konsensus yang bersifat horisontal. Konflik dan konsensus yang menjadi bagian kehidupan sehari-hari dalam masyarakat–khususnya dalam lingkup masyarakat muslim–merupakan suatu fenomena tersendiri bagi wilayah pantai utara Jawa. Sebab dalam perjalanan sejarahnya pantai utara Jawa telah menjadi saksi terjadinya proses penyebaran agama, baik Hindhu-Budha, Islam dan Nasrani yang sekarang menjadi komunitas agama yang diakui resmi di Indonesia.
Sebagai bagian dari kota pesisir utara Jawa, wilayah Kabupaten Rembang merupakan tempat mengakarnya tradisi Islam tradisional, hal tersebut di buktikan dengan munculnya banyak tokoh Islam tradisional dari daerah Rembang. Dalam masa penyebaran dan pelembagaan Islam di pesisir utara Jawa–masa kedatangan Islam di pulau Jawa–wilayah Rembang yang termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Demak, merupakan salah satu pintu masuk sekaligus berfungsi sebagai kota pusat komunitas Islam (De Graff,2003), disamping merupakan kontak dan jaringan dagang masyarakat pribumi dengan para pedagang Islam yang membawa budaya dan agama baru (Azra,2005). Pertautan ideologi masyarakat pesisir yang berupa agama Islam, merupakan wahana perkembangan ideologis sekaligus hubungan psikologis antara penyebar Islam
(Wali atau Kyai) dengan para muridnya (santri). Lambat laun perkembangan Islam mulai menyebar ke pedalaman pulau Jawa yang merupakan hasil ‘kerja’ para santri dalam pengembaraan dakwah mereka.
Bagi Muhammadiyah dalam penyebaran pemahamannya di pesisir utara Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Rembang–perkembangan yang bersifat kelembagaan dan tidak berorientasi yang bersifat penetrasi–sangat beragam dalam perkembangannya. Di sisi, lain seperti wilayah Pekajangan dan Lamongan daerah Muhammadiyah di pesisir utara Jawa lainnya, lebih menunjukkan sifat perkembangangan yang signifikan. Kendati, ketika dibandingkan dengan dominasi yang bersifat lembaga dan massa yang dimiliki NU, Muhammadiyah di wilayah Kabupaten Rembang jelas tidak berimbang. Sependapat dengan Karel Steenbrink (1994:57) yang menyatakan bahwa, Muhammadiyah cenderung lebih dikonsumsi oleh masyarakat kota yang sekaligus berperan sebagai pusat perdagangan, sehingga tidak mengherankan jika Muhammadiyah di Rembang lebih banyak berkonsentrasi di kota-kota kecamatan, disamping itu Muhammadiyah di Rembang personalnya didominasi oleh para pegawai negeri.
Dalam kasus Muhammadiyah di wilayah Rembang, cukup sesuai dengan tulisan diketengahkan oleh Kuntowijoyo yang berjudul Muslim Tanpa Masjid (2001). Sebagai kelompok gerakan Islam ‘pendatang’ di wilayah pesisir utara Jawa, Muhammadiyah datang ke Rembang didukung oleh orang-orang pendatang. Tanpa didukung patron-kliental dari masyarakat sebagaimana NU, Muhammadiyah dalam perkembangannya sulit untuk menerapkan kondisi sosial dan masyarakat setempat sesuai dengan kondisi daerah Kauman Yogyakarta.
Tidak ayal lagi, kemunculannya telah membangkitkan konflik yang rumit dengan gerkakan Islam tradisional NU yang telah lama mengakar di masyarakat Rembang. Benturan dan konflik yang muncul antar dua pemahaman yang berbeda ini telah melahirkan warna yang berbeda dalam pemahaman beragama Islam. Bagi NU yang telah menempatkan diri di daerah pesisir utara Jawa, dengan didukung ribuan santri pesantren dan dibidani oleh kyai yang mempunyai hubungan patron-kliental serta memiliki motivasi untuk melestarikan kebudayaan leluhur (Pranowo,1998; Mulkan, 2000). Telah melahirkan Konsensus bagi masyarakat setempat terhadap legitimasi dan pelembagaan Islam lokal.
Pada akhirnya dengan mengikuti alur pemikiran di atas peneliti bermaksud untuk mengangkat sepak terjang organisasi Muhammadiyah di pantai utara Jawa dalam kawasan wilayah Kabupaten Rembang, dalam suatu penelitian yang berjudul DINAMIKA ORGANISASI MUHAMMADIYAH DALAM PEREBUTAN PENGARUH MASSA DI DI KABUPATEN REMBANG TAHUN 1960-2000.
Untuk mendapatkan koleksi Judul Tesis Lengkap dan Skripsi Lengkap dalam bentuk file MS-Word, silahkan klik download
Atau klik disini
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment