CERAMAH/KULTUM TARAWIH TIAP MALAM DI BULAN RAMADHAN. BID'AH KAH?

Bookmark and Share


Tanya :
Bagaimana hukum ceramah seiring pelaksanaan shalat Tarawih? Apakah hal tersebut dianjurkan ataukah justru termasuk perbuatan yang diada-adakan (bid`ah)?

Jawab :
Ditinjau secara prinsip asal, hukum ceramah dimaksud adalah boleh, bahkan dianjurkan, karena termasuk bab tolong menolong dalam ketaqwaan, saling menasehati dalam kebaikan, dan menuntut ilmu. Pada umumnya, pelaksanaan ceramah seiring shalat Tarawih dimaksudkan untuk memanfaatkan momen berkumpulnya manusia.

Hanya saja, apabila ceramah tersebut diyakini kesunnahannya sebagai bagian dari ritual shalat Tarawih itu sendiri, seperti halnya ceramah/khutbah dalam shalat Jum’at, atau diyakini bahwa ceramah pada waktu tersebut diyakini memiliki kekhususan dan keutamaan, maka anggapan dan keyakinan semacam ini adalah termasuk bid’ah. Sebab, tidak didapati dalil yang menyebutkan anjuran pelaksanaan ceramah seiring shalat Tarawih, baik secara eksplisit (zhāhir) maupun implisit (mustanbath).

Karena itu, dalam rangka mengindari terjadinya anggapan dan bid’ah dimaksud, sehingga kalaupun diadakan ceramah, maka sebaiknya tidak dilakukan pada setiap shalat Tarawih, sehingga tidak diyakini bahwa ceramah tersebut merupakan bagian dari ritual shalat Tarawih, atau bahwa ceramah pada waktu tersebut diyakini memiliki kekhususan dan keutamaan. WaLlāhu a’lam bish shawāb.

Di samping itu, kalaupun ceramah tersebut diadakan, maka sebaiknya setelah pelaksanaan shalat Tarawih, sehingga barangsiapa yang ingin mendengar ceramah tersebut hendaklah ia mendengarkannya, namun barangsiapa yang tidak ingin mendengarnya maka ia dapat berpaling/pulang kerumahnya.

Jika ada yang bertanya lebih lanjut: jika ceramah tersebut memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—dan para Sahabat maka bukankah hal tersebut tidak boleh dilakukan secara mutlak?

Jawabnya: jika ucapan di atas diimplementasikan secara mutlak, maka sebagai konsekuensinya adalah pelarangan terhadap hampir seluruh ceramah, pengajian dan kegiatan pembelajaran agama di muka bumi. Bukankah tidak ada dalilnya menuntut ilmu agama melalui universitas, daurah (pesantren kilat) dan semisalnya? Bukankah juga tidak ada dalilnya melakukan pengajian rutin mingguan pada hari Ahad, Sabtu, malam Rabu, dan waktu-waktu yang semisalnya? Apakah hal-hal tersebut juga akan dianggap sebagai bid’ah yang terlarang karena Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—dan Sahabat tidak melakukannya? Jawabnya tentu saja tidak. Jika demikian, hal yang sama juga berlaku dalam pembahasan kali ini. Hanyalah menjadi bid’ah apabila dikhususkan dan diutamakan pelaksanaan ceramah pada suatu waktu tertentu, padahal tidak ada dalil yang menyebutkan kekhususan dan keutamaan tersebut, atau ceramah tersebut dijadikan bagian dari ritual shalat Tarawih. WaLlāhu a’lam bish shawāb.

Bagaimana halnya dengan larangan ceramah secara mutlak dalam rangka implementasi prinsip saddu’d dzarī’ah? Yakni, agar tidak terjatuh ke dalam bid’ah meyakini bahwa ceramah merupakan bagian dari ritual shalat Tarawih, atau meyakini bahwa pemberian ceramah seiring waktu pelaksanaan shalat Tarawih memiliki keutamaan dan kekhususan dari sisi dzatnya. Jawabnya, pertanyaan tersebut memiliki wijhatu’n nazhar yang kuat untuk dibenarkan dan diimplementasikan. Artinya, apabila pelaksanaan ceramah tersebut dapat menyebabkan masyarakat terjatuh ke dalam bid’ah di kemudian hari, maka sebaiknya hal itu tidak dilaksanakan dan dicegah. Hanya saja, sependek pengamatan dan pengetahuan kami, hampir tidak ada kaum muslimin yang meyakini bahwa ceramah merupakan bagian dari ritual shalat Tarawih, berbeda dengan keyakinan mereka terhadap khuthbah Jum’at.

Sebagai tambahan faidah dan pembanding, di bawah ini akan kami posting fatwa al-’Allāmah Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—terkait permasalahan dimaksud, yang merupakan salah satu acuan dan sandaran kami dalam pembahasan ini.

Sumber fatwa tersebut adalah kaset Liqā` al-Bāb al-Maftūh, No.118, yang dapat diunduh di sini:

http://www.ibnothaimeen.com/cgi-bin/art-sound/exec/search.cgi?cat=226&start=201&perpage=200&template=index/Sound.html (akses Sept 2007)

Transkrip fatwa dimaksud dapat diperoleh di sini:

http://audio.islamweb.net/audio/index.php?page=FullContent&audioid=111774 (akses Sept 2007)

Berikut adalah teks fatwa tersebut:

السؤال: ما حكم الموعظة بين صلاة التراويح أو في وسطها ويكون هذا دائماً؟

الشيخ: لا مانع، إذا قام إلى التسليمة الثانية ورأى أن الصف قد اعوج، أو أن المصلين قد تمايزوا وتفرقوا وصار فيهم فرجة، فليقل: استووا أو تراصوا، ولا حرج. أما الموعظة فلا، لأن هذا ليس من هدي السلف، لكن يعظهم إذا دعت الحاجة أو شاء بعد التراويح، وإذا قصد بهذا التعبد فهو بدعة، وعلامة قصد التعبد أن يداوم عليها كل ليلة، ثم نقول: لماذا يا أخي تعظ الناس؟ قد يكون لبعض الناس شغل يحب أن ينتهي من التراويح وينصرف ليدرك قول الرسول عليه الصلاة والسلام: (من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة) وإذا كنت أنت تحب الموعظة ويحبها أيضاً نصف الناس بل يحبها ثلاثة أرباع الناس فلا تسجن الربع الأخير من أجل محبة ثلاثة أرباع، أليس الرسول صلى الله عليه وسلم قال: (إذا أمّ أحدكم الناس فليخفف فإن من ورائه ضعيف والمريض وذي الحاجة) أو كما عليه الصلاة والسلام، يعني: لا تقس الناس بنفسك أو بنفس الآخرين الذين يحبون الكلام والموعظة، قس الناس بما يريحهم، صلِّ بهم التراويح وإذا انتهيت من ذلك وانصرفت من صلاتك وانصرف الناس فقل ما شئت من القول. نسأل الله أن يرزقنا وإياكم العلم النافع والعمل الصالح، وأبشروا بالخير بالحضور إلى هذا المكان لأن: (من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة). والحمد لله رب العالمين، وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين.


Terjemah:

Pertanyaan : Bagaimana hukum ceramah atau nasehat yang disampaikan di antara atau di tengah-tengah shalat Tarawih secara kontinu?

Al-’Allāmah Ibn ‘Utsaimīn—rahimahuLlāh—menjawab : Tidaklah mengapa sekiranya (imam) berdiri untuk dua raka’at selanjutnya lantas melihat ketidaklurusan atau celah dan kerenggangan pada shaf para makmum, kemudian ia berkata: “Luruskan dan rapatkan (shaf)!” Yang semacam ini tidak mengapa.

Adapun ceramah atau nasehat (seiring atau di antara shalat Tarawih), maka jangan. Sebab yang demikian bukanlah petunjuk Salaf. Akan tetapi, nasehat dapat disampaikan sekiranya memang ada kebutuhan untuk itu, atau selepas shalat Tarawih jika diinginkan. Namun, apabila diniatkan sebagai ta’abbud (ritual ibadah) maka terjatuh pada bid’ah. Dan, tanda hal tersebut dilakukan dengan niat ta’abbud adalah dengan melakukannya secara kontinu setiap malam.

Selanjutnya, kami katakan: Wahai Saudaraku, mengapa Anda memberi ceramah kepada manusia? Bukankah bisa jadi sebagian orang memiliki kesibukan dan ingin segera menyelesaikan shalat Tarawih, dan berpaling (bersama imam sampai akhir selesai sholat) untuk mendapatkan ucapan Nabi—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam: “Man qāma ma’al imām hatta yansharifa kutiba lahu qiyāmu lailah“ (Barangsiapa yang melakukan shalat [Tarawih] bersama imam sampai imam selesai dan berpaling maka dicatat baginya shalat semalam penuh).

Kalaupun Anda senang (memberi) ceramah dan setengah—bahkan 3/4—dari jama’ah pun senang dengan ceramah tersebut, maka janganlah ‘memenjarakan’ seperempat sisanya karena kecintaan 3/4 jama’ah tadi. Bukankah Rasulullah—shalaLlāhu ‘alaihi wa sallam—berkata, yang kurang lebihnya: “Idzā amma ahadukumun nās falyukhāffif fa inna min warā-ihi dhā`īf wal marīdh wa dzil hājah” (Jika seseorang dari kalian mengimami manusia, maka ringankanlah, sebab di belakangnya terdapat orang yang lemah, sakit atau memiliki keperluan).

Maksudnya, janganlah menyamakan kondisi manusia dengan kondisi dirimu atau mereka yang menyukai ceramah tersebut. Namun samakanlah manusia dengan hal-hal yang melegakan mereka. Shalatlah Tarawih bersama mereka. Selepas shalat, setelah Anda dan orang-orang berpaling dari shalat, maka silahkan Anda menyampaikan apa yang Anda sukai dari ceramah. Kita memohon kepada Allah agar menganugerahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat serta amal shalih. Berikan kabar gembira kepada mereka untuk menghadiri majelis tersebut. Sebab: “Siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah akan permudah jalannya menuju surga.” Al-Hamdu liLlāhi Rabbil ‘ālamīn. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan seluruh sahabat beliau.

Demikian fatwa beliau, rahimahuLlāh rahmatan wāsi’ah.



NB: Bahan tulisan ini adalah dari www.salafyitb.wordpress.com dan dengan bantuan al-Akh al-Fādhil Abū ‘Umair—hafizhahuLlāh.


Sumber : http://tanyasyariah.wordpress.com/2007/10/05/ceramah-tarawih/

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment