BOLEHKAH MENGHADAP KIBLAT & ATAU MEMBELAKANGINYA SAAT BUANG HAJAT?

Bookmark and Share



Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu 'anhu, dia berkata: Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى

“Jika kalian mendatangi tempat buang air maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat dan jangan pula membelakanginya. Akan tetapi menghadaplah ke timurnya atau ke baratnya.” Abu Ayyub berkata, “Ketika kami datang ke Syam, kami dapati WC rumah-rumah di sana dibangun menghadap kiblat. Maka kami beralih darinya (kiblat) dan kami memohon ampun kepada Allah Ta’ala.” (HR. Al-Bukhari no. 245 dan Muslim no. 264)

Sabda beliau, “Akan tetapi menghadaplah ke timurnya atau ke baratnya,” berlaku bagi negeri-negeri yang kiblatnya di utara atau di selatan. Adapun bagi yang kiblatnya di timur atau di barat (seperti Indonesia) maka dia dianjurkan menghadap ke utara atau ke selatan.

Dari Abdullah bin Umar -radhiallahu anhu- dia berkata:

ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِي فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ

“Aku pernah naik di rumah Hafshah untuk mengerjakan sesuatu. Maka (tanpa sengaja) aku melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- buang hajat membelakangi kiblat menghadap Syam.” (HR. Al-Bukhari no. 246 dan Muslim no. 266) 

Penjelasan ringkas:
Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman dia berkata:

قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ

“Ditanyakan kepadanya, ‘(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga tata cara buang air besar? “ ‘Abdurrahman berkata: Salman menjawab, “Ya.” (HR. Muslim no. 262)


Ada empat pendapat di kalangan para ulama:
1. Haram di tempat terbuka dan boleh di dalam bangunan atau di tempat terbuka dengan syarat antara orang yang buang hajat dengan kiblat terdapat penutup.
Ini adalah pendapat Imam Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad dalam satu riwayat.

2. Haram di tempat terbuka dan di dalam bangunan.
Ini adalah pendapat Ahmad dalam riwayatnya yang lain, ia dipilih oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim.

3. Boleh di tempat terbuka dan di dalam bangunan.
Ini adalah pendapat Dawud azh-Zhahiri.

4. Haram menghadap kiblat di tempat terbuka dan di dalam bangunan dan boleh membelakanginya.
Ini adalah riwayat dari Abu Hanifah dan Ahmad.

Dalil pendapat pertama:
A. Hadits Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda,

إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ لِحَاجَتِهِ فَلاَ يَسْتَقْبِل القِبْلَةَ وَلاَ يَسْتَدْبِرْهَا . 

  

“Apabila salah seorang dari kalian duduk buang hajat maka janganlah dia menghadap dan membelakangi kiblat.” (HR. Muslim dan Ahmad).

B. Hadits Abu Ayyub al-Anshari dari Nabi saw bersabda,

إِذَا أَتَيْتُمُ الغَائِطِ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا القِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا . 

 

“Jika kalian mendatangi buang hajat janganlah kalian meghadap dan membelakangi kiblat akan tetapi hendaknya kalian menghadap ke timur atau ke barat.” (Al-Bukhari dan Muslim).


Pendapat ini berkata,
Larangan dalam hadits ini berlaku di tempat terbuka dimana antara dia dengan kiblat tidak terdapat sesuatu yang menutupi, karena terdapat hadits lain yang menetapkan berbeda jika buang hajat dilakukan di dalam bangunan.

C. Hadits Ibnu Umar berkata, “Suatu hari aku naik ke rumah Hafshah, aku melihat Nabi saw buang hajat menghadap Syam membelakangi kiblat.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

D. Hadits Jabir berkata, “Nabi saw melarang kami menghadap kiblat pada saat kencing lalu aku melihatnya menghadap kiblat satu tahun sebelum wafat.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah. An-Nawawi berkata, “Hadits hasan.”).

E. Hadits Aisyah bahwa beberapa orang membenci menghadap kiblat dengan kelamin mereka lalu Nabi saw bersabda, ‘Apakah mereka telah melakukannya, rubahlah pijakan dudukku untuk buang hajat ke kiblat’.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah, an-Nawawi berkata, “Sanadnya hasan.”).

Dalil pendapat kedua:
1) Hadits Abu Hurairah yang dijadikan sebagai dalil oleh pendapat pertama.
2) Hadits Abu Ayyub yang dijadikan sebagai dalil perndapat pertama, kelanjutan hadits tersebut adalah, Abu Ayyub berkata, “Lalu kami datang ke Syam kami mendapatkan kakus-kakus dibangun menghadap kiblat maka kami menghadap ke arah lain dan memohon ampun kepada Allah.”

Pendapat ini berkata,
Alasan larangan adalah kehormatan kiblat dan dalam hal ini tidak ada beda antara tempat tebuka dan bangunan. Di samping itu hadits Ibnu Umar (dalil nomor C yang digunakan oleh pendapat pertama) adalah perbuatan sementara hadits Abu Hurairah dan Abu Ayyub adalah perkataan dan perkataan lebih patut didahulukan daripada perbuatan.

Dalil pendapat ketiga:
Pendapat ini berdalil kepada hadits Jabir (dalil Dan yang digunakan oleh pendapat pertama).
Pendapat ini juga berdalil kepada hadits Aisyah (dalil E yang digunakan oleh pendapat pertama).
Pendapat ini berkata dua hadits ini (hadits Jabir dan Aisyah) menasakh hadits-hadits yang melarang, di samping itu hadits-hadits dalam masalah ini bertentangan maka ia dikembalikan kepada hukum asal yaitu boleh.

Dalil pendapat keempat
Pendapat ini berdalil kepada hadits Abu Hurairah dan Abu Ayyub, mereka berkata, karena hadits-hadits yang melarang menghadap bersifat umum tidak ada yang mengkhususkan, berbeda dengan hadits yang melarang membelakangi, ada yang mengkhususkannya jika dilakukan di bangunan yaitu hadits Ibnu Umar (dalil C pendapat pertama).

Telaah pendapat-pendapat
1. Pendapat yang menyatakan haram secara mutlak baik di tempat terbuka maupun di dalam bangunan adalah kurang tepat karena terdapat dalil yang menunjukkan kebolehannya jika ia di dalam bangunan atau di tempat terbuka tetapi antara orang yang buang hajat dengan kiblat terdapat sesuatu yang menutupi. Adapun apa yang dilakukan oleh Abu Ayyub maka dia ragu dalam keumuman larangan maka demi kehati-hatian dia beristighfar, di samping ia tidak dinukil dari Nabi saw secara jelas.

2. Pendapat yang menyatakan boleh secara mutlak adalah kurang tepat karena dalil-dalil yang melarang adalah shahih dan tidak mansukh sebab dalil-dalil tersebut masih mungkin digabung dengan dalil-dalil yang membolehkan, nasakh hanya digunakan jika dalil-dalil tidak mungkin disingkronkan.

3. Pendapat yang membedakan: menghadap tidak boleh dan membelakangi boleh juga kurang tepat karena tidak ada dalil yang mengkhususkan membelakangi sehingga dibolehkan dan hadits Jabir secara jelas menetapkan menghadap, ia didukung oleh hadits Ibnu Umar ini, dari Marwan al-Asfar berkata, aku melihat Ibnu Umar mendudukkan untanya menghadap kiblat, kemudian dia kencing kepadanya. Aku berkata, “Ya aku Abdur Rahman bukankah ini dilarang?” Dia menjawab, “Ia dilarang di tempat terbuka akan tetapi jika antara dirimu dengan kiblat terdapat sesuatu yang menutupimu maka tidak mengapa.” (HR. Abu Dawud dan al-Hakim, Ibnu Hajar berkata, “Hasan.”).

4. Bagaimanapun hendaknya seorang muslim menghindari menghadap dan membelakangi kiblat pada saat buang hajat agar terbebas dari perbedaan pendapat di kalangan para ulama karena bagaimanapun keluar dari perbedaan pendapat adalah baik. Waallahu A’lam.

(Rujukan: Al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Al-Mughni Ibnu Qudamah, Kifayatul Akhyar Abu Bakar al-Khusaini, asy-Syarhul Mumti’ Ibnu Utsaimin, al-Uddah Abdur Rahman al-Maqdisi, Fatawa Lajnah Daimah, Taudhihul Ahkam Syarah Bulughul al-Maram Abdullah al-Bassam).

Sumber : 
http://moslemsunnah.wordpress.com/2009/07/17/bolehkah-menghadap-kiblat-atau-membelakanginya-pada-saat-buang-hajat/

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment