Oleh : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
[1]. Menyembelih kerbau sesampainya jenazah di kuburan sebelum pemakamannya dan kemudian membagikannya kepada semua orang yang mengiringinya. [Al-Ibdaa, hal. 114]
[2]. Meletakkan darah hewan yang disembelih saat keluarnya jenazah dari rumah di kuburan
[3]. Mengumandangkan dzikir di sekitar tempat pembaringan mayit sebelum pemakamannya.
[1]. Menyembelih kerbau sesampainya jenazah di kuburan sebelum pemakamannya dan kemudian membagikannya kepada semua orang yang mengiringinya. [Al-Ibdaa, hal. 114]
[2]. Meletakkan darah hewan yang disembelih saat keluarnya jenazah dari rumah di kuburan
[3]. Mengumandangkan dzikir di sekitar tempat pembaringan mayit sebelum pemakamannya.
[4]. Mengumandangkan adzan saat memasukkan mayit di kuburan. [Haasyiyatu Ibni Abidin I/837]
[5]. Menurunkan mayit ke dalam kuburan dari arah kepala.[Rujuk kembali masalah ke-103]
[6]. Menaruh sedikit tanah Al-Husain ke mayit saat menurunkannya ke dalam kuburan, karena tanah tersebut akan memberi rasa aman dari segala yang menakutkan. [Demikianlah yang diklaim di dalam kitabMiftaah Al-Karaamah I/497]]
[7]. Meletakkan pasir di bawah mayit bukan karena suatu keperluan yang mendesak. [Al-Madkhal III/261]
[8]. Meletakkan bantal atau yang semisalnya di bawah kepala mayit di dalam kuburnya. [Al-Madkhal III/260]
[9]. Memercikkan air ke mayit di dalam kuburnya. [Al-Madkhal III/262 dan II/222]
[10]. Menaburkan tanah denan punggung telapak tangan seraya mengucapkan : Inna Lillahi wa Innaa Ilaihi Raaji’un. [Ini adalah madzhab Imamiyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftah Al-Karaamah I/499. Seakan-akan mereka melakukan hal seperti itu dalam rangka menyalahi apa yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah yang menaburkan tanah, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menaburkan tanah dengan kedua telapak tangan (bukan punggungnya). Silakan rujuk kembali masalah ke-103]
[11]. Membaca ayat : “Minhaa khalaqnaakum” pada taburan pertama, lalu ayat : “Wa fiihaa Nu’iidukum” pada taburan kedua, dan ayat : “Wa minhaa Nukhrijukum taaratan ukhra” pada taburan ketiga. [Rujuk kembali masalah ke-105]
[12]. Ucapan pada taburan pertama : “Bismillah”, pada taburan kedua : “Al-Mulku lillahi”, pada taburan ketiga : “Al-Qudratu lillahi”, pada taburan keempat : “Al-izzatu lillahi”, pada taburan kelima : “Al-Afwu wa al-Ghufraanu lillahi, pada taburan keenam : “Ar-Rahmatu lillah”, dan kemudian pada taburan ketujuh membaca firman Allah Ta’ala : “ Kullu man ‘alaihaa faan”, dan membaca pada firmanNya :”Minhaa khalanaakum”.
[13]. Membaca tujuh surat, yaitu : Al-Faatihah, Al-Falaq, An-Naas, Al-Ikhlaas, (Idzaa jaa’a nashrullaahi) juga (ulyaa ayyuhal kaafiruun), serta (Innaa anzalnaahu). Dan juga do’a berikut ini : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu yang agung, aku juga memohon kepada-Mu yang merupakan pilar penegak agama, dan aku memohon kepada-Mu.. Juga memohon kepada-Mu… Serta memohon kepada-Mu…Dan aku memohon kepada-Mu dengan menyebut nama-Mu, yang jika Engkau diminta dengannya, niscaya Engkau pasti akan memberikan, dan jika dipanjatkan do’a kepada-Mu dengan menyebutnya, pasti Engkau akan mengabulkannya, wahai Rabb Jibril, Mika’il, Israfil, dan Uzra’il… sampai akhir : Semuanya ini dibaca saat pemakaman jenazah. [Hal tersebut dan juga yang sebelumnya dianjurkan dibaca, seperti di dalam kitab Syarhu Asy-Syir’ah, hal. 568. Dan diantara yang menunjukkan pembuatan hal tersebut adalah bahwa di dalamnya disebutkan nama Uzra’il, dan hal itu tidak mempunyai dasar sama sekali di dalam Sunnah, sebagaimana yang telah diperingatkan sebelumnya.]
[14]. Membaca Al-Fatihah di kepala mayit dan juga pembukaan surat Al-Baqarah di bagian kedua kakinya. [Hal tersebut diriwayatkan dalam hadits yang bersumber dari Ibnu Umar secara marfu, tetapi dinilai dha’if oleh Al-Haitsami III/45. Dan diriwayatkan puladarinya secara mauquf dengan status dhaif, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pada masalah k-122]
[15]. Membaca Al-Qur’an pada saat menaburkan tanah ke mayit. [Al-Madkhal III/262-263]
[16]. Mentalqin orang yang sudah meninggal dunia. [As-Sunnan, hal.67 Subulus Salaam karya Ash-Shan’ani. Dan lihat juga masalah ke 106]
[17]. Memasang dua buah batu di atas kuburan wanita.[Nailul Authaar IV/73 karya Asy-Syaukani]
[18]. Membaca sya’ir duka cita di kuburan setelah selesai pemakaman. [Al-Ibdaa, hal. 124-125]
[19]. Memindahkan mayit sebelum atau sesudah pemakaman ke tempat-tempat yang dinilai mulia. [Ini merupakan madzhab Imamiyyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftaahu Al-Karaamah I/507 dan 500]
[20]. Berdiam di sisi mayit seusai pemakamannya, baik di rumah, atau di pekuburan, atau di dekatnya. [Al-Madkhal III/278]
[21]. Penolakan mereka untuk memasuki rumah jika kembali dari pemakaman sehingga menyuci bagian-bagian yang bersentuhan dengan mayit. [Al-Madkhal III/276]
[22]. Meletakkan makanan dan minuman di atas kuburan supaya orang-orang mengambilnya.
[23]. Bersedekah di kuburan. [Al-Iqtidhaa Ash-Shiraath, hal. 183 dan Kasyfu Al-Qinaa II/134]
[24]. Menyiramkan air di atas kuburan di bagian kepalanya, dilanjutkan dengan mengitari kuburan, setelah itu air yang masih tersisa di siramkan kembali ke bagian tengah kuburan. [Ini juga merupakan madzhab Imamiyyah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Miftaahu Al-Karaamah I/507 dan 500]
[Disalin dari kitab Ahkamul Janaaiz wa Bida’uha, Edisi Indonesia Hukum Dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan Sunnah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah M.Abdul Ghoffar EM, Penerbit Puskata Imam Asy-Syafi’i]
Sumber : http://www.almanhaj.or.id/content/673/slash/0
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment