Jawaban kepada Andya Primanda

Bookmark and Share
Andya Primanda, seorang paleontolog Muslim asal Indonesia, baru-baru ini telah menyanggah buku-buku dan artikel-artikel yang ditampilkan pada situs www.harunyahya.com yang membantah teori evolusi. Primanda, yang menyatakan dirinya beriman kepada Tuhan – sehingga kami beranggapan dirinya meyakini penciptaan – mungkin telah terpengaruh oleh dogma Darwinis yang sangat mempengaruhi dunia paleoanthropologi. Dirinya bersikukuh mendukung teori evolusi dan menyatakan bahwa sanggahan terhadap teori evolusi tidaklah benar. Namun, sebagaimana akan kita pahami berikut ini, selain Primanda telah keliru dalam keyakinannya terhadap teori evolusi, ia juga telah keliru dalam sanggahannya terhadap mereka yang mengungkap kesalahan-kesalahan dalam teori evolusi.
PEMAHAMAN KELIRU PRIMANDA TENTANG SAHELANTHROPUS
Keberatan utama Primanda ditujukan kepada penafsiran terhadap sebuah tengkorak yang ditemukan beberapa waktu yang lalu di Chad yang diberi nama Sahelanthropus tchadensis. Dalam sebuah tulisan tentang tengkorak tersebut yang diberi judul "New Fossil Discovery Sinks Evolutionary Theories" (“Temuan Fosil Terbaru Menenggelamkan Teori Evolusi”) yang baru-baru ini ditampilkan di situs Harun Yahya, kami menyatakan bahwa fosil berusia tujuh juta tahun bernama Sahelanthropus tchadensis ini, kendatipun usianya yang sangat tua, ternyata lebih “mirip manusia” dibandingkan genus Australopithecus, yang tergolong berusia lebih muda dan telah dikemukakan sebagai nenek moyang primitif manusia. Kami menuliskan bahwa bukti ini akan mencabut pohon silsilah evolusi keluar hingga ke akar-akarnya.
Primanda, dalam jawabannya kepada kami, menolak penafsiran kami dan dalam keseluruhan tulisannya, ia menyatakan bahwa Sahelanthropus lebih “mirip kera” daripada Australopithecus dalam segala hal. Ia menulis:
HY (Harun Yahya) mendasarkan pernyataannya pada anggapan bahwa Sahelanthropus memperlihatkan ‘ciri-ciri yang lebih menyerupai manusia’ dibanding australopiths (Australopithecus, Paranthropus, Ardipithecus), akan tetapi hidup sebelum (lebih dahulu daripada) mereka.
Akan tetapi, Primanda mengabaikan satu fakta penting. Mereka yang membuat pernyataan tentang Sahelanthropus ini adalah para ilmuwan yang menemukan dan mempelajari fosil itu sendiri, dan para ilmuwan ini adalah juga pendukung teori evolusi. Sebuah artikel yang dimuat dalam majalah Nature menyatakan:
Apa yang mengejutkan tentang tengkorak TM 266-01-060-1 berukuran sipanse yang ditemukan Brunet dkk tersebut adalah sifat perpaduannya. Secara sederhana, dari belakang ia tampak seperti seekor sipanse, sedangkan dari muka dapat dianggap sebagai australopithecus yang telah maju dan berusia 1,75 juta tahun. Ciri-ciri hominid ini termasuk struktur muka, dan mahkota gigi taring kecil yang ujungnya telah tumpul. Ciri-ciri hominid lain ditemukan pada bagian bawah tengkorak dan pada potongan rahangnya yang terpisah. Jika kita terima ini semua sebagai bukti yang cukup untuk menggolongkan S. tchadensis sebagai seekor hominid pada bagian paling bawah, atau batang pokok, dari kelompok manusia modern, maka hal ini memporak-porandakan model silsilah asal-usul manusia yang telah rapi. Sederhana saja, hominid berumur sekian ini seharusnya sekedar mulai menampakkan tanda-tanda sebagai hominid. Sudah tentu ia semestinya tidak memiliki wajah hominid kurang dari sepertiga usia geologisnya. Juga, jika ia diterima sebagai hominid batang pokok, maka dalam model silsilah yang telah rapi tersebut prinsip parsimoni ) (principle of parsimony) menetapkan bahwa semua makhluk berwajah lebih primitif (dan ini adalah sebuah daftar yang sangat panjang), karena diperlukan, akan harus dikeluarkan dari kelompok nenek moyang manusia modern.1
Singkatnya, fosil tersebut menampilkan gambaran yang justru bertentangan dengan “skema evolusi” yang telah dipaksakan agar diterima masyarakat selama lebih dari seabad sejak Darwin. Ketidaksesuaian ini tampak sangat nyata sehingga penulis majalah Nature tersebut menyetarakan penemuan fosil ini dengan fosil-fosil Burgess Shale yang memperlihatkan Ledakan Kambrium, yang barangkali termasuk bukti paleontologis paling terkenal yang menyanggah teori Darwin:
Fauna Burgess Shale di Kanada, yang menampilkan contoh yang memingungkan dari kelompok invertebrata sekitar 500 juta tahun lalu, adalah sebuah contoh terkenal tentang keanekaragaman pada bagian dasar dari sebuah radiasi adaptif. Apakah S. tchandensis merupakan kera Afrika yang setara dengan penemuan fosil the Burgess Shale?2
Teori evolusi tidak mampu menjelaskan Ledakan Kambrium, yakni kemunculan tiba-tiba lebih dari 60 filum binatang di planet kita. Teori ini juga gagal menjelaskan asal-muasal manusia. Fosil yang baru saja diketemukan tersebut menjadikan ketidakmampuan ini malah tampak semakin nyata. Primanda menolak penungkapan fakta ini oleh kami, sebuah sanggahan yang tak bermakna.
Dihadapkan pada kenyataan ini, apa yang Primanda ingin lakukan adalah untuk menunjukkan bahwa ciri-ciri Sahelanthropus yang relatif modern tersebut sebenarnya tidak ada. Ia membicarakan dua ciri, prognathisme ) dan letak foramen magnum ), akan tetapi analisanya sangatlah dangkal. Pengkajiannya terhadap prognathisme tidak lain hanyalah meletakkan gambar garis bentuk Sahelanthropus pada sejumlah fosil hominid, satu di atas yang lain, dan ia sendiri mengakui bahwa “cara pembandingan seperti ini mungkin tidak konsisten” dan bahwa “hasilnya mungkin tidak bernilai tinggi.”
Penjelasannya tentang foramen magnum adalah penghindaran diri dari permasalahan yang sesungguhnya. Ini juga terlihat dalam gambar yang dibuatnya yang didasarkan pada letak foramen magnum; ketika dibandingkan dengan Australopithecus, Sahelanthropus ternyata lebih modern. Dan ini mengukuhkan apa yang telah kami kemukakan sejak awal, yakni bahwa Sahelanthropus, meskipun lebih tua dari Australopithecus, memiliki lebih banyak ciri-ciri modern, dan karenanya silsilah evolusi berdasarkan atas ciri-ciri ini tidak dapat dibuat. Primanda menghibur diri dengan menanggapi pernyataan ini dengan tulisan, “Sahelanthropus terletak sangat pas pada posisi pertengahan, antara posisi kera dan manusia,” tapi ini sama sekali keluar dari pokok bahasan yang sesungguhnya. Yang menjadi pokok bahasan di sini adalah pembandingan antara Sahelanthropus dan Australopithecus.
PEMBICARAAN TENTANG AUSTRALOPITHECUS
Pada pokok bahasan ini, Primanda merujuk pada penjelasan kami tentang Australopithecus dan menyanggah hasil kajian Zuckerman, Oxnard dan Spoor. Ia juga menulis bahwa kajian yang dilakukan Spoor telah berubah. Adalah fakta bahwa cara berjalan Australiopithecus adalah permasalahan yang masih dipertentangkan. Namun demikian pendapat yang disepakati bersama adalah bahwa anggota-anggota genus ini hidup di pepohonan, dan bahwa mereka menggunakan kedua kaki mereka ketika berjalan di atas tanah. Telah diterima bahwa penggunaan kedua kaki ini tidaklah seperti pada manusia, dan faktanya memang sangatlah berbeda, dan merupakan cara berjalan yang lebih membungkuk dibandingkan manusia.
Lantas jika Australopithecus berjalan lebih tegak dibanding kera-kera yang masih ada sekarang, maka ini akan membuktikan apa? Kini bumi kaya akan beragam spesies kera, dan tidaklah terlalu jauh untuk beranggapan bahwa keanekaragaman ini bahkan lebih besar di masa lampau dan ini juga berlaku pada cara jalan mereka. Apa yang penting di sini adalah bahwa pengaturan silsilah evolusi tidak dapat dilakukan di antara jenis-jenis kera ini.
Masih terdapat satu hal lagi yang bahkan lebih penting yang menempatkan teori evolusi pada kesulitan besar berkenaan dengan skenarionya tentang asal-usul manusia dan spesies-spesies lain: Sejumlah mekanisme yang dianggap menjadikan skenario evolusi ini kenyataannya adalah sama sekali hasil rekayasa. Jika anda mengkaji penjelasan evolusionis, akan dikatakan bahwa makhluk-makhluk ini menjadi terbiasa berjalan setelah mereka turun dari pepohonan, dan kerangka mereka menjadi lebih tegak karena mereka diharuskan memposisikan tubuh mereka lebih lurus ketika berjalan melintasi padang rumput. Karena tidak memegang dahan pepohonan, maka telapak tangan mereka kosong sehingga mereka mulai menggunakan tangan mereka, dan ini menjadikan otak mereka berkembang. Ini terdengar seperti sebuah dongeng rekaan yang didasarkan pada logika Lamarckis, seperti tentang evolusi anggota tubuh yang terjadi dikarenakan anggota tubuh ini mulai dibutuhkan untuk berfungsi, dan juga tentang pewarisan sifat-sifat dapatan. Akan tetapi ini hanyalah menampakkan bagaimana dongeng ini dipaksakan kepada masyarakat. (Tidak heran jika Lamarckisme ternyata merupakan teori yang mengecohkan). Jika kita meneliti penjelasan ini lebih dekat, akan kita ketahui bahwa mekanisme satu-satunya yang mungkin yang mendasari dongeng khayalan ini adalah mekanisme pasangan seleksi alam-mutasi. Akan tetapi, semua percobaan dan pengamatan menunjukkan bahwa mekanisme ini tidak menyebabkan pertambahan informasi genetis.
Penelaahan terhadap penjelasan evolusi ini, termasuk mekanisme seleksi alam dan mutasi, sudah cukup untuk memperlihatkannya sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Australopithecus yang berusaha berjalan tegak di padang rumput haruslah memiliki mutasi semacam ini agar ia memperoleh kerangka yang lebih tegak, mekanisme penyeimbang yang diperlukan bagi kerangka ini, foramen magnum dan mekanisme otot, dan ia haruslah tidak menderita efek-efek sakit dari mutasi ini. (Namun, ini mustahil karena keberadaan efek pleiotropik ).) Di samping itu, mutant yang dianggap ada ini haruslah lebih unggul dibandingkan dengan mutan-mutan yang lain dari spesiesnya saja sebab ia mampu melihat bagian-bagian yang lebih tinggi dari rerumputan tinggi, dan ia haruslah telah berkembang biak dan memunculkan kera spesies baru. Semua ciri fisik dan mental lainnya yang menjadikan kita manusia haruslah terjadi melalui mutasi-mutasi acak seperti ini; semua perubahan ini haruslah telah terjadi melalui mutasi tanpa sengaja ini. Ini tidak lain hanyalah sebuah khayalan, atau dalam perkataan Henry Gee, editor majalah Nature, sebuah “dongeng pengantar tidur.3 Biologiwan Prancis terkenal Pierre-Paul Grasse suatu ketika pernah mengatakan, “Tidak ada undang-undang yang melarang berkhayal, akan tetapi ilmu pengetahuan haruslah tidak terbuai di dalamnya.4
Oleh karena itu, Primanda, dalam tulisan yang dikemukakan sebelumnya, tidak memiliki dasar apapun selain prasangka Darwinis dalam menyanggah pendapat kami yang menyatakan bahwa Austalopithecus adalah genus kera tersendiri yang tidak ada hubungannya dengan manusia, yang pada akhirnya menjadi punah.
PERBINCANGAN MENGENAI BENTUK SEMAK DAN KONTRADIKSI PRIMANDA
Primanda mendasarkan pandangan-pandangannya pada bukti-bukti rekaan, dan ia mengemukakan sanggahan rancu terhadap kami. Salah satu sanggahannya adalah bahwa pendapat Bernard Wood tentang evolusi manusia terlihat lebih menyerupai bentuk semak ketimbang sebuah tangga. Primanda menulis:
Harun Yahya tidak mampu menjelaskan dua hal:
1. Sebagaimana diperlihatkan sebelumnya, Sahelanthropus tidak memperlihatkan ciri-ciri lebih menyerupai manusia dibandingkan Australopithecines;
2. ‘Skema evolusionis’, ‘tangga dari kera ke manusia’ adalah argumentasi yang dibuat-buat.
Pandangan ilmiah yang paling banyak diterima kini beralih ke suatu pandangan yang lain. Harun Yahya mengutip Bernard Wood yang mengatakan bahwa ‘...sejarah evolusi manusia berbentuk tangga di tahun 1960-an...tapi sekarang terlihat menerupai bentuk semak. Pada kenyataannya, perubahan pandangan tentang evolusi ini disebabkan karena catatan fosil manusia yang terus-menerus bertambah banyak, dengan sejumlah penemuan baru dan tak terduga yang terjadi setiap beberapa tahun.
Lalu kenapa? Di tengah-tengah sanggahannya terhadap kami, Primanda mengulang persis fakta-fakta yang telah kami sebutkan. Benar, sejarah evolusi tidak lagi terlihat menyerupai sebuah “pohon” akan tetapi lebih mirip “semak,” dan ini dikarenakan bukti-bukti yang berhasil digali tidak pas dengan silsilah kehidupan Darwinis yang telah berusia 150 tahun maupun pengurutan evolusi manapun. Primanda dan pihak lain masih saja berusaha mengotak-atik “hipotesis evolusi” dari semak ini, tapi pada akhirnya kita mendapatkan kebenaran yang nyata ini: Fosil-fosil tersebut tidak mendukung Darwinisme. Kalangan evolusionis berkeyakinan bahwa semakin banyak fosil yang mereka temukan, maka ini akan semakin memperkuat teori evolusi, namun nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Niles Eldredge dari Harvard University, salah seorang paleontolog terkemuka asal Amerika Serikat, dan Ian Tattersall dari American Museum of Natural History pernah menulis:
Adalah mitos bahwa sejarah evolusi makhluk hidup pada dasarnya adalah masalah tentang penemuan (fosil). Jika ini benar, seseorang akan dengan yakin memperkirakan bahwa dengan semakin banyaknya fosil hominid yang ditemukan, maka sejarah evolusi manusia akan semakin jelas. Tetapi, andaipun ada, yang terjadi malah sebaliknya. 5
Satu hal penting di sini perlu mendapat perhatian khusus: penggantian bentuk “pohon” dengan bentuk “semak” bukanlah didasarkan pada bukti, akan tetapi lebih dikarenakan ketiadaan bukti. Ya begitulah, banyak fosil yang telah ditemukan, akan tetapi ini adalah bukti yang malah membantah teori evolusi. Satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini bagi para evolusionis adalah dengan memunculkan model “semak” untuk mengganti model “pohon” agar dapat menampilkan ketidakteraturan ini. Model semak ini tidak lain hanyalah alasan yang sengaja dimunculkan untuk mengalihkan perhatian dari kumpulan bukti fosil yang justru menyanggah Darwinisme.
Jika anda meyakini secara buta teori evolusi, anda akan berusaha menafsirkan setiap penemuan baru untuk mendukung teori ini. Kalangan Marxis yang mempercayai Marxisme secara buta berlindung di bawah payung Leninism ketika revolusi sebagaimana yang dijanjikan Marx gagal terjadi. Orang-orang yang memiliki keyakinan buta dapat selalu memunculkan penjelasan yang dicari-cari bagi setiap permasalahan. Sebaliknya, orang yang jauh dari keyakinan buta dengan mudah mampu melihat keadaan yang sesungguhnya: data-data yang ada tidak sesuai dengan teori ini.
TUDUHAN TERHADAP PENAFSIRAN SALAH ATAS PERNYATAAN GEE
Salah satu sanggahan Primanda adalah bahwa editor majalah Nature Henry Gee telah dikutip secara keliru oleh kami:
Harun Yahya juga salah dalam mengutip pernyataan Henry Gee, yang menyatakan bahwa ‘Gagasan tentang mata rantai yang hilang ... kini sama sekali tidak dapat dipertahankan.’
Tuduhan ini sama sekali tidak berdasar. Di bawah ini kami tulis ulang salah satu dari penjelasan Gee yang lebih panjang guna menghilangkan keraguan apa pun tentang masalah ini:
Sebuah tengkorak berusia tujuh juta tahun yang ditemukan di padang pasir Afrika tengah mungkin adalah temuan terpenting dalam pencarian asal-usul manusia yang masih ada dalam ingatan – sejak Raymond Dart mengumumkan (penemuan) “manusia kera” Australopithecus africanus pada tahun 1925. Akan tetapi pengaruh awalnya mungkin malah membuat bingung daripada mencerahkan. Apapun hasilnya, tengkorak tersebut memperlihatkan, untuk selamanya, bahwa gagasan kuno tentang “mata rantai yang hilang” adalah omong kosong...
Mengapa Toumaï begitu penting? Pertama, ia adalah sisa hominid paling awal yang diketahui dan yang dapat dipercaya– hominid adalah satu anggota dari kelompok makhluk hidup yang lebih dekat kekerabatannya dengan manusia dibandingkan binatang mana pun. Ia juga dua kali lebih tua dari tengkorak paling awal yang pernah diketahui: pemegang rekor sebelumnya, dari Kenya, berusia sekitar 3,3 juta tahun.
Kedua, ia mengarah langsung ke bagian sejarah evolusi manusia yang paling penting, tapi paling sedikit diketahui. Diduga bahwa nenek moyang bersama dan terakhir dari manusia dan para kerabat terdekat kita yang masih hidup, sipanse, hidup sekitar 7 juta tahun yang lalu. Kita mengetahui hal ini bukan dari bukti fosil langsung, melainkan dari mengkaji sejumlah perbedaan kecil dari gen-gen manusia dan sipanse, yang di luar perbedaan ini gen-gen keduanya mirip, dan dari memperkirakan waktu yang diperlukan bagi sejumlah perbedaan ini untuk semakin bertambah.
Dengan melihat kepada bukti fosil itu sendiri, kita melihat sebuah celah yang sangat lebar dan memusingkan. Sepuluh juta tahun yang lalu, bumi dipenuhi kera, akan tetapi tidak ada kesepakatan tentang mana di antara mereka yang paling dekat pada evolusi manusia. Apa pun yang terjadi, sebuah garis silsilah jelas yang mengarah kepada manusia, sebagaimana juga garis kekerabatan jelas yang bermula dari sipanse, tidak pernah ada saat itu...
Jadi terlihat seperti apakah Toumaï? Ia adalah perpaduan antara ciri primitif dan ciri telah maju yang membingungkan. Tempurung otaknya berukuran dan berbentuk sama seperti seekor sipanse. Namun pada wajahnya didapati hal yang menarik tersebut. Ketimbang memiliki moncong yang menonjol dengan gigi-gigi taring yang besar, muka tersebut datar dan gigi-giginya sangat kecil dan menyerupai pada manusia. Yang paling aneh di antara semuanya adalah tonjolan dahi yang besar. Ini biasanya dikaitkan dengan genus Homo kita sendiri, dan sebaliknya tidak terlihat pada fosil apapun yang lebih tua dari 2 juta tahun...
Orang-orang dan para penulis berita cenderung memahami evolusi manusia sebagai sebuah garis yang menghubungkan kera ke manusia, yang ke dalamnya seseorang dapat menempatkan secara tepat fosil-fosil yang baru ditemukan dengan mudah layaknya menyambung sebuah rantai. Bahkan anthropolog modern terjerembab ke dalam perangkap ini, mereka menerima bentuk semak tertentu dalam pohon silsilah asal-usul manusia antara 3 juta dan 2 juta tahun yang lalu – yakni ketika genus Homo muncul pertama kali – tapi meyakini bahwa evolusi manusia sebelum masa itu, pada dasarnya, berbentuk linier. Wood yakin bahwa silsilah tersebut ke bawahnya secara keseluruhan berentuk semak. Penelitian baru-baru ini guna mengetahui seberapa banyak kita sebenarnya mengetahui masa lalu tersebut mendukung pandangan ini, dan mengemukakan bahwa kita memiliki bukti langsung hanya sebesar 7% dari keseluruhan spesies primata yang pernah hidup.
Ini memiliki arti tiga hal. Pertama, bahwa kita cenderung melihat pada sejumlah kecil ujung dari semak yang kita ketahui tersebut, menghubungkan mereka dengan garis, dan membuat mereka menjadi urutan linier para nenek moyang dan keturunannya yang sebenarnya tidak pernah ada. Tapi hal ini seharusnya telah sangat jelas sekarang bahwa gagasan utama tentang mata rantai yang hilang, yang selalu meragukan, kini sama sekali tidak dapat dipertahankan. 6
Singkatnya, Gee mengatakan bahwa model evolusi manusia ada “bukan dari bukti fosil langsung,” bahwa terdapat “sebuah celah sangat lebar dan memusingkan” dalam catatan fosil, dan oleh karenanya, gagasan tentang “mata rantai yang hilang” juga “sama sekali tidak dapat dipertahankan.” Ini adalah apa yang telah kami kemukakan sejak awal. Jadi tuduhan Primanda bahwa pernyataan Gee telah dikutip secara salah adalah sama sekali tidak jujur.
DOGMATISME PRIMANDA
Dogmatisme Primanda malah lebih menarik lagi. Segera setelah tuduhan tidak berdasarnya terhadap kami tentang kutipan Gee, ia menulis:
Sudah tentu tidak ada sesuatu yang disebut sebagai ‘mata rantai yang hilang’. Setiap organisme, baik yang masih hidup atau yang telah menjadi fosil, adalah mata rantai yang menghubungkan makhluk-makhluk yang telah ada sebelumnya dan yang ada setelahnya. Tiap-tiap organisme adalah bentuk transisi (peralihan); tidak ada satu pun yang dapat dijadikan sebagai mata rantai yang hilang, titik perubahan, tanda perubahan dari satu jenis ke jenis yang lain. Perubahan secara evolusi adalah bertahap dalam jangka waktu lama.
Dengan menyatakan ini, Primanda merubah arti istilah “bentuk transisi (peralihan),” atau – lebih tepatnya – memutarbalikkan artinya. Bentuk transisi, sejak Darwin, tidak merujuk pada spesies yang kini masih ada, namun sebaliknya ini adalah istilah yang diberikan kepada nenek-nenek moyang teoritis (yang hanya ada dalam teori) yang dianggap pernah hidup di masa lampau dan berbeda satu sama lain dengan sejumlah perbedaan morfologis yang teramat kecil. Jika setiap makhluk hidup adalah bentuk transisi, maka Darwin tidak akan pernah mengalami kebingungan halaman demi halaman dalam bukunya The Origin of Species dalam usahanya menjelaskan mengapa bentuk-bentuk transisi ini tidak ditemukan di mana pun. Para paleontolog tidak akan menghabiskan waktu 150 tahun terakhir dengan menggali di seluruh ujung dunia dalam usaha untuk menemukan bentuk-bentuk transisi ini.
Dengan kata lain, disebabkan oleh ketiadaan bentuk-bentuk transisi ini, Primanda berlindung diri dalam penjelasan dangkal, yakni dengan mengatakan bahwa “setiap organisme adalah sebuah bentuk transisi.” Hanya anak kecil yang dapat meyakini penjelasan seperti ini, sebab kenyataan justru berbicara sebaliknya. Nyatanya, para evolusionis yang lebih serius mengakui fakta ini. Misalnya, Robert Carroll, seorang pakar evolusi terkemuka, menulis:
Meskipun saat ini spesies dalam jumlah yang hampir tidak dapat diketahui menghuni Bumi, mereka tidak membentuk sebuah spektrum yang bersambungan yang terdiri dari bentuk-bentuk pertengahan yang sulit dibedakan. Sebaliknya, hampir semua spesies dapat dikenali sebagai berasal dari kelompok-kelompok utama berjumlah relatif terbatas yang sangat jelas perbedaannya, dengan sedikit sekali menampakkan struktur-struktur atau perilaku hidup pertengahan.7
KEKELIRUAN MOLEKULER
Tulisan Primanda yang lain, yang diberi judul “An Invitation to the Facts: Response to Chapter 9 of The Evolution Deceit" (“Seruan kepada Fakta: Sanggahan atas Bab 9 The Evolution Deceit”), yang ia susun sebagai jawaban terhadap bab dalam buku “The Evolution Deceit” yang membahas tentang asal-usul manusia, juga berisi sejumlah kekeliruan penting.
Mereka yang membaca judul tulisan ini mungkin akan diarahkan untuk beranggapan bahwa tulisan ini akan mengungkapkan jawaban yang panjang. Namun, satu-satunya pernyataan di dalamnya yang perlu dicermati adalah bahwa terdapat kemiripan molekuler (genetik) antara sipanse dan manusia. Primanda mengatakan bahwa terdapat 99 persen kemiripan dan oleh karenanya kita tidak dapat menyanggah bahwa manusia dan kera adalah berkerabat, namun justru di sinilah ia membuat kesalahan besarnya: tidak terdapat kemiripan genetik semacam ini. Sebuah penemuan ilmiah tentang hal ini yang telah diumumkan hanya beberapa minggu yang lalu mengungkapkan bahwa kemiripan genetik ini telah dibesar-besarkan dan angka yang benar sesungguhnya kurang dari 95 persen. Artikel kami, yang diberi judul "The 99% Myth Is Dead" (“Mitos 99% Kemiripan telah Mati”), memaparkan hal ini secara rinci dan dengan demikian membantah pernyataan Primanda tentang kemiripan molekuler, yang tampaknya menjadi senjata utamanya.
KESIMPULAN
Kendatipun kesetiaannya terhadap Darwinisme, Primanda mengatakan bahwa ia adalah seorang Muslim yang beriman. Kami menghargai hal ini. Akan tetapi, kami akan melalaikan kewajiban kami jika tidak menunjukkan pertentangan antara keyakinannya kepada Islam dan Darwinisme. Ia seharusnya bertanya pada diri sendiri: Jika ia seorang Muslim yang beriman, mengapa ia mempertahankan sebuah teori yang dipertahankan oleh para atheis tulen yang militan? Jika ia seorang Muslim yang beriman, mengapa ia melakukan sesuatu untuk mendukung teori ini, yang menjadi landasan paham Marxisme, Leninisme, Maoisme, Freudianisme, dan, yang terpenting lagi, seluruh filsafat materialis? Ia tidak sepatutnya menjawab beragam pertanyaan ini dengan mengatakan bahwa ia melakukan ini demi ilmu pengetahuan, sebab kini seluruh dunia telah mengetahui bahwa Darwinisme bukanlah sebuah teori ilmiah, melainkan sebuah filsafat. Ini adalah filsafat yang alasan keberadaannya yang sesungguhnya adalah untuk mengingkari penciptaan dan Pencipta.
Kami hanya dapat berharap bahwa Primanda akan mampu membebaskan dirinya sendiri belenggu filsafat ini dan mulai melihat segala sesuatu sebagaimana kenyataannya.

Referensi:
1. Bernard Wood, "Hominid Revelations from Chad", Nature, 11 Juli 2002, hal. 134.
2. Bernard Wood, "Hominid Revelations from Chad", Nature, 11 Juli 2002, hal. 135.
3. Henry Gee, In Search of Deep Time, New York, The Free Press, 1999, hal. 116-117.
4. Pierre-P Grassé, Evolution of Living Organisms, Academic Press, New York, 1977, hal. 103.
5. Niles Eldredge, Ian Tattersall, The Myths of Human Evolution, hal. 126-127
6. "Face Of Yesterday: Henry Gee On The Dramatic Discovery Of A Seven-Million-Year-Old Hominid" The Guardian, 11 Juli 2002.
7. Robert L. Carroll, Patterns and Processes of Vertebrate Evolution, Cambridge University Press, 1997, hal. 9. 


Sumber : http://www.harunyahya.com/indo/artikel/033.htm

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment