CELAKALAH TUMIT YANG TIDAK TERBASUH AIR !

Bookmark and Share



Bismillah,
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: Suatu saat kami menempuh perjalanan pulang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah. Sampai akhirnya di tengah jalan kami tiba di sebuah lembah -yang terdapat mata air padanya-. Karena waktu ‘Ashar sudah hampir tiba sebagian orang bergegas mendahului rombongan lalu berwudhu dalam keadaan tergesa-gesa. Setibanya kami di sana, tampak bahwa tumit mereka tidak tersentuh oleh air -dalam riwayat Bukhari perawi berkata; kami hanya mengusap kaki kami-. Melihat hal itu maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi ‘alaihi wa sallam berteriak, “Celakalah tumit-tumit -yang tidak terbasuh air, pent- karena jilatan api neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.” Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa perawi berkata, “Beliau -Nabi- mengulangi ucapannya itu dua atau tiga kali.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Fath al-Bari [1/175] dan Syarh Muslim [3/31])

Hadits yang agung ini mengandung mutiara hikmah antara lain:

Pertama :
Wajibnya membasuh/mencuci kedua kaki dengan air secara sempurna ketika berwudhu, tidak cukup mengusapnya. Sebab seandainya dengan mengusap saja cukup niscaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memberikan ancaman neraka bagi orang yang tidak membasuh kedua tumitnya, demikian penjelasan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Abdil Barr, dan an-Nawawi. Dalam sebagian riwayat Muslim dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah mata kaki -yang tidak terbasuh air itu- karena jilatan api neraka.” Dalam riwayat ini juga dikatakan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang lelaki yang tidak membasuh kedua tumitnya lantas beliau memberikan teguran keras semacam itu. Sehingga hal ini menjadi bantahan bagi kaum Syi’ah yang hanya mewajibkan mengusap kaki. Abdurrahman bin Abi Laila berkata, “Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepakat mengenai wajibnya membasuh/mencuci kedua kaki.” (lihat Syarh Muslim [3/29-32], Fath al-Bari [1/319-320], al-Istidzkar [2/51] pdf)

Kedua :
Perintah untuk menyempurnakan wudhu. Yang dimaksud menyempurnakan wudhu adalah menunaikan hak masing-masing anggota badan yang dibersihkan/dibasuh ketika wudhu (lihat Taudhih al-Ahkam [1/217], Syarh Muslim [3/41])

Ketiga :
Termasuk dalam perintah menyempurnakan wudhu adalah menyela-nyelai jari-jari kaki dengan air. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi dan dihasankan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma,

“Apabila kamu berwudhu maka sela-selailah jari tangan dan jari kakimu.”

Hadits semakna juga diriwayatkan oleh Tirmidzi dari sahabat Laqith bin Shabirah radhiyallahu’anhu yang disahkan oleh Tirmidzi sendiri, al-Baghawi dan Ibnu al-Qaththan (lihat Nail al-Authar [1/182] dan Tuhfat al-Ahwadzi [1/149-150] ).

Sebagian ulama berpendapat bahwa amalan ini sunnah/tidak wajib, di antaranya adalah Ibnu Abdil Barr, al-Qadhi Abu Syuja’, dan Syaikh Abdullah al-Bassam (lihat al-Istidzkar [2/53] , Matn al-Ghayah wa at-Taqrib hal. 31-32, dan Taudhih al-Ahkam [1/218] ).

Namun, sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa menyela-nyelai jari itu adalah wajib -karena hukum asal perintah selama tidak ada dalil yang memalingkannya adalah wajib sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqh-, di antara ulama yang mewajibkannya adalah Imam asy-Syaukani, kemudian disetujui oleh al-Mubarakfuri dan Syaikh Dr. Abdul ‘Azhim Badawi (lihat Nail al-Authar [1/182] , Tuhfat al-Ahwadzi [1/151] pdf dan al-Wajiz, hal. 34).

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Wahb, bahwa beliau berkata: Aku pernah mendengar [Imam] Malik ditanya mengenai menyela-nyelai jari kedua kaki ketika wudhu? Maka dia menjawab, “Hal itu bukan menjadi kewajiban bagi orang-orang.” Dia berkata, “Aku meninggalkannya supaya orang-orang mendapatkan keringanan/tidak merasa berat.”
Maka aku pun berkata kepadanya, “Kami memiliki riwayat hadits yang berbicara tentang hal itu.”
Dia pun bertanya, “Riwayat apakah itu?”.
Lalu kusampaikan bahwa: al-Laits bin Sa’ad menuturkan -riwayat- kepada kami, demikian juga Ibnu Lahi’ah dan Amr bin al-Harits dari Yazid bin Amr al-Mu’afiri dari Abu Abdirrahman al-Habli dari al-Mustaurid bin Syaddad al-Qurasyi -radhiyallahu’anhu-, beliau berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggosok dengan jari kelingkingnya apa yang ada di sela-sela jari-jari kedua kakinya.”
Lalu dia -Malik- berkata, “Sesungguhnya ini adalah hadits yang hasan (sahih maksudnya, pent), dan aku sama sekali belum pernah mendengarnya kecuali saat ini.”
Kemudian semenjak itu aku mendengar beliau ketika ditanya mengenai hal itu maka beliau memerintahkan untuk menyela-nyelai jari-jemari (Muqadimah Jarh wa Ta’dil hal. 31-32 pdf, kisah ini dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam Muqadimah Shifat Sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 49).

Inilah bukti pengagungan Sunnah dalam diri salafus shalih!

Keempat :
Bolehnya mengeraskan suara dalam menyampaikan ilmu, yaitu ketika keadaan menuntut demikian, misalnya karena jarak yang jauh, banyaknya jumlah orang yang berkumpul, atau sebab-sebab lainnya. Imam Bukhari rahimahullah berdalil dengan hadits ini untuk membuat bab di dalam Kitab al-’Ilm yang berjudul ‘Bab mengenai orang yang mengangkat suaranya dalam menyampaikan ilmu’ (lihat Fath al-Bari [1/175]).

Dari sini kita juga bisa menarik kesimpulan bahwa diperbolehkan -bahkan terkadang dituntut- menggunakan pengeras suara dalam pengajian, dan hal itu sama sekali bukan termasuk bid’ah -bid’ah hasanah, menurut mereka- sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang yang tidak paham, Allahu a’lam.

Kelima :
Bolehnya mengulangi ucapan dua atau tiga kali untuk menanamkan pemahaman pada diri orang yang diajak bicara. Imam Bukhari rahimahullah meletakkan hadits ini di dalam Kitab al-’Ilm di bawah judul ‘Bab mengenai orang yang mengulangi ucapan sebanyak tiga kali supaya dimengerti…’.

Ibnul Munayyir menjelaskan bahwa dengan bab ini Bukhari ingin membantah sebagian orang yang tidak suka mengulangi ucapan -dalam ta’lim- serta mengingkari permintaan murid kepada gurunya agar mengulangi penjelasannya. Meskipun sebenarnya hal itu sangat tergantung pada kondisi yang ada (lihat Fath al-Bari [1/230])

Keenam :
Hendaknya mengajarkan ilmu kepada orang yang belum paham (lihat Fath al-Bari [1/320])

Ketujuh :
Boleh mengingkari kesalahan dengan suara keras, jika diperlukan (lihat Fath al-Bari [1/320])

Kedelapan :
Tidak boleh menunda penjelasan dari waktu yang dibutuhkan (faedah ini kami petik dari keterangan Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah dalam daurah di Kaliurang)

Kesembilan :
Bantahan bagi orang yang mencukupkan diri dengan mengusap kaki dengan dalih bacaan kasrah dalam bagian ayat wa arjulikum -mengikuti perintah mengusap kepala dalam bagian ayat sebelumnya- yang terdapat dalam sebagian riwayat. Padahal bacaan yang lebih tepat adalah wa arjulakum dengan fathah -mengikuti perintah untuk mencuci wajah dan tangan dalam bagian ayat sebelumnya- (lihat QS. al-Ma’idah: 96).

Seandainya dibaca kasrah pun maka yang dimaksud adalah perintah untuk mengusap khuf sebagaimana dijelaskan oleh Sunnah/Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwasanya al-Qur’an tidak boleh ditafsirkan oleh akal/logika -terlebih lagi dalam perkara ibadat seperti sholat dan wudhu- sampai datang dalil dari as-Sunnah/hadits yang menjelaskannya (lihat Shifat Wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 30-31).

Kalau dalam masalah ibadat saja demikian, maka bagaimanakah lagi jika ayat itu berbicara perihal aqidah?! Apakah boleh seseorang menafsirkan ayat-ayat tentang aqidah dengan logikanya sembari melupakan hadits sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Atau bahkan -yang lebih parah lagi- dengan lancangnya dia menolak hadits shahih tersebut dengan tuduhan bahwa hadits itu bertentangan dengan ayat al-Qur’an?! Subhanallah, betapa mengherankan akidah yang dimiliki oleh sebagian orang di jaman ini… Seolah-olah orang itu ingin berkata di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saya lebih tahu tafsir ayat ini daripada anda” [?!]

Sungguh, ini adalah kedustaan yang sangat besar! Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara dengan hawa nafsunya, berbeda dengan kita… Ya Allah ampunilah dosa kami, dan tunjukilah kami jalan-Mu yang lurus…
Aamiin...

Sumber : http://abumushlih.com/celakalah-tumit-yang-tidak-terbasuh-air.html/

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment