Pendapat Para Ulama Tentang Perbedaan Lokasi Terbitnya Bulan
Oleh :Redaksi Mahad As Salafy
Telah dijelaskan oleh banyak para ‘ulama bahwa terjadinya perbedaan mathla’ antar berbagai negeri di belahan bumi ini adalah sesuatu yang dapat dimaklumi. Namun para ‘ulama tersebut berselisih pendapat ketika al-hilal terlihat di suatu negeri :
- Apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ tidak berpengaruh terhadapnya.
- Ataukah masing-masing negeri berdasarkan ru’yah mereka sendiri, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ berpengaruh terhadap penentuan ru’yah bagi masing-masing negeri.
- Apakah ru’yah tersebut berlaku bagi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ tidak berpengaruh terhadapnya.
- Ataukah masing-masing negeri berdasarkan ru’yah mereka sendiri, dengan kata lain : adanya perbedaan mathla’ berpengaruh terhadap penentuan ru’yah bagi masing-masing negeri.
Pengertian Mathla’
Sebelum kita menyebutkan penjelasan para ‘ulama tentang perbedaan mathla’, kita sebutkan terlebih dahulu tentang makna kata “mathla’”
Mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna : waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Qadar :
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ القدر: ٥
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar : 5]
Sementara Mathli’ (مَطْلِعٌ ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna : tempat munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Kahf :
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ الكهف: ٩٠
“Hingga apabila dia Telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur)” [Al-Kahf : 90] [1]
Mathla’ (مَطْلَعٌ ) dengan harakat fathah pada huruf al-lam, bermakna : waktu atau zaman munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Qadar :
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ القدر: ٥
“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar : 5]
Sementara Mathli’ (مَطْلِعٌ ) dengan harakat kasrah pada huruf al-lam, bermakna : tempat munculnya bulan, bintang, atau matahari. Contoh penggunaan kata ini adalah seperti dalam surat Al-Kahf :
حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَطْلِعَ الشَّمْسِ الكهف: ٩٠
“Hingga apabila dia Telah sampai ke tempat terbit matahari (sebelah Timur)” [Al-Kahf : 90] [1]
Pendapat Pertama :
Jumhur ‘ulama, di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan ru’yatul hilal. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa hal :
1. Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
“Jika kalian berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka bershaumlahlah dan jika kalian berhasil melihat hilal (Syawwal) maka berhari rayalah’.([2])
dan hadits :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari ([3])
Bentuk pendalilannya : bahwa konteks hadits di atas mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan adanya persamaan atau perbedaan mathla’.
2. Hal ini lebih menyatukan kaum muslimin dan mengurangi perpecahan.
3. Adapun Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha tentang kisah Kuraib, hanya berlaku bagi orang yang menjalankan shiyam berdasarkan ru’yah di negerinya, kemudian di tengah-tengah Ramadhan sampai berita kepadanya bahwa ternyata di negeri lain telah terlihat hilal satu hari sebelumnya. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya dia menyempurnakan shaumnya sampai 30 hari, atau jika berhasil melihat hilal maka dia mengakhiri shaumnya (yakni hanya 29 hari). Sehingga dengan itu hadits Abu Hurairah dan yang semakna, tetap berlaku sesuai dengan keumumannya, yaitu mencakup seluruh pihak yang telah sampai kepada mereka berita ru’yatul hilal, tanpa pembatasan negeri atau teritorial tertentu.
Jumhur ‘ulama, di antara mereka Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Ahmad, berpendapat bahwa ru’yah di suatu negeri berlaku untuk seluruh kaum muslimin di negeri-negeri yang lain, sehingga adanya perbedaan mathla’ tidak memiliki pengaruh apapun terhadap penentuan ru’yatul hilal. Pendapat ini berdasarkan kepada beberapa hal :
1. Hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
“Jika kalian berhasil melihat hilal (Ramadhan) maka bershaumlahlah dan jika kalian berhasil melihat hilal (Syawwal) maka berhari rayalah’.([2])
dan hadits :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ [البخاري]
“Bershaumlah kalian berdasarkan ru’yatul hilal dan berharirayalah berdasarkan ru’yatul hilal. Jika terhalangi oleh mendung (atau semisalnya) maka genapkanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” HR. Al-Bukhari ([3])
Bentuk pendalilannya : bahwa konteks hadits di atas mencakup seluruh kaum muslimin tanpa memperhatikan adanya persamaan atau perbedaan mathla’.
2. Hal ini lebih menyatukan kaum muslimin dan mengurangi perpecahan.
3. Adapun Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha tentang kisah Kuraib, hanya berlaku bagi orang yang menjalankan shiyam berdasarkan ru’yah di negerinya, kemudian di tengah-tengah Ramadhan sampai berita kepadanya bahwa ternyata di negeri lain telah terlihat hilal satu hari sebelumnya. Dalam keadaan seperti ini, hendaknya dia menyempurnakan shaumnya sampai 30 hari, atau jika berhasil melihat hilal maka dia mengakhiri shaumnya (yakni hanya 29 hari). Sehingga dengan itu hadits Abu Hurairah dan yang semakna, tetap berlaku sesuai dengan keumumannya, yaitu mencakup seluruh pihak yang telah sampai kepada mereka berita ru’yatul hilal, tanpa pembatasan negeri atau teritorial tertentu.
Pendapat kedua :
Al-Imam Asy-Syafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat : diperhitungkannya perbedaan mathla’. Sehingga masing-masing negeri berdasarkan kepada ru’yatul hilal negerinya sendiri.
Dalil mereka :
1. Bahwa konteks hadits Abu Hurairah bersifat nisbi (relatif), yaitu ditujukan bagi yang melihat hilal, bila tidak melihatnya maka tidaklah masuk dalam konteks ini. Pendapat ini memiliki sisi pandang dari dalil naqli dan ilmu falaki. Dimana perhitungan waktu dalam setiap harinya berbeda-beda. Baik dalam berbuka maupun ketika shiyam berdasarkan nash dan al-ijma’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa perbedaan mathla’ merupakan kesepakatan para ilmuwan dalam bidang astronomi, maka jika sama mathla’nya berlakulah ru’yah negeri tadi (bagi negeri yang bermathla’ sama), bila tidak sama maka tidak berlaku.
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` di Kerajaan Arab Saudi dalam keputusan no.2.([4])
2. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ اْلفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ : لكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ أَوَلاَ نَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لاَ،هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ r
“Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits mengutusnya kepada Mu’wiyah di Syam,Kuraib berkata: Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-pesan Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal Bulan Ramadhan sementara saya masih berada di Syam dan saya melihatnya pada malam Jum’at.
Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal Ramadhan : Kapan kalian melihat hilal? Saya katakan : Kami melihatnya pada malam Jum’at. Ibnu Abbas bertanya : Apakah kamu melihatnya ? Saya katakan : Ya, dan kaum muslimin juga melihatnya, kemudian mereka memulai shaum dan bershaum pula Mu’awiyah.
Kemudian Ibnu Abbas berkata : Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan melanjutkan shiyam sampai tiga puluh hari atau melihat hilal.
Saya katakan kepada beliau : Apakah tidak mencukupkan dengan ru’yah dan shaumnya Mua’wiyah ? Jawab beliau: Tidak, demikianlah itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami.”([5])
Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah :
” Konteks pendalilan dari hadits ini jelas sekali. Yang benar di kalangan madzhab kami, bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal (bila terlihat di suatu negeri tertentu) tidaklah berlaku secara umum untuk semua kaum muslimin (di seluruh penjuru dunia), tetapi hanya berlaku khusus untuk daerah-daerah yang saling berdekatan jaraknya, yang tidak boleh diqashar shalat pada jarak tersebut. Ada pula yang mengatakan berlaku bila mathla’nya atau teritorialnya sama, jika tidak sama maka tidak berlaku.”([6])
Dengan demikian, kita mengetahui bahwasa masalah ini membutuhkan penelitian yang serius dan ada peluang untuk berijtihad. Sedangkan perbedaan pendapat padanya adalah perkara yang terjadi di antara para ulama dan termasuk jenis perbedaan yang wajar.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam untuk kaum muslimin di seluruh negara Islam kitabnya Tamamul Minnah, dan seharusnya seluruh kaum muslimin memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata :
“…permasalahan ini (pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri kenegeri yang lainnya) adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa terwujud dikemudian hari -insyaallah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam. Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. وَاللهُ الْمُسْتَعَان”([7])
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’ ketika menyebutkan pendapat yang ketiga :
“Bahwa setiap warga negara hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya - pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.”([8])
Dari keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, kita mengetahui walaupun para imam dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah-masalah fiqh, namun mereka tetap bersatu dalam masalah-masalah manhaj (prinsip-prinsip agama). Hal ini karena manhaj mereka adalah satu yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salaf Ash-Sholeh, maka renungkanlah hal ini.
Al-Imam Asy-Syafi’i dan sejumlah ulama salaf berpendapat : diperhitungkannya perbedaan mathla’. Sehingga masing-masing negeri berdasarkan kepada ru’yatul hilal negerinya sendiri.
Dalil mereka :
1. Bahwa konteks hadits Abu Hurairah bersifat nisbi (relatif), yaitu ditujukan bagi yang melihat hilal, bila tidak melihatnya maka tidaklah masuk dalam konteks ini. Pendapat ini memiliki sisi pandang dari dalil naqli dan ilmu falaki. Dimana perhitungan waktu dalam setiap harinya berbeda-beda. Baik dalam berbuka maupun ketika shiyam berdasarkan nash dan al-ijma’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa perbedaan mathla’ merupakan kesepakatan para ilmuwan dalam bidang astronomi, maka jika sama mathla’nya berlakulah ru’yah negeri tadi (bagi negeri yang bermathla’ sama), bila tidak sama maka tidak berlaku.
Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dan Hai`ah Kibaril ‘Ulama` di Kerajaan Arab Saudi dalam keputusan no.2.([4])
2. Hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah :
عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ اْلفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ : لكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ أَوَلاَ نَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ: لاَ،هكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ r
“Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Al-Harits mengutusnya kepada Mu’wiyah di Syam,Kuraib berkata: Ketika sampai di Syam saya segera menunaikan pesan-pesan Ummul Fadhl. Kemudian muncullah hilal Bulan Ramadhan sementara saya masih berada di Syam dan saya melihatnya pada malam Jum’at.
Kemudian saya kembali ke Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Lalu Ibnu ‘Abbas bertanya kepada saya tentang hilal Ramadhan : Kapan kalian melihat hilal? Saya katakan : Kami melihatnya pada malam Jum’at. Ibnu Abbas bertanya : Apakah kamu melihatnya ? Saya katakan : Ya, dan kaum muslimin juga melihatnya, kemudian mereka memulai shaum dan bershaum pula Mu’awiyah.
Kemudian Ibnu Abbas berkata : Akan tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami akan melanjutkan shiyam sampai tiga puluh hari atau melihat hilal.
Saya katakan kepada beliau : Apakah tidak mencukupkan dengan ru’yah dan shaumnya Mua’wiyah ? Jawab beliau: Tidak, demikianlah itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada kami.”([5])
Berkata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah :
” Konteks pendalilan dari hadits ini jelas sekali. Yang benar di kalangan madzhab kami, bahwa sesungguhnya ru’yatul hilal (bila terlihat di suatu negeri tertentu) tidaklah berlaku secara umum untuk semua kaum muslimin (di seluruh penjuru dunia), tetapi hanya berlaku khusus untuk daerah-daerah yang saling berdekatan jaraknya, yang tidak boleh diqashar shalat pada jarak tersebut. Ada pula yang mengatakan berlaku bila mathla’nya atau teritorialnya sama, jika tidak sama maka tidak berlaku.”([6])
Dengan demikian, kita mengetahui bahwasa masalah ini membutuhkan penelitian yang serius dan ada peluang untuk berijtihad. Sedangkan perbedaan pendapat padanya adalah perkara yang terjadi di antara para ulama dan termasuk jenis perbedaan yang wajar.
Setelah kita mengetahui perbedaan pendapat di antara para ulama dalam masalah penentuan awal bulan, perlu diketahui pula sebuah nasehat yang penting dari Asy-Syaikh Al-Albani dalam untuk kaum muslimin di seluruh negara Islam kitabnya Tamamul Minnah, dan seharusnya seluruh kaum muslimin memperhatikannya dan mengamalkannya. Beliau berkata :
“…permasalahan ini (pengkhabaran hasil ru’yatul hilal dari satu negeri kenegeri yang lainnya) adalah hal yang mudah untuk dicapai pada masa sekarang ini dan sudah dimaklumi, namun menuntut perhatian dari negara-negara Islam sehingga bisa terwujud dikemudian hari -insyaallah ta’ala- bersatunya negara-negara Islam. Maka saya berpendapat bahwa setiap kaum muslimin menjalankan shiyam Ramadhan bersama pemerintahnya masing-masing dan tidak mengikuti pendapatnya sendiri-sendiri sehingga ada yang menjalankan shaum bersama permerintah dan yang lain tidak, baik mendahului atau membelakangi karena hal ini akan memperluas perpecahan sebagaimana telah terjadi di beberapa negara Arab sejak beberapa tahun yang lalu. وَاللهُ الْمُسْتَعَان”([7])
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menyebutkan pernyataan yang sama dengan pernyataan Asy-Syaikh Al-Albani di atas dalam kitab beliau Asy-Syarhul Mumti’ ketika menyebutkan pendapat yang ketiga :
“Bahwa setiap warga negara hendaknya mengikuti pemerintahnya masing-masing jika pemerintahnya menjalankan ash-shaum maka mereka juga menjalankannya, jika pemerintahnya berhari raya hendaklah rakyatnya berhari raya pula bersamanya. Seandainya ada khilaafah (pemerintahan) yang membawahi seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia kemudian ada yang melihat hilal di negerinya, dan khalifah menetapkannya maka wajib setiap kaum muslimin diseluruh penjuru dunia untuk bershaum atau berhari raya (sesuai dengan ketetapan khalifah/pemerintahnya - pen). Hendaklah kaum muslimin mengamalkan yang demikian ini yaitu bila pemerintah menetapkan ru’yah maka seluruh kaum muslimin yang dibawah kekuasaannya mengikuti baik dalam bershaum maupun berhari raya. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang kuat jika dipandang dari sisi keutuhan kemasyarakatan (kaum muslimin) . Kalaupun kita membenarkan pendapat kedua yang berdasarkan pada perbedaan mathla’ tetap wajib untuk tidak menampakkan adanya perbedaan dengan mayoritas kaum muslimin.”([8])
Dari keterangan-keterangan yang telah disebutkan di atas, kita mengetahui walaupun para imam dan para ulama berbeda pendapat dalam masalah-masalah fiqh, namun mereka tetap bersatu dalam masalah-masalah manhaj (prinsip-prinsip agama). Hal ini karena manhaj mereka adalah satu yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman As-Salaf Ash-Sholeh, maka renungkanlah hal ini.
________
FootNote :
[1] Lihat Al-Mu’jamul Wasith pada maddah طلع .
[2] Al-Bukhari Kitabus Shaum, Bab 11 hadits no. 1909, Muslim Kitabush Shiyaam hadits no. 1081
[3] Al-Bukhari Kitabush Shaum hadits no. 1909.
[4] Lihat Taudhihul Ahkaam jilid 3 hal. 134-135 hadits no. 541
[5] Syarh Shohih Muslim karya Al-Imam An-Nawawi Kitabush Shiyaam bab.5 hadits no. 28-[1087]
[6] Lihat Syarh Shohih Muslim An-Nawawi : Kitab Ash-shiyam Bab. 5, hadits no.28-[1087]
[7] Tamamul minnah hal. 398
[8] Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 322.
Sumber : http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=1336
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment