Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaannya harus diperhatikan khususnya oleh seorang muslim karena berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah Subhanahu wa ta`ala. Contohnya ketika seseorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.
Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini. Meskipun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan macam-macamnya secara rinci. Untuk itu dengan izin Allah ta`ala, pada edisi kali ini kami akan mengupasnya secara singkat. Semoga para pembaca dapat mengambil manfaat di dalamnya.
1. Kotoran (tahi) Manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu‘anhu. Beliau menceritakan bahwasanya Rasulullah ‘shallallahu ’alaihi wasallam pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Ketika selesai shalat beliau mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan beliau melepas sandal karena Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau ada kotoran dan beliau bersabda : "Jika sendal salah seorang diantara kalian menginjak kotoran, maka tanah/debu sebagai menyuci baginya." (Hadits sahih riwayat Abu Dawud : 385).
2. Kencing Manusia
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan pada hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Bahwasanya seorang Arab badui datang ke masjid kemudian kencing di dalamnya, maka berdirilah para sahabat hendak menghentikannya, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Biarkanlah dia dan jangan mengganggunya " , hingga setelah selesai sang badui menunaikan hajatnya maka Rasululloh meminta air kemudian di siramkan ke bekas kencing tersebut.” (HR Bukhari (6025) Muslim (284))..
Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini. Meskipun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan macam-macamnya secara rinci. Untuk itu dengan izin Allah ta`ala, pada edisi kali ini kami akan mengupasnya secara singkat. Semoga para pembaca dapat mengambil manfaat di dalamnya.
1. Kotoran (tahi) Manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id al-Khudri radliyallahu‘anhu. Beliau menceritakan bahwasanya Rasulullah ‘shallallahu ’alaihi wasallam pernah shalat bersama para shahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para shahabat. Ketika selesai shalat beliau mempertanyakan perbuatan para shahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan beliau melepas sandal karena Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau ada kotoran dan beliau bersabda : "Jika sendal salah seorang diantara kalian menginjak kotoran, maka tanah/debu sebagai menyuci baginya." (Hadits sahih riwayat Abu Dawud : 385).
2. Kencing Manusia
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan pada hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Bahwasanya seorang Arab badui datang ke masjid kemudian kencing di dalamnya, maka berdirilah para sahabat hendak menghentikannya, namun Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Biarkanlah dia dan jangan mengganggunya " , hingga setelah selesai sang badui menunaikan hajatnya maka Rasululloh meminta air kemudian di siramkan ke bekas kencing tersebut.” (HR Bukhari (6025) Muslim (284))..
Dan juga dalam hadits Ibnu Abbas radliyallahu‘anhuma tentang dua orang penghuni kubur yang diazab. Dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : ”Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya. (HR. Bukhari no. 216, 218, 1361, 1378 dan Muslim no. 292).
Adapun kencing bayi laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik dan madu untuk pengobatan, ada perselisihan ulama dalam masalah kenajisannya. Akan tetapi pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu Qais bintu Mihshan yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 223) dan Imam Muslim (no.287) : Ummu Qais bintu Mihshan al-Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah mendudukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.
3. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih tipis (encer) dan tidak pekat, keluar dengan tidak memancar, tidak menyebabkan badan menjadi lemas setelahnya, tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat.
3. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih tipis (encer) dan tidak pekat, keluar dengan tidak memancar, tidak menyebabkan badan menjadi lemas setelahnya, tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat.
Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’. Berdasarkan hadits dari sahabat ‘Ali radliyallahu ‘anhu ketika beliau menyuruh seorang shahabat, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang madzi ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Dan beliau menjawab : "Hendaknya ia mencuci dzakarnya kemudian berwudhu" (HR Bukhari (269) Muslim (303)).
Ibnu Daqiq Al ‘Id rahimahullah mengatakan dalam Ihkamul Ahkam: “Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita, namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim.
4. Wadi
Wadi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air kecil/besar. Hukum wadi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Berdasarkan hadits dari sahabat Ibn 'Abbas radhiyallohu'anhu, beliau berkata : Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani maka mewajibkannya mandi, adapun wadi dan madzi maka ia ( Rasulullah ) berkata : Cucilah dzakarmu kemudian berwudhulah sebagaimana wudhumu ketika hendak sholat." (HR Baihaqi dan disahihkan Al Albani dalam kitab sahih sunan abu dawud (190)).
Bahkan Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitab beliau al-Majmu menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadi.”
4. Wadi
Wadi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air kecil/besar. Hukum wadi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Berdasarkan hadits dari sahabat Ibn 'Abbas radhiyallohu'anhu, beliau berkata : Mani, wadi, dan madzi. Adapun mani maka mewajibkannya mandi, adapun wadi dan madzi maka ia ( Rasulullah ) berkata : Cucilah dzakarmu kemudian berwudhulah sebagaimana wudhumu ketika hendak sholat." (HR Baihaqi dan disahihkan Al Albani dalam kitab sahih sunan abu dawud (190)).
Bahkan Imam an-Nawawi rahimahullahu ta’ala di dalam kitab beliau al-Majmu menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadi.”
5. Darah Haid dan Nifas
Telah datang dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr radliyallahu ‘anha. Beliau menceritakan : Seorang sahabiah datang kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wa Sallam bertanya : Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haidh, maka apa yang harus ia perbuat ?, Rasulullah menjawab : "Hendaknya ia mengeriknya kemudian mencucinya dengan air, kemudian (tidak apa-apa) ia shalat dengannya". (HR Bukhari (227) Muslim (291)).
Telah datang dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr radliyallahu ‘anha. Beliau menceritakan : Seorang sahabiah datang kepada Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wa Sallam bertanya : Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haidh, maka apa yang harus ia perbuat ?, Rasulullah menjawab : "Hendaknya ia mengeriknya kemudian mencucinya dengan air, kemudian (tidak apa-apa) ia shalat dengannya". (HR Bukhari (227) Muslim (291)).
Berkata Imam As Shan`ani rahimahullah di dalam Subulus Salam setelah membawakan hadits di atas: "Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid". Dan kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Imam an-Nawawi menukilkan adanya ijma` dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.
6. Bangkai
Yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih dengan alat secara syar'i. Maka ia najis dengan kesepakatan ulama sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam Nawawi dalam Al Majmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
” Jika kulit (bangkai) telah disamak maka ia telah suci" (HR Muslim (366)).
6. Bangkai
Yaitu hewan yang mati dengan sendirinya tanpa disembelih dengan alat secara syar'i. Maka ia najis dengan kesepakatan ulama sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam Nawawi dalam Al Majmu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
” Jika kulit (bangkai) telah disamak maka ia telah suci" (HR Muslim (366)).
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
YANG DIKECUALIKAN DARI BANGKAI ADALAH :
a.Bangkai Ikan dan belalang. Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman, artinya : Dihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut… (QS. Al Maidah : 96).
Imam Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas rahimahumullah tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan صَيْدُهُ adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan طَعَامُهُ adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai) .
Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau Silsilah Ash Shahihah 1/480).
Rasulullah shallallhu ’alaihi wasallam juga telah bersabda : "Telah dihalalkan kepada kami dua bangkai dan dua darah, adapun dua bangkai yaitu bangkai ikan dan belalang, dan dua darah yaitu hati dan limpa " (Shahih, HR. Ibnu Majah (3218,3314))..
b. Bangkai binatang yang tidak memiliki darah yang mengalir di tubuhnya.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallhu ’alahi wa sallam : "Jika minuman salah seorang diantara kalian dihinggapi lalat maka hendaknya ia celupkan lalat itu kedalam minumannya kemudian menbuangnya, karena sesungguhnya pada salah satu sisi sayapnya (lalat) itu mengandung penyakit dan pada sisi yang lain terdapat penawarnya." .(HR Bukhari (3320)).
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallhu ’alahi wa sallam : "Jika minuman salah seorang diantara kalian dihinggapi lalat maka hendaknya ia celupkan lalat itu kedalam minumannya kemudian menbuangnya, karena sesungguhnya pada salah satu sisi sayapnya (lalat) itu mengandung penyakit dan pada sisi yang lain terdapat penawarnya." .(HR Bukhari (3320)).
Imam Ash Shan`ani rahimahullah berkata: "Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka sendainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusakkannya". (Subulus Salam)..
c. Tulang, tanduk, kuku, dan bulu bangkai. Berdasarkan riwayat dari Imam Bukhari dari Imam Az Zuhri secara mu'allaq namun dengan sighat Jazm berarti atsar ini sahih. Berkata Imam Az Zuhri : "Aku mendapati ulama salaf bersisir dan berminyak dengannya. mereka tidak mempermasalahkannya".
d. Bangkai manusia, dengan keumumam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam:
Sesungguhnya mukmin itu tidak najis. (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371).
Sesungguhnya mukmin itu tidak najis. (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371).
7. Apa-apa yang terpotong dari anggota badan hewan sedangkan ia masih hidup. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam :
"Apa-apa yang terpotong dari binatang ternak sedang ia masih hidup maka itu adalah bangkai". (HR Tirmidzi (1480), Abu Dawud (2858), Ibn Majah (3216)).
8. Air liur binatang buas atau binatang yg dagingnya haram dimakan.
Ketika Rasulullah ditanya mengenai air yang berada di tempat terbuka, dan air bekas minum binatang buas, beliau bersabda : "Jika air tersebut lebih 2 qullah maka tidang mengandung najis" (HR. Abu Dawud (63)). Kecuali Kucing, maka bekas minumnya suci, berdasarkan sabda Rasulullah sollallohu'alaihi wasallam mengenai kucing : "Sesungguhnya dia tidaklah najis,dan sesungguhnya dia adalah termasuk binatang yang biasa berkeliaran diantara kalian." (Sahih, HR Imam Ahmad (5/303)).
Pengertian Air Dua Kulah
Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’ (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116). Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1m x 0,2 m.
9. Daging hewan yang tidak dapat dimakan (haram).
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kalian dari daging himar (keledai) yang jinak, karena sesungguhnya dia itu najis" (HR Muslim (1940)).
10. Kotoran Hewan.
Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, kita akan mendapatkan adanya perselisihan di kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan – baik yang dimakan dagingnya maupun tidak – adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud azh-Zhahiri, Ibrahim an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, diantaranya Nailul Authar dan ad-Daraari.
Air dua qullah adalah air seukuran 500 rothl ‘Iraqi yang seukuran 90 mitsqol. Jika disetarakan dengan ukuran sho’, dua qullah sama dengan 93,75 sho’ (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, 1/116). Sedangkan 1 sho’ seukuran 2,5 atau 3 kg. Jika massa jenis air adalah 1 kg/liter dan 1 sho’ kira-kira seukuran 2,5 kg; berarti ukuran dua qullah adalah 93,75 x 2,5 = 234,375 liter. Jadi, ukuran air dua qullah adalah ukuran sekitar 200 liter. Gambaran riilnya adalah air yang terisi penuh pada bak yang berukuran 1 m x 1m x 0,2 m.
9. Daging hewan yang tidak dapat dimakan (haram).
Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam : "Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kalian dari daging himar (keledai) yang jinak, karena sesungguhnya dia itu najis" (HR Muslim (1940)).
10. Kotoran Hewan.
Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, kita akan mendapatkan adanya perselisihan di kalangan ulama. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan – baik yang dimakan dagingnya maupun tidak – adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan – wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab – ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis. Ini merupakan pendapat Ibnul Mundzir, dan dinukilkan oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab bahwa ini adalah perkataan Dawud azh-Zhahiri, Ibrahim an-Nakha’i dan asy-Sya’bi. Pendapat ini juga didukung oleh al-Imam Asy-Syaukani di dalam kitab-kitab beliau, diantaranya Nailul Authar dan ad-Daraari.
Dengan apa yang telah diterangkan di atas, maka jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. (abm)
Wallahu Ta’ala A’la Wa A’lam.
Wallahu Ta’ala A’la Wa A’lam.
Sumber : http://www.al-munir.com/artikel-187-tahukah-anda-bendabenda-najis-di-sekitar-kita-.html
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment