Oleh : Ust. Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi
Dalam perjalanan hidup manusia, terkadang perlu untuk kembali menengok ke sejarah masa lampau, masa-masa sebelum datangnya cahaya Islam. Sebuah masa yang penuh dengan perilaku kejahilan dan semangat hawa nafsu, di mana di dalamnya terdapat tatanan kehidupan yang didasarkan hanya pada pandangan baik akal dan “kesepakatan” orang banyak. Bukan tatanan kehidupan yang dibimbing oleh wahyu dari Dzat Yang Maha Benar.
Dalam perjalanan hidup manusia, terkadang perlu untuk kembali menengok ke sejarah masa lampau, masa-masa sebelum datangnya cahaya Islam. Sebuah masa yang penuh dengan perilaku kejahilan dan semangat hawa nafsu, di mana di dalamnya terdapat tatanan kehidupan yang didasarkan hanya pada pandangan baik akal dan “kesepakatan” orang banyak. Bukan tatanan kehidupan yang dibimbing oleh wahyu dari Dzat Yang Maha Benar.
Kita perlu menengok kepada kehidupan di masa jahiliyyah itu karena realita kehidupan kita di masa ini ternyata banyak memiliki kesamaan dengan realita di masa jahiliyyah. Padahal dengan diutusnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang membawa cahaya Islam, berbagai konsep kemasyarakatan ala masyarakat jahiliyyah itu semestinya terhapuskan karena bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian, menggali kembali hakikat alam kehidupan jahiliyyah bukan suatu keterbelakangan dan kejumudan berfikir, namun merupakan langkah untuk lebih maju ke depan.
Merupakan suatu keterbelakangan bila kita tidak mau mempelajari berbagai praktek kehidupan jahiliyyah, sehingga disadari atau tidak kita telah terjatuh kepada perilaku kehidupan jahiliyyah itu. Tanpa sadar kita telah menjadi pendukung untuk menghidupkan syi’ar-syi’ar mereka. Telah digambarkan oleh banyak sastrawan bagaimana kejahatan dan kebiadaban ala hewan dalam alam jahiliyyah. Yang kuat berkuasa dan yang lemah diinjak-injak, bahkan menjadi budak.
Penggambaran dengan bahasa yang indah tentang kehidupan jahiliyyah sesungguhnya tidak mewakili pengupasan akar kejahatan tersebut, lebih-lebih jika ingin mencabutnya. Cikal bakal kehidupan jahiliyyah memunculkan segala wujud kejahatan, berupa kerusakan dalam bentuk pemerkosaan hati setiap insan dengan perbuatan kedzaliman yang terbesar yaitu “Kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala”.
Penghambaan yang keluar dari aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala, penghambaan yang diiringi dengan penghinaan diri kepada sesuatu yang lebih rendah darinya. Penghambaan kepada batu, kuburan, pohon, tempat-tempat keramat dan sebagainya, merupakan pembunuhan terhadap fitrah yang suci, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan setiap hamba dengannya. Juga merupakan perusakan terhadap akal manusia yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan dan membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Penjajahan terhadap kemerdekaan setiap insan untuk bisa langsung berhubungan dengan Rabb-nya dan perbudakan diri yang tidak pada tempatnya. Inilah kejahatan yang hakiki.
Penggambaran dengan bahasa yang indah tentang kehidupan jahiliyyah sesungguhnya tidak mewakili pengupasan akar kejahatan tersebut, lebih-lebih jika ingin mencabutnya. Cikal bakal kehidupan jahiliyyah memunculkan segala wujud kejahatan, berupa kerusakan dalam bentuk pemerkosaan hati setiap insan dengan perbuatan kedzaliman yang terbesar yaitu “Kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala”.
Penghambaan yang keluar dari aturan Allah Subhanahu wa Ta'ala, penghambaan yang diiringi dengan penghinaan diri kepada sesuatu yang lebih rendah darinya. Penghambaan kepada batu, kuburan, pohon, tempat-tempat keramat dan sebagainya, merupakan pembunuhan terhadap fitrah yang suci, di mana Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan setiap hamba dengannya. Juga merupakan perusakan terhadap akal manusia yang Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuliakan dan membedakannya dengan makhluk-makhluk lain. Penjajahan terhadap kemerdekaan setiap insan untuk bisa langsung berhubungan dengan Rabb-nya dan perbudakan diri yang tidak pada tempatnya. Inilah kejahatan yang hakiki.
Menelaah kembali prinsip-prinsip hidup jahiliyyah bukan berarti ingin mengembang-biakkannya, namun semata-mata untuk membentengi diri dan memperingatkan umat untuk tidak terjatuh padanya.
Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu 'anhu menyatakan:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً أَنْ يَدْرِكَنِي
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepadanya tentang kejahatan, khawatir menimpa diriku.” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Fitan bab ‘Bagaimana urusan bila tidak ada jamaah’ no. 6658)
‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya ikatan Islam akan putus seikat demi seikat apabila muncul di dunia Islam orang-orang yang tidak mengetahui (perkara) jahiliyyah.”
Hudzaifah ibnul Yaman radhiallahu 'anhu menyatakan:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُوْنَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةً أَنْ يَدْرِكَنِي
“Orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepadanya tentang kejahatan, khawatir menimpa diriku.” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Fitan bab ‘Bagaimana urusan bila tidak ada jamaah’ no. 6658)
‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu berkata: “Sesungguhnya ikatan Islam akan putus seikat demi seikat apabila muncul di dunia Islam orang-orang yang tidak mengetahui (perkara) jahiliyyah.”
Seorang penyair mengatakan:
Aku mengetahui kejahatan bukan untuk melakukannya
melainkan untuk menjaga diri darinya
Barangsiapa yang tidak mengenal kebaikan
dari kejahatan
Khawatir dia terjatuh padanya
Semoga dengan menelaah prinsip-prinsip hidup yang rusak itu kita bisa mewanti-wanti diri, anak, dan generasi muslimin darinya1.
Di antara sekian praktek hidup jahiliyyah adalah mengagungkan kuburan.
Hakekat Kematian
Kematian merupakan suatu kepastian yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada setiap yang bernyawa. Ketentuan yang tidak bisa dimajukan dan dimundurkan, yaitu berpisahnya ruh dari jasad. Perpisahan ini menggambarkan sesuatu yang tidak bisa berbicara lagi, berpikir, bergerak, melihat, mendengar sebagaimana tabiat kehidupan.
Aku mengetahui kejahatan bukan untuk melakukannya
melainkan untuk menjaga diri darinya
Barangsiapa yang tidak mengenal kebaikan
dari kejahatan
Khawatir dia terjatuh padanya
Semoga dengan menelaah prinsip-prinsip hidup yang rusak itu kita bisa mewanti-wanti diri, anak, dan generasi muslimin darinya1.
Di antara sekian praktek hidup jahiliyyah adalah mengagungkan kuburan.
Hakekat Kematian
Kematian merupakan suatu kepastian yang telah ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada setiap yang bernyawa. Ketentuan yang tidak bisa dimajukan dan dimundurkan, yaitu berpisahnya ruh dari jasad. Perpisahan ini menggambarkan sesuatu yang tidak bisa berbicara lagi, berpikir, bergerak, melihat, mendengar sebagaimana tabiat kehidupan.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاََّ مَتَاعُ الْغُرُوْرِ
“Tiap-tiap yang bernyawa akan merasakan mati, dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali Imran: 185)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan tentang sesuatu yang akan menimpa seluruh makhluk, bahwa setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, seperti firman Allah:
“Sesuatu yang ada di bumi itu akan binasa, dan tetap kekal Wajah Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan” (Ar-Rahman: 26-27). Dia, Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat yang Esa dan tidak akan mengalami kematian, manusia dan jin yang akan mengalami kematian, demikian juga seluruh malaikat dan para pemikul ‘Arsy Allah.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127)
Manusia telah bersepakat bahwa bila ruh berpisah dengan jasad, maka jasad tersebut tidak bisa bergerak, berbicara, mendengar, bekerja, berdiri dan tanda-tanda kehidupan lainnya. Namun kerusakan aqidah mereka menyebabkan terbaliknya keyakinan tersebut. Sehingga mereka meyakini bahwa orang mati itu bisa muncul lagi ke dunia, bisa berbuat sesuatu di luar perbuatan orang yang hidup, mendatangi keluarganya lalu menyapa mereka, muncul di atas kuburnya, menarik kaki orang-orang yang berjalan di atasnya, dan sebagainya. Ini semua adalah cerita-cerita khurafat yang didalangi oleh Iblis dan tentara-tentaranya untuk merusak aqidah orang-orang Islam.
Bisakah si mayit mendengar dan berbuat sesuatu sehingga kita bisa menjadikan dia sebagai perantara dengan Allah atau kita bisa meminta sesuatu kepadanya?
Bisakah si mayit membantu orang yang mengalami malapetaka dan kesulitan hidup?
Tentu setiap orang akan menjawab bahwa mayit tidak akan sanggup melakukan yang demikian. Namun keyakinan banyak manusia sekarang justru sebaliknya. Begitulah bila kuburan telah diagungkan dan fitrah telah rusak.
“Sesuatu yang ada di bumi itu akan binasa, dan tetap kekal Wajah Rabbmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan” (Ar-Rahman: 26-27). Dia, Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat yang Esa dan tidak akan mengalami kematian, manusia dan jin yang akan mengalami kematian, demikian juga seluruh malaikat dan para pemikul ‘Arsy Allah.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127)
Manusia telah bersepakat bahwa bila ruh berpisah dengan jasad, maka jasad tersebut tidak bisa bergerak, berbicara, mendengar, bekerja, berdiri dan tanda-tanda kehidupan lainnya. Namun kerusakan aqidah mereka menyebabkan terbaliknya keyakinan tersebut. Sehingga mereka meyakini bahwa orang mati itu bisa muncul lagi ke dunia, bisa berbuat sesuatu di luar perbuatan orang yang hidup, mendatangi keluarganya lalu menyapa mereka, muncul di atas kuburnya, menarik kaki orang-orang yang berjalan di atasnya, dan sebagainya. Ini semua adalah cerita-cerita khurafat yang didalangi oleh Iblis dan tentara-tentaranya untuk merusak aqidah orang-orang Islam.
Bisakah si mayit mendengar dan berbuat sesuatu sehingga kita bisa menjadikan dia sebagai perantara dengan Allah atau kita bisa meminta sesuatu kepadanya?
Bisakah si mayit membantu orang yang mengalami malapetaka dan kesulitan hidup?
Tentu setiap orang akan menjawab bahwa mayit tidak akan sanggup melakukan yang demikian. Namun keyakinan banyak manusia sekarang justru sebaliknya. Begitulah bila kuburan telah diagungkan dan fitrah telah rusak.
Kerusakan Fitrah karena Cerita dan Dongeng
Perusakan fitrah setiap insan tidak akan berhenti dan terus akan berlangsung sampai hari kiamat, hingga tiap orang akan bisa menjadi santapan seruan Iblis. Oleh karena itu, mari kita melihat bahaya cerita dan dongeng yang mengandung khurafat-khurafat, di antaranya:
a. Menyebabkan seseorang memiliki keyakinan yang berbeda dengan kesucian fitrahnya dan memiliki keyakinan yang bertolak belakang.
b. Menyebabkan seseorang memiliki sifat penakut.
c. Melemahkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
d. Menjatuhkan seseorang kepada kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al Qur’an:
Perusakan fitrah setiap insan tidak akan berhenti dan terus akan berlangsung sampai hari kiamat, hingga tiap orang akan bisa menjadi santapan seruan Iblis. Oleh karena itu, mari kita melihat bahaya cerita dan dongeng yang mengandung khurafat-khurafat, di antaranya:
a. Menyebabkan seseorang memiliki keyakinan yang berbeda dengan kesucian fitrahnya dan memiliki keyakinan yang bertolak belakang.
b. Menyebabkan seseorang memiliki sifat penakut.
c. Melemahkan keimanan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
d. Menjatuhkan seseorang kepada kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman di dalam Al Qur’an:
إِنَّمَا ذَلِكُمُ الشَّيْطَانُ يُخَوِّفُ أَوْلِيآئَهُ فَلاَ تَخَافُوْهُمْ وَخَافُوْنِ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
“Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti kamu dengan kawan-kawannyas. Karena itu, janganlah kamu takut kepada mereka tetapi takutlah kepada-Ku jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(Ali-Imran:175)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah di dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini terdapat pelajaran tentang wajibnya takut hanya kepada Allah semata dan itu termasuk dari tuntutan keimanan. Oleh karena itu, seseorang memiliki rasa takut berdasarkan tinggi rendah imannya. Dan takut yang terpuji adalah ketakutan yang menjaga seseorang dari segala keharaman Allah.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 157)
Sesuatu yang tadinya hanya berbentuk cerita-cerita khurafat kemudian diwujudkan dalam bentuk film-film hidup, gambar-gambar, dan kengerian kuburan. Semua itu memperkuat perusakan fitrah sehingga menjadi fitrah yang mati dan kaku, hidup di hadapan cerita-cerita takhayul dan khurafat.
Jahiliyah dan Kuburan
Kuburan merupakan salah satu ajang kekufuran dan kesyirikan di masa jahiliyah. Terbukti hal yang demikian dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
أَفَرَأَيْتُمُ الاَّتَ وَالْعُزَّى وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ اْلأُنْثَى تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزَى
“Apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-’Uzza dan Manat yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah). Apakah patut untuk kamu (anak) laki-laki dan untuk Allah anak perempuan. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (An-Najm: 19-22)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mencerca kaum musyrikin dengan peribadatan mereka kepada patung-patung, tandingan-tandingan bagi Allah dan berhala-berhala, di mana mereka memberikan rumah-rumah untuk menyaingi Ka’bah yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim 'alaihissalam.
Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: “Bagaimana pendapat kalian tentang Al-Lata”. Al-Lata adalah sebutan untuk batu yang terukir di mana di atasnya dibangun rumah dan berada di kota Thaif. Ia memiliki kelambu dan juru kunci dan di sekitarnya terdapat halaman yang diagungkan oleh penduduk Thaif, yaitu kabilah Tsaqif dan yang mengikuti mereka. Mereka berbangga-bangga dengannya di hadapan seluruh kabilah Arab kecuali Quraisy.”
Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, Mujahid, Rabi’ bin Anas mereka membaca (الاَّتَ) dengan ditasydidkan taa (تَّ) dan mereka menafsirkannya dengan: “Seseorang yang mengadoni gandum untuk para jamaah haji di masa jahiliyyah. Tatkala dia meninggal, mereka i’tikaf di kuburannya lalu menyembahnya.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adalah seseorang yang menjadikan gandum untuk para jamaah haji.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/35, lihat Tafsir Al-Qurthubi, 9/66, Ighatsatul Lahfan, 1/184)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Al-Latta dengan bacaan ditasydidkan huruf taa adalah bacaan Ibnu ‘Abbas berdasarkan bacaan ini berarti isim fa’il (bentuk subyek) dari kata ‘latta’ (yang berbentuk) patung, ini asalnya adalah seseorang yang mengadoni tepung untuk para jamaah haji yang dicampur dengan minyak samin lalu dimakan oleh para jamaah haji. Tatkala dia mati, orang-orang i’tikaf di kuburnya lalu mereka menjadikannya sebagai berhala.” (Qaulul Mufid, 1/253)
Metode Penyesatan Setan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Termasuk dari tipu daya setan yang telah menimpa mayoritas orang sehingga tidak ada seorangpun yang selamat-kecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah- yaitu “Apa-apa yang telah dibisikkan para setan kepada wali-walinya berupa fitnah kuburan.” (Ighatsatul Lahfan, 1/182)
Yang mengawali terjadinya fitnah besar ini adalah kaum Nabi Nuh 'alaihissalam sebagaimana telah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang mereka:
قَالَ نُوْحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوْا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا وَمَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا وَقَالُوْا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوْثَ وَيَعًوْقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَلاَ تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ ضَلاَلاً
“Nuh berkata: Ya Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar. Dan mereka berkata jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Yauq dan Nasr. Dan sesungguhnya mereka menyesatkan kebanyakan manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (Nuh: 21-24)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dalam riwayat Al-Bukhari menyatakan: “Mereka adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh 'alaihissalam. Ketika orang-orang shalih itu mati, tampillah setan menyampaikan kepada orang-orang agar mendirikan di majelis-majelis mereka gambar orang-orang shalih tersebut dan namakanlah dengan nama-nama mereka! Orang-orang pun melakukan hal tersebut dan belum disembah, sampai ketika mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan, maka gambar-gambar itu pun disembah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Bukan hanya satu ulama salaf yang mengatakan: ‘Mereka adalah orang-orang shalih dari kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal, orang-orang i’tikaf di kubur-kubur mereka lalu membuat patung-patung tersebut hingga masa yang sangat panjang, lalu menjadi sesembahan.” Kemudian beliau mengatakan: “Mereka telah menghimpun dua fitnah yaitu fitnah kubur dan fitnah menggambar.” (Ighatsatul Lahfan, 1/184)
Kemudian beliau berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma, Mujahid, Rabi’ bin Anas mereka membaca (الاَّتَ) dengan ditasydidkan taa (تَّ) dan mereka menafsirkannya dengan: “Seseorang yang mengadoni gandum untuk para jamaah haji di masa jahiliyyah. Tatkala dia meninggal, mereka i’tikaf di kuburannya lalu menyembahnya.”
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata tentang firman Allah “Al-Latta dan Al-’Uzza.”: “Al-Latta adalah seseorang yang menjadikan gandum untuk para jamaah haji.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/35, lihat Tafsir Al-Qurthubi, 9/66, Ighatsatul Lahfan, 1/184)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Al-Latta dengan bacaan ditasydidkan huruf taa adalah bacaan Ibnu ‘Abbas berdasarkan bacaan ini berarti isim fa’il (bentuk subyek) dari kata ‘latta’ (yang berbentuk) patung, ini asalnya adalah seseorang yang mengadoni tepung untuk para jamaah haji yang dicampur dengan minyak samin lalu dimakan oleh para jamaah haji. Tatkala dia mati, orang-orang i’tikaf di kuburnya lalu mereka menjadikannya sebagai berhala.” (Qaulul Mufid, 1/253)
Metode Penyesatan Setan
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Termasuk dari tipu daya setan yang telah menimpa mayoritas orang sehingga tidak ada seorangpun yang selamat-kecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah- yaitu “Apa-apa yang telah dibisikkan para setan kepada wali-walinya berupa fitnah kuburan.” (Ighatsatul Lahfan, 1/182)
Yang mengawali terjadinya fitnah besar ini adalah kaum Nabi Nuh 'alaihissalam sebagaimana telah diberitakan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala tentang mereka:
قَالَ نُوْحٌ رَبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوْا مَنْ لَمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلاَّ خَسَارًا وَمَكَرُوْا مَكْرًا كُبَّارًا وَقَالُوْا لاَ تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلاَ تَذَرُنَّ وَدًّا وَلاَ سُوَاعًا وَلاَ يَغُوْثَ وَيَعًوْقَ وَنَسْرًا وَقَدْ أَضَلُّوْا كَثِيْرًا وَلاَ تَزِدِ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ ضَلاَلاً
“Nuh berkata: Ya Rabbku, sesungguhnya mereka telah mendurhakaiku dan telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka. Dan melakukan tipu daya yang amat besar. Dan mereka berkata jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kalian dan jangan pula sekali-kali kalian meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Yauq dan Nasr. Dan sesungguhnya mereka menyesatkan kebanyakan manusia. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (Nuh: 21-24)
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dalam riwayat Al-Bukhari menyatakan: “Mereka adalah nama-nama orang shalih dari kaum Nabi Nuh 'alaihissalam. Ketika orang-orang shalih itu mati, tampillah setan menyampaikan kepada orang-orang agar mendirikan di majelis-majelis mereka gambar orang-orang shalih tersebut dan namakanlah dengan nama-nama mereka! Orang-orang pun melakukan hal tersebut dan belum disembah, sampai ketika mereka meninggal dan ilmu semakin dilupakan, maka gambar-gambar itu pun disembah.”
Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan: “Bukan hanya satu ulama salaf yang mengatakan: ‘Mereka adalah orang-orang shalih dari kaum Nuh. Tatkala mereka meninggal, orang-orang i’tikaf di kubur-kubur mereka lalu membuat patung-patung tersebut hingga masa yang sangat panjang, lalu menjadi sesembahan.” Kemudian beliau mengatakan: “Mereka telah menghimpun dua fitnah yaitu fitnah kubur dan fitnah menggambar.” (Ighatsatul Lahfan, 1/184)
Tahapan dan metode penyesatan Iblis dan tentara-tentaranya terhadap penyembah kubur sebagai berikut:
Tahapan pertama, Bahwa membangun kuburan, i’tikaf di sampingnya termasuk wujud kecintaan kepada para nabi dan orang-orang shalih serta berdoa di sisinya cepat diterima.
Tahapan kedua, tawassul dalam berdoa dan bersumpah dengan penghuni kubur tersebut.
Tahapan ketiga, berdoa dan menyembah kepadanya.
Tahapan keempat, menyeru orang untuk berdoa dan beribadah kepadanya dan menjadikannya sebagai tempat untuk merayakan hari raya.
Tahapan kelima, membela dan berjihad dalam membela perbuatan tersebut terhadap setiap orang yang mengingkari perbuatannya dan menganggap bahwa orang yang mengingkari perbuatan tersebut tidak memiliki kehormatan dan kedudukan. (lihat secara ringkas Ighatsatul Lahfan, 1/231)
Demikianlah sepak terjang Iblis dan tentara-tentaranya dalam menyusun metode penyesatan setiap insan dengan memulai dari yang paling kecil menuju yang paling besar. Program yang mereka canangkan dan jaringan yang mereka siapkan telah memakan banyak korban. Semoga Allah melindungi kita darinya.
Haramnya Membangun Kubur
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Tahdzir As-Sajid (hal. 9-20) membawakan hadits-hadits yang semuanya melarang membuat bangunan di atas kuburan. Di antara hadits tersebut antara lain:
1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika di ranjang menjelang wafat beliau:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai sebagai masjid-masjid.” (HR. Al-Bukhari, 3/156, 198 dan 8/114, Muslim, 2/67, Abu ‘Awanah, 1/399, Ahmad, 6/80, 121, 255 dan lainnya)
Hadits yang semakna dengan hadits di atas diriwayatkan dari banyak shahabat, di antaranya dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (2/422) dan Al-Imam Muslim (2/71), dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari (1/422, 6/386, dan 8/116) dan Al-Imam Muslim (2/67), dari Jundub bin Abdullah Al-Bajali, diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (2/67-68), dari Harits An-Najrani dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya shahih di atas syarat Muslim, dari Usamah bin Zaid diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi di dalam Musnad-nya (2/113) dan Ahmad (5/204), dari Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad (no. 1691, 1694), Ath-Thahawi di dalam Musykilul Atsar (4/13), Abu Ya’la (1/57) dan selainnya. Juga dari Zaid bin Tsabit diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (5/184, 185), dari Abdullah bin Mas’ud diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1/92/2), Ibnu Hibban (no. 340 dan 341) dan selainnya. Dari ‘Ali bin Abi Thalib dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu ‘Asakir, dan dari Abu Bakar diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawaih (lihat Tahdzir As-Sajid secara rinci, halaman 9-20).
Tahapan pertama, Bahwa membangun kuburan, i’tikaf di sampingnya termasuk wujud kecintaan kepada para nabi dan orang-orang shalih serta berdoa di sisinya cepat diterima.
Tahapan kedua, tawassul dalam berdoa dan bersumpah dengan penghuni kubur tersebut.
Tahapan ketiga, berdoa dan menyembah kepadanya.
Tahapan keempat, menyeru orang untuk berdoa dan beribadah kepadanya dan menjadikannya sebagai tempat untuk merayakan hari raya.
Tahapan kelima, membela dan berjihad dalam membela perbuatan tersebut terhadap setiap orang yang mengingkari perbuatannya dan menganggap bahwa orang yang mengingkari perbuatan tersebut tidak memiliki kehormatan dan kedudukan. (lihat secara ringkas Ighatsatul Lahfan, 1/231)
Demikianlah sepak terjang Iblis dan tentara-tentaranya dalam menyusun metode penyesatan setiap insan dengan memulai dari yang paling kecil menuju yang paling besar. Program yang mereka canangkan dan jaringan yang mereka siapkan telah memakan banyak korban. Semoga Allah melindungi kita darinya.
Haramnya Membangun Kubur
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau yang berjudul Tahdzir As-Sajid (hal. 9-20) membawakan hadits-hadits yang semuanya melarang membuat bangunan di atas kuburan. Di antara hadits tersebut antara lain:
1. Hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika di ranjang menjelang wafat beliau:
لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوْا قُبُوْرَ أَنْبِيآئِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan kuburan nabi mereka sebagai sebagai masjid-masjid.” (HR. Al-Bukhari, 3/156, 198 dan 8/114, Muslim, 2/67, Abu ‘Awanah, 1/399, Ahmad, 6/80, 121, 255 dan lainnya)
Hadits yang semakna dengan hadits di atas diriwayatkan dari banyak shahabat, di antaranya dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari (2/422) dan Al-Imam Muslim (2/71), dari shahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma yang diriwayatkan oleh Al-Imam Bukhari (1/422, 6/386, dan 8/116) dan Al-Imam Muslim (2/67), dari Jundub bin Abdullah Al-Bajali, diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim (2/67-68), dari Harits An-Najrani dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan sanadnya shahih di atas syarat Muslim, dari Usamah bin Zaid diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi di dalam Musnad-nya (2/113) dan Ahmad (5/204), dari Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad (no. 1691, 1694), Ath-Thahawi di dalam Musykilul Atsar (4/13), Abu Ya’la (1/57) dan selainnya. Juga dari Zaid bin Tsabit diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad (5/184, 185), dari Abdullah bin Mas’ud diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1/92/2), Ibnu Hibban (no. 340 dan 341) dan selainnya. Dari ‘Ali bin Abi Thalib dikeluarkan oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu ‘Asakir, dan dari Abu Bakar diriwayatkan oleh Ibnu Zanjawaih (lihat Tahdzir As-Sajid secara rinci, halaman 9-20).
2. Hadits Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang untuk mengapur kuburan, duduk di atasnya dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim, 3/62, Ibnu Abi Syaibah 4/134, At-Tirmidzi 2/155, dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, 3/339 dan 399).
Hadits yang semakna datang dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya (2/66). Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Tahdzir As-Sajid (hal. 22) mengatakan: “Sanadnya shahih.” Al-Haitsami (3/61) mengatakan: “Semua rawinya terpercaya.” Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Maka jelaslah dari hadits-hadits yang telah lewat tentang bahaya menjadikan kuburan sebagai masjid-masjid dan akibat bagi orang-orang yang berbuat demikian berupa ancaman yang pedih dari sisi Allah.” (Tahdzir As-Sajid, hal. 21)
Kemudian beliau berkata: “Keumuman hadits (Jabir bin Abdullah radhiallahu 'anhuma)mencakup pembangunan masjid di atas kubur, sebagaimana pula mencakup pembangunan kubah di atasnya. Dan tentunya yang pertama (membangun masjid di atas kubur) larangannya lebih keras sebagaimana telah jelas.”
(Tahdzir As-Sajid, hal. 21).
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: “Hadits ini (yakni hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha) menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur-kubur orang shalih dan menggambar mereka di dalam masjid tersebut, sebagaimana dilakukan orang-orang Nashrani dan tidak ada keraguan bahwa masing-masing dari keduanya adalah haram. Menggambar anak Adam adalah haram dan membangun masjid di atas kuburan juga diharamkan sebagaimana ditunjukkan oleh nash-nash lain dan akan datang penyebutan sebagiannya.”
Beliau (Ibnu Rajab rahimahullah) selanjutnya berkata: “Gambar-gambar yang ada di banyak gereja yang disebutkan oleh Ummu Habibah dan Ummu Salamah berada di dinding dan tidak berdimensi. Maka menggambar para nabi dan orang shalih untuk bertabarruk dengannya dan meminta syafaat kepadanya adalah diharamkan dalam agama Islam dan termasuk bentuk peribadatan kepada berhala. Inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah bahwa pelakunya termasuk makhluk terjahat pada hari kiamat. Membuat gambar (nabi dan orang shalih) dengan tujuan ketika melihat gambar tersebut bisa mengambil contoh atau untuk mensucikan diri dengan cara seperti itu atau untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya adalah perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar. Pelakunya termasuk orang yang mendapat adzab paling keras pada hari kiamat. Ia telah melakukan kezaliman dan menyerupai perbuatan-perbuatan Allah yang para makhluk-Nya tidak sanggup untuk melakukan. Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah baik pada Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya.”
(Tahdzir As-Sajid, hal. 13-14)
Makna Menjadikan Kuburan sebagai Masjid
Menjadikan kuburan sebagai masjid memiliki tiga makna:
1. Shalat di atas kuburan, artinya sujud di atasnya.
2. Sujud menghadap kepadanya dan menjadikannya sebagai kiblat di dalam shalat dan berdoa.
3. Membangun masjid di atasnya dan berniat untuk melaksanakan shalat padanya. (Tahdzir As-Sajid, hal. 21)
Wallahu a’lam bish shawab.
_____________________
Beliau (Ibnu Rajab rahimahullah) selanjutnya berkata: “Gambar-gambar yang ada di banyak gereja yang disebutkan oleh Ummu Habibah dan Ummu Salamah berada di dinding dan tidak berdimensi. Maka menggambar para nabi dan orang shalih untuk bertabarruk dengannya dan meminta syafaat kepadanya adalah diharamkan dalam agama Islam dan termasuk bentuk peribadatan kepada berhala. Inilah yang telah diberitakan oleh Rasulullah bahwa pelakunya termasuk makhluk terjahat pada hari kiamat. Membuat gambar (nabi dan orang shalih) dengan tujuan ketika melihat gambar tersebut bisa mengambil contoh atau untuk mensucikan diri dengan cara seperti itu atau untuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya adalah perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar. Pelakunya termasuk orang yang mendapat adzab paling keras pada hari kiamat. Ia telah melakukan kezaliman dan menyerupai perbuatan-perbuatan Allah yang para makhluk-Nya tidak sanggup untuk melakukan. Tidak ada sesuatupun yang menyerupai Allah baik pada Dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya.”
(Tahdzir As-Sajid, hal. 13-14)
Makna Menjadikan Kuburan sebagai Masjid
Menjadikan kuburan sebagai masjid memiliki tiga makna:
1. Shalat di atas kuburan, artinya sujud di atasnya.
2. Sujud menghadap kepadanya dan menjadikannya sebagai kiblat di dalam shalat dan berdoa.
3. Membangun masjid di atasnya dan berniat untuk melaksanakan shalat padanya. (Tahdzir As-Sajid, hal. 21)
Wallahu a’lam bish shawab.
_____________________
[1]Sebagaimana doa Nabi Ibrahim 'alaihissalam:
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ (إبراهيم : 35)
“Dan jauhkan diriku dan anakku dari menyembah patung-patung.” (Ibrahim: 35)
وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَنْ نَعْبُدَ اْلأَصْنَامَ (إبراهيم : 35)
“Dan jauhkan diriku dan anakku dari menyembah patung-patung.” (Ibrahim: 35)
Sumber : http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=195
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment