Oleh : Syaikh Al-Albani -rahimahullah-
Aisyah -radhiallahu anha- berkata, ”Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah bersandar di rumahnya dalam keadaan kedua pahanya tersingkap. Lalu Abu Bakar meminta izin untuk masuk dan beliau mengizinkannya dalam keadaan beliau tetap pada keadaan seperti itu. Kemudian Umar meminta izin untuk masuk dan beliau mengizinkannya dalam keadaan beliau tetap pada keadaan seperti itu lalu beliau berbincang-bincang dengannya. Kemudian Utsman meminta izin untuk masuk, maka Nabi r langsung duduk dan merapikan pakaian beliau, lalu dia masuk dan berbincang-bincang dengan beliau.” Setelah Utsman keluar, Aisyah berkata kepadanya, ”Abu Bakar masuk menemuimu akan tetapi engkau tidak duduk, kemudian Utsman masuk menemuimu tapi engkau langsung duduk dan merapikan pakaianmu?” maka beliau bersabda, ”Tidakkah saya merasa malu kepada orang yang para malaikat malu kepadanya?”
Ini adalah hadits yang shahih. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar (2/283) dia berkata: Yusuf bin Yazid menceritakan kepada kami (dia berkata): Hajjaj bin Ibrahim menceritakan kepada kami (dia berkata): Ismail bin Ja’far menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Harmalah dari Atha` bin Yasar, Sulaiman bin Yasar dan Abu Salamah bin Abdirrahman darinya.
Ini adalah hadits yang shahih. Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar (2/283) dia berkata: Yusuf bin Yazid menceritakan kepada kami (dia berkata): Hajjaj bin Ibrahim menceritakan kepada kami (dia berkata): Ismail bin Ja’far menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Harmalah dari Atha` bin Yasar, Sulaiman bin Yasar dan Abu Salamah bin Abdirrahman darinya.
Ini adalah sanad yang shahih, semua perawinya adalah tsiqah lagi mulia.
Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitabnya Ash-Shahih (7/116-117), Al-Baihaqi (2/230-231) dan juga Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (88) dari beberapa jalan dari Ismail bin Ja’far dan seterusnya dengan lafazh yang semakna, dan di dalamnya disebutkan, ”Dalam keadaan beliau menyingkap paha atau kedua betisnya,” demikian disebutkan dengan bentuk ragu-ragu.
Yang benar menurut saya adalah riwayat Ath-Thahawi yang tidak ada bentuk keraguan di dalamnya.
Hal ini dengan beberapa alasan:
Pertama: Keragu-raguan bukanlah ilmu, maka dia tidak bisa dipertentangkan dengan apa yang dipastikan oleh rawi yang tsiqah.
Kedua dan ketiga: Hadits ini mempunyai jalan lain dan beberapa pendukung dari riwayat Ath-Thahawi:
Adapun jalan lain, maka Ahmad berkata (6/62): Marwan menceritakan kepada kami dia berkata: Ubaidullah bin Sayyar mengabarkan kepada kami dia berkata: Saya mendengar Aisyah bintu Thalhah bercerita dari Aisyah Ummul Mukminin (dia berkata), ”Sesungguhnya Rasulullah r pernah duduk-duduk dalam keadaan menyingkap kedua paha beliau, lalu Abu Bakar meminta izin masuk dan beliau mengizinkannya …,” sampai akhir hadits dengan lafazh yang semakna dengannya.
Ini adalah sanad yang semua perawinya tsiqah dan perawi Imam Enam kecuali Ubaidullah bin Sayyar. Al-Husaini berkata, ”Majhul,” sebagaimana dalam At-Ta’jil.
Al-Husaini telah memberikan singkatan untuk hadits ini yang menunjukkan bahwa hadits ini terdapat dalam Musnad Ahmad. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, ”Saya tidak melihatnya di dalam musnad Aisyah -radhiallahu anha- dalam Musnad Ahmad.”
Demikian yang dia katakan, padahal hadits ini terdapat dalam Al-Musnad sebagaimana yang Al-Husaini katakan, dan kami telah menyebutkan nomor halamannya. Hadits ini diisyaratkan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath dan dia tidak mengomentarinya, sebagaimana yang akan datang.
Adapun pendukungnya, maka ada tiga hadits:
Pertama : Dari Hafshah bintu Umar t dia berkata, ”Suatu hari Rasulullah r duduk-duduk dalam keadaan menjepitkan kain bajunya di antara kedua pahanya. Lalu Abu Bakar datang dan meminta izin masuk lalu beliau mengizinkannya …,” sampai akhir hadits.
Diriwayatkan oleh Ahmad (6/288), Ath-Thahawi dalam Syarh Al-Ma’ani (1/273-274) dan Al-Musykil (2/293) dan Al-Baihaqi (2/231) dari jalan Ibnu Juraij dia berkata: Abu Khalid mengabarkan kepadaku dari Abdullah bin Abi Said Al-Madini dia berkata: Hafshah menceritakan kepadaku.
Kemudian Ahmad dan Al-Baihaqi meriwayatkannya dari jalan Syaiban dari Abu Al-Ya’fur dari Abdullah bin Abi Said Al-Muzani dan seterusnya.
Al-Bukhari juga meriwayatkannya dalam At-Tarikh dari kedua jalan di atas dari Abdullah ini.
Semua perawinya tsiqah kecuali Abdullah bin Abi Said. Al-Husaini berkata, ”Tidak diketahui siapa dia.” Al-Hafizh berkata dalam At-Ta’jil -setelah menyebutkan hadits ini dengan kedua jalan di atas darinya-, ”Dari sini bisa disimpulkan bahwa ada dua rari yang meriwayatkan dari Abdullah bin Abi Said, dia bukanlah rawi yang dikritik dan juga tidak membawakan matan (redaksi hadits, pent.) yang mungkar, maka dia berada di atas kaidah rawi-rawi yang tsiqah menurut Ibnu Hibban, akan tetapi saya tidak menemukan namanya tersebut dalam manuskrip yang ada di tanganku,” maksudnya: Manuskrip kitab Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban.
Kesimpulannya: Ini adalah sanad yang tidak mengapa dijadikan sebagai pendukung. Al-Hafizh tidak mengomentarinya dalam Al-Fath, tatkala dia berkata -setelah membawakan hadits Aisyah ini dari riwayat Muslim-, ”Hadits ini dalam riwayat Ahmad dengan lafazh, ”Dalam keadaan menyingkap kedua paha beliau,” tanpa ada lafazh ragu-ragu. Ahmad juga meriwayatkan hadits yang semisalnya dari Hafshah, dan diriwayatkan pula oleh Ath-Thahawi dan Al-Baihaqi.”
Gurunya (Al-Hafizh) -yang bernama Al-Haitsami- berkata dalam Al-Majma’ (9/82), ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath serta Abu Ya’la dengan lafazh yang sangat ringkas, dan sanadnya hasan.”
Kedua: Dari Anas bin Malik t dia berkata, ”Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memasuki salah satu kebun dari kebun-kebun milik Al-Anshar dan ternyata di dalamnya ada sebuah sumur, maka beliau duduk di tepinya sambil menjulurkan kedua kaki beliau dalam keadaan sebagian paha beliau tersingkap, dan beliau memerintahkan saya agar duduk di pintu kebun. Tidak lama berselang, Abu Bakar datang, lalu saya memberitahu beliau maka beliau bersabda, ”Izinkan dia masuk dan beri kabar gembira berupa surga untuknya …,” sampai akhir hadits dengan lafazh yang semakna.
Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/284) dia berkata: Fahd bin Sulaiman menceritakan kepada kami (dia berkata): Ahmad bin Abdillah bin Yunus menceritakan kepada kami (dia berkata): Abu Muawiah menceritakan kepada kami (dia berkata): Amr bin Muslim, pemilik Al-Maqshurah menceritakan kepadaku dari Anas. Di akhirnya dia mengatakan, ”Tatkala Nabi r melihatnya (Utsman) maka beliau segera menutup pahanya. Mereka bertanya, ”Kenapa wahai Rasulullah! Engkau menutup pahamu ketika Utsman datang?” maka beliau menjawab, ”Sesungguhnya saya betul-betul malu kepada orang yang para malaikat malu kepadanya.”
Ini adalah sanad yang semua perawinya tsiqah kecuali Amr bin Muslim ini, Al-Hafizh menyebutkannya dalam Tahdzib At-Tahdzib bahwa yang meriwayatkan darinya adalah Abu Muawiah Adh-Dharir dan Abu Alqamah Al-Farawi, kemudian beliau tidak membawakan adanya kritikan dan pujian padanya.
Ketiga : Dari Abu Said Al-Khudri dia berkata, ”Rasulullah r berdiri di aswaq dan Bilal ada bersama beliau. Lalu beliau menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur dan menyingkap kedua pahanya. Maka Abu Bakar datang meminta izin lalu beliau bersabda, ”Wahai Bilal, izinkan dia masuk dan berikan kabar gembira berupa surga kepadanya …,” sampai akhir hadits dengan lafazh yang semakna. Di dalamnya disebutkan bahwa Abu Bakar, Umar dan Utsman, setiap dari mereka juga menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur dan menyingkap kedua pahanya.
Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dan semua perawinya telah ditsiqahkan sebagaimana di sebutkan dalam Al-Majma’ (2/53). Dia (Al-Haitsami) berkata dalam kitab yang sama pada tempat lainnya (9/57), ”Semua perawinya adalah perawi Ash-Shahih kecuali guru Ath-Thabarani yang bernama Ali bin Said, di adalah rawi yang hasan haditsnya.”
Hadits ini mempunyai pendukung yang keempat dari hadits Ibnu Abbas. Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Al-Bazzar, akan tetapi di dalam sanad keduanya ada rawi yang bernama An-Nadhr Abu Umar, dan dia adalah matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang Al-Haitsami katakan (9/82).
Dari Anas dia berkata, ”Sesungguhnya Rasulullah r berperang di Khaibar, maka kami mengerjakan shalat subuh di situ ketika masih gelap. Lalu Nabiyullah r menaiki tunggangannya sementara saya dibonceng oleh Abu Thalhah. Maka Nabiyullah r berjalan di lorong-lorong Khaibar dan kedua lututku betul-betul menyentuh paha Nabiyullah r. Kemudian beliau menyingkap sarung ke atas pahanya sampai saya betul-betul melihat putihnya paha Nabiyullah r …,” sampai akhir hadits,
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1/381) -dan Ibnu Hazm darinya (3/210-211)-, Muslim (5/185) (4/145), Al-Baihaqi (2/229-230) dan Ahmad (3/101-102) dari Ismail bin Ulayyah dia berkata: Abdul Aziz bin Shuhaib menceritakan kepada kami darinya. Dan ini adalah lafazh Al-Bukhari.
Yang lainnya mengatakan, ”Tersingkap,” sebagai pengganti dari, ”Beliau menyingkap.”
Dalam permasalahan ini, yang berpendapat bahwa aurat itu hanya kedua kemaluan adalah Azh-Zhahiriah, ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad dan Malik -sebagaimana disebutkan dalam Al-Fath dari An-Nawawi- dan dia (An-Nawawi) menyebutkan pendapat ini dalam Syarh Muslim dari para pengikut Malik. Ini adalah pendapat Abu Said Al-Ishthakhri dari Asy-Syafi’iyah dan yang dipilih oleh As-Suyuthi. Ibnu Hazm berkata (3/216), ”Ini adalah pendapat Ibnu Abi Dzi’b, Sufyan Ats-Tsauri dan Abu Sulaiman, dan inilah yang kami pegang.” Dia juga berkata, ”Ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf.”
Kemudian dia meriwayatkan dari Jubair bin Al-Huwairits dia berkata, ”Saya melihat Abu Bakar Ash-Shiddiq tengah berdiri di tempat yang tinggi seraya berkata, ”Wahai sekalian manusia, ??? kalian karena sungguh saya pernah melihat paha beliau dalam keadaan tersingkap.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Musa bin Anas bin Malik, lalu dia menyebutkan kisah perang Yamamah. Lalu dia berkata, ”Anas menjenguk Tsabit bin Qais bin Al-Syammas yang ketika itu menyingkap kedua pahanya, dan dia diselimuti,” -maksudnya: Dengan kain kafan-.
Atha` bin As-Saib berkata, ”Saya masuk menemui Abu Ja’far -dia adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib- sementara dia sedang demam tinggi dan dia menyingkap kedua pahanya …,” lalu dia menyebutkan haditsnya.
Di antara argumen mereka adalah hadits Aisyah dan hadits Anas ini. Pendalilan dari hadits yang pertama sudah jelas, karena di dalamnya disebutkan bahwa Nabi -alaihissalam- sengaja menyingkap kedua pahanya. Adapun hadits Anas, maka sisi pendalilannya juga jelas dari riwayat Al-Bukhari, ”Kemudian beliau menyingkap sarungnya.” Karena diperoleh darinya keterangan bahwa beliau juga melakukan hal itu dengan sengaja. Hanya saja keluar dari pendalilan ini, riwayat yang lainnya, ”Dan sarung beliau tersingkap,” karena lahiriahnya menunjukkan bahwa sarung beliau tersingkap dengan sendirinya. Akan tetapi Al-Hafizh berkata (2/382), ”Mungkin bisa berdalil dengannya bahwa paha bukan aurat dari sisi bahwa sarung beliau terus-menerus dalam keadaan seperti itu. Karena walaupun bisa saja terjadinya hal itu (sarung beliau tersingkap, pent.) tanpa kesengajaan, akan tetapi seandainya dia adalah aurat, niscaya tidak hal itu tidak akan berlangsung lama karena beliau r ma’shum dalam hal ini. Seandainya dianggap bahwa hal itu terjadi sebagai penjelasan syariat (akan tidak berdosanya menyingkap aurat, pent.) bagi orang yang tidak sengaja, maka itu mungkin bisa diterima, akan tetapi angapan ini tidak bisa diterima karena kalau memang demikian maka harus bagi beliau r untuk menjelaskan syariat tersebut setelah terjadinya hal itu, sebagaimana yang terjadi pada kisah lupanya beliau dalam shalat (akan tetapi tidak ada penjelasan dari beliau, pent.). Sementara konteks haditsnya dalam riwayat Abu Awanah dan Al-Jauzaqi dari jalan Abdul Warits dari Abdul Aziz, jelas menunjukkan bahwa hal itu berlangsung lama. Lafazhnya, ”Maka Rasulullah r berjalan di lorong-lorong Khaibar dan sungguh kedua lututku menyentuh paha Nabiyullah r, dan sungguh saya melihat putihnya kedua paha beliau.” Dia berkata, ”Lahiriah ucapan Anas ini menunjukkan bahwa persentuhan (lututnya dan paha Nabi, pent.) itu tanpa ada kain pembatas, sementara menyentuh aurat tanpa kain pembatas adalah tidak boleh. ”(1)
Ibnu Hazm berkata (3/211), ”Maka jelaslah bahwa paha bukanlah aurat, karena seandainya dia adalah aurat niscaya Allah -Azza wa Jalla- tidak akan menyingkapkannya dari Rasul-Nya r -yang disucikan lagi ma’shum di antara manusia ketika beliau mendapatkan nubuwah dan risalah- dan niscaya Dia juga tidak akan memperlihatkannya kepada Anas bin Malik dan tidak pula kepada selainnya. Allah Ta’ala telah menjaga beliau dari membuka aurat ketika masa ash-shaba (tidak beragama, pent.) dan sebelum diangkat menjadi Nabi.” Kemudian dia meriwayatkan -dari jalan Muslim- hadits Jabir terdahulu yang di dalamnya disebutkan, ”Maka semenjak itu beliau tidak pernah lagi terlihat dalam keadaan telanjang.”
Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i berpendapat bahwa paha adalah aurat. Mereka berdalil dengan hadits, ”Paha adalah aurat,” dan mereka menjawab hadits Aisyah dengan apa yang terdapat dalam riwayat Muslim berupa bentuk keragu-raguan tentang yang tersingkap itu paha ataukah betis. An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’, ”Di dalamnya (hadits Aisyah) tidak ada pendalilan bahwa paha bukanlah aurat, karena diragukan bagian kaki mana yang tersingkap.”
Saya (Albani) berkata : Kami telah menjelaskan bahwa semua riwayat lain dari kisah ini memastikan bahwa yang tersingkap itu adalah paha, maka wajib untuk mengarahkan riwayat Muslim kepadanya.
Kemudian An-Nawawi berkata, ”Pengikut mazhab kami mengatakan: Seandainya pemastian tersingkapnya paha itu shahih, maka kami akan mentakwilnya bahwa yang dimaksud di situ adalah tersingkapnya sebagian dari pakaian beliau, bukan seluruhnya. Mereka mengatakan: Dan dia juga adalah qadhiah ain (kejadian tersendiri yang tidak bisa dikiaskan kepada selain beliau, pent.) maka pendalilannya tidak bersifat umum dan tidak ada hujjah padanya.”
Saya berkata : Yang menjadi hujjah dalam kisah ini adalah tatkala amalan ini terjadi pada diri Nabi kita r, yang menjadi panutan dan suri tauladan kita pada segala sesuatu kecuali yang diperkecualikan oleh dalil. Berdasarkan firman Allah Ta’ala, ”Sungguh telah ada bagi kalian suri tauladan yang baik pada diri Rasulullah.” (QS. Al-Ahzab: 21) Dan semua dalil yang mengkhususkannya untuk Nabi tidaklah shahih, sebagaimana yang akan datang. Maka tetaplah dalil yang mengharuskan untuk mencontoh beliau r pada kejadian ini, bersifat umum dan mencakup seluruh umat beliau, dan dengan ini tercapailah apa yang dimaksudkan.
Adapun mentakwilnya bahwa beliau hanya membuka sebagian pakaiannya, maka sama sekali tidak memberikan manfaat apa-apa. Karena pada takwil ini terkandung penerimaan bahwa beliau menyingkap sebagian pahanya, dan kalau dia memang aurat maka bagaimana bisa beliau menyingkap sebagiannya. Kalau yang An-Nawawi maksudkan dengan ucapannya itu bahwa boleh membuka hanya sebagian aurat saja, maka dia telah menyelisihi mazhabnya tatkala dia berkata (3/166), ”Kalau ada sedikit bagian aurat orang yang sedang shalat tersingkap maka shalatnya tidak syah, baik yang tersingkap itu banyak maupun sedikit, walaupun yang tersingkap itu sedikit sekali. Dan dalam hal ini sama antara lelaki dan wanita …,” sampai akhir ucapannya.
Mereka menjawab hadits Anas bahwa sarung itu tersingkap dengan sendirinya dari paha beliau -alaihissalam- tanpa beliau sengaja, sebagaimana yang ditunjukkan oleh riwayat Muslim, ”Tersingkap.” Akan tetapi hadits ini -dari sisi yang lain- menunjukkan bolehnya menyingkap paha, yaitu terus-menerusnya beliau r membiarkan pahanya tersingkap, sebagaimana yang telah berlalu keterangan dari Al-Hafizh. Demikian pula ucapan Anas, ”Sungguh saya melihat putihnya kedua paha beliau,” ini menunjukkan bahwa di sisi mereka (para sahabat), bukanlah suatu yang haram seseorang memandang paha orang lain, kalau tidak maka tentunya Anas t tidak akan melihatnya. Kalau keadaannya seperti ini maka hadits ini menunjukkan bahwa dia (paha) bukanlah aurat, dan inilah yang ingin disampaikan.
Maka jelaslah dengan penjelasan kami bahwa semua kritikan mereka pada kedua hadits ini -ketika ditelaah- tidak mengenai sasarannya.
Itupun ada beberapa hadits lain yang semakna dengan kedua hadits ini akan tetapi kejelesan pendalilannya terhadap apa yang diinginkan (bahwa paha bukan aurat, pent.) di bawah dari pendalilan keduanya. Di antaranya adalah hadits Abu Al-Aliyah Al-Barra` dia berkata: Abdullah bin Ash-Shamit menepuk pahaku seraya berkata: Saya bertanya kepada Abu Dzar, maka dia menepuk pahaku sebagaimana saya menepuk pahamu, dia berkata: Saya bertanya kepada Rasulullah r sebagaimana kamu bertanya kepada saya, lalu beliau menepuk pahaku sebagaimana saya menepuk pahamu dan beliau bersabda, ”Kerjakanlah shalat pada waktunya. Kalau kamu mendapati shalat bersama mereka maka shalatlah dan jangan kamu mengatakan: Saya tadi sudah shalat makanya saya tidak shalat lagi.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (hal. 139) dan Muslim (2/121) -dan Ibnu Hazm (3/212) darinya- dan dia (Ibnu Hazm) berkata, ”Seandainya paha itu aurat niscaya Rasulullah r sama sekali tidak akan menyentuh paha Abu Dzar dengan tangannya yang suci. Seandainya paha adalah aurat menurut Abu Dzar, niscaya dia tidak akan menepukkan tangannya padanya. Demikian pula Abdullah bin Ash-Shamit dan juga Abu Al-Aliyah. Dan tidak akan ada seorang muslim pun yang akan menghalalkan dirinya menepukkan tangannya ke kemaluan orang lain walaupun ditutupi pakaian, dan tidak pula pada lingkaran dubur orang lain walaupun ditutupi pakaian, dan tidak pula di pada tubuh wanita yang bukan mahramnya walaupun dia memakai pakaian. Sungguh Rasulullah r melarang al-qud minal kis’ah, yaitu memukul kedua buah dzakar dengan telapak kaki dari luar celana, dan beliau bersabda, ”Tinggalkanlah perbuatan itu karena itu perbuatan yang busuk.”
Di antaranya adalah hadits Zaid bin Tsabit bahwa Rasulullah r membacakan padanya, ”Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah” (QS. An-Nisa`: 95) Zaid berkata, ”Maka Ibnu Ummi Maktum mendatangi beliau sementara beliau membacakan ayat ini kepadaku. Maka dia berkata, ”Wahai Rasulullah, seandainya saya sanggup untuk berjihad niscaya saya pasti akan berjihad -dan dia adalah seorang lelaki buta-. Maka Allah -Tabaraka wa Ta’ala- menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya r sedang paha beliau berada di atas pahaku. Maka saya merasa kesakitan sampai saya khawatir pahaku akan patah. Kemudian beliau bangun dan Allah -Azza wa Jalla- telah menurunkan, ” Yang tidak mempunyai ‘uzur.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6/34-35) (8/208-209), An-Nasai (2/54), At-Tirmizi (2/171-172 -cet. Bulaq) -dan dia berkata, ”Hasan shahih,”- dan Ahmad (5/184) dari Saleh bin Kaisan dari Ibnu Syihab dia berkata: Sahl bin Sa’ad menceritakan kepadaku dari Marwan bin Al-Hakam darinya.
Demikian pula diriwayatkan oleh Ath-Thahawi dalam Al-Musykil (2/216) dari Saleh.
Dia didukung oleh Abdurrahman bin Ishaq dalam periwayatannya dari Ibnu Syihab. Ini diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ath-Thabari, sebagaimana dalam Al-Fath.
Mereka berdua diselisihi oleh Ma’mar dia berkata: Dari Az-Zuhri dari Qabishah bin Dzuaib dari Yazid bin Tsabit. Ini diriwayatkan oleh Ahmad (5/184).
Mungkin untuk hadits ini, Az-Zuhri mempunyai dua sanad, wallahu a’lam.
Hadits ini mempunyai jalan lain darinya. Diriwayatkan oleh Abu Daud (1/392), Ath-Thahawi (2/217), Al-Hakim (2/81) -dia menshahihkannya dan Adz-Dzahabi menyetujuinya- dan Ahmad (5/190, 191) dari Abdurrahman bin Abi Az-Zinad dari ayahnya dari Kharijah bin Zaid dari Zaid bin Tsabit.
Al-Bukhari meriwayatkan hadits ini secara muallaq pada ’Bab Keterangan Tentang Paha’, sebagaimana dia juga meriwayatkan hadits Anas -yang telah disebutkan- secara muallaq. Dengan itu beliau mengisyaratkan bahwa paha bukanlah aurat. Karenanya Asy-Syaikh Muhammad Anwar Al-Kasymiri berkata dalam Faidhul Bari (2/15), ”Yang nampak dari amalan penulis rahimahullah adalah bahwa beliau condong kepada mazhab Malik rahimahullah dan mengarahkan mazhab Al-Hanafiah kepada perbuatan kehati-hatian.”
Karenanya As-Suyuthi berkata dalam hasyiahnya terhadap Sunan An-Nasai (2/92) -mengomentari ucapan Anas-, “Ini adalah dalil bagi yang berpendapat bahwa paha bukanlah aurat, dan inilah pendapat yang terpilih.”
[Diterjemah dari kitab Ats-Tsamar Al-Mustathab karya Asy-Syaikh Al-Albani -rahimahullah- pada bab syarat syahnya shalat di jilid pertama]
Sumber : http://al-atsariyyah.com/?p=669
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment