Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah
(Anggota Majelis Kibar Ulama dan Pengajar Masjidil Haram KSA).
Berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya’bân Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu’ Fatawa Beliau, 20/25-33 .
[Pertama] : Tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya’bân
Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah radhiyallâhu'anha menceritakan “Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa Beliau pada bulan Sya’bân.”[2]
Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain : “Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”[3]
Dalam riwayat lain Imam Muslim,
“Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”[4]
(Anggota Majelis Kibar Ulama dan Pengajar Masjidil Haram KSA).
Berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya’bân Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu’ Fatawa Beliau, 20/25-33 .
[Pertama] : Tentang Keutamaan Puasa Bulan Sya’bân
Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah radhiyallâhu'anha menceritakan “Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa Beliau pada bulan Sya’bân.”[2]
Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain : “Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa penuh pada bulan Sya’bân.”[3]
Dalam riwayat lain Imam Muslim,
“Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân kecuali sedikit.”[4]
Imam Ahmad rahimahullâh dan Imam Nasa’i rahimahullâh meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah bin Zaid radhiyallâhu'anhu , beliau mengatakan : “Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam berpuasa pada bulan Sya’bân. Lalu ada yang berkata, ‘Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya’bân.’ Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menjawab, ‘Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb, maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang puasa."[5]
Dari hadits ini dapat diambil kesimpulan. Bahwa puasa dibulan Sya’ban adalah disyariatkan dan disunnahkan. Adapun mengkhususkan pada hari tertentu inilah yang perlu kita lihat lagi. Mari kita lanjutkan pembahasan Syaikh Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata :
[Kedua] : Tentang Puasa (Khusus) Nisfu (Pertengahan) Sya’bân.
Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan dalam al- Lathâ’if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ’ Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah (Dhaif) dari ‘Ali radhiyallâhu'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda, Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Ta'ala turun pada saat matahari tenggelam, lalu berfirman, “Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ? adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? …”[6]
Saya (Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin) mengatakan, “Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits PALSU oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullâh mengatakan (Majmu’ Fatawa beliau 5/622), ‘Yang benar, hadits itu MAUDHU’ (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullâh dan Imam Yahya bin Ma’in rahimahullâh mengatakan, ‘Orang ini pernah memalsukan hadits.”
Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya’bân itu bukan amalan sunah (yang disyariatkan). Karena berdasarkan kesepakatan para ulama’, hukum syari’at tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).
Dari sini jelaslah bahwa mengkhususkan untuk puasa pada Nisfu Sya’ban dan Shalat pada malam nya adalah Amalan yang Tidak ada dasarnya didalam agama ini. Karena hadits ini itu derajatnya PALSU (MAUDHU’). Dan hadits yang Lemah, Palsu dan Tidak ada Asal Usul nya, Tidak dapat dijadikan sandaran didalam beramal. Maka dari itu, tidak ada shalat khusus pada malam Nisfu Sya’ban dan tidak ada Puasa khusus pada siang hari Nisfu Sya’ban. Barangsiapa yang berpuasa khusus pada Nisfu Sya’ban maka amalan nya tertolak. Sebagaimana didalam hadits yang Shahih.
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda : ‘Barang siapa berbuat suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami (Allah dan Rasul-Nya), maka amalan itu tertolak.”
[Ketiga] : Tentang Keutamaan Malam Nisfu Sya’bân.
Ada beberapa riwayat yang dikomentari sendiri oleh Imam Ibnu Rajab rahimahullâh setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullâh menilai sebagiannya shahih dan beliau membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân.
Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari ‘Aisyah radhiyallâhu'anha, : “Sesungguhnya Allâh Ta'ala akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya’bân lalu Allâh Ta'ala memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb.” [HADITS INI LEMAH (DHAIF). Dilemahkan oleh Imam Bukhari]
Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Imam Tirmidzi dan Imam Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullâh menyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullâh menilai hadits ini LEMAH. Kemudian Ibnu Rajab rahimahullâh menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan, “Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki kelemahan. “
As-Syaukâni rahimahullâh menyebutkan bahwa dalam riwayat ‘Aisyah radhiyallâhu'anha tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz rahimahullâh menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya’bân.
Dari sini dapat kita ambil pelajaran bahwa hadits tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban hadits nya LEMAH (DHAIF). Dan dilemahkan oleh sejumlah ulama ahli hadits, diantara mereka adalah Amirul Mukminin fi hadits Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah.
[Keempat] : Tentang Shalat Pada Malam Nisfu Sya’bân.
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan,
Tingkatan pertama, shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar malam nisfu Sya’bân. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu Sya’bân pada malam nisfu Sya’bân tanpa memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Ta'ala
Tingkatan kedua, shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya’bân. Ini termasuk bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam yang menyatakan Beliau memerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali radhiyallâhu'anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullâh, “Jika malam nisfu Sya’bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya.”, sudah dijelaskan (di atas) bahwa Ibnu Rajab rahimahullâh menilainya LEMAH, sementara Rasyid Ridha rahimahullâh menilainya PALSU.
Sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya’bân, syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi karena perintah ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullâh dan yang lainnya.
Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullâh mengatakan,
“Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya’bân, Tidak ada satu dalil shahih pun dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam maupun dari shahabat.”
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullâh mengatakan,
“Allâh Ta'ala tidak mensyari’atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Sya’bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga tidak melalui sunnah Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.”
Syaikh Bin Baz rahimahullâh mengatakan,
“Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya’bân adalah riwayat PALSU.”
Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya’bân yaitu perbuatan sebagian tabi’in, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), “Malam nisfu Sya’bân diagungkan oleh tabi’in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil.
Ada yang mengatakan, ‘Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya’bân itu adalah riwayat-riwayat isra’iliyyat.’ Ketika kabar ini tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya’bân, sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, ‘Semua itu perbuatan Bid’ah (Perbuatan Baru Didalam Agama).’
Tidak diragukan lagi, pendapat ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar karena Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Qs al-Maidah [5] : 3)
Seandainya shalat malam nisfu Sya’bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Ta'ala jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melalui ucapan maupun perbuatan Beliau. Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian dari agama Allâh Ta'ala.
Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama Allâh Ta'ala adalah bid’ah, sementara ada dalil shahih dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam, bahwa Beliau bersabda, "Semua bid’ah itu sesat.”
Tingkatan ketiga, dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah.
Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits PALSU.
As-Syaukâni rahimahullâh mengatakan (al-Fawâidul Majmû’ah, hlm. 15),
“Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat Bathil dan Palsu.”
Dari penjelasan ini, jelaslah bagi kita. Shalat Khusus pada Malam Nisfu Sya’ban adalah Bid’ah yang Mungkar. Karena hadits – hadits nya Lemah Sekali dan Palsu. Seandainya ada shalat seperti itu, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sudah menyampaikan kepada kita. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Utsaimin diatas. Akan tetapi, tidak ada satupun hadits yang Sah dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam tentang hal itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Asy-Syaukani rahimahullah diatas.
“Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya’bân ini adalah riwayat Bathil dan Palsu.”
[Kelima] : Tersebar Kabar Di Masyarakat Bahwa Pada Malam Nisfu Sya’bân Itu Ditentukan Apa Yang Akan Terjadi Tahun Itu.
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam qadar (Lailatul Qadar).
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Haa miim. Demi Kitab (al Qur’ân) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah." (Qs ad-Dukhân [44] : 1-4).
Malam diturunkannya al-Qur’ân adalah lailatul qadar. Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan." (Qs al-Qadr [97] : 1)
yaitu pada bulan Ramadhân, karena Allâh Ta'ala menurunkan al-Qur’an pada bulan itu.
Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur’ân.”(Qs al-Baqarah [2] : 185)
Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya’bân merupakan waktu Allâh Ta'ala menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur’an.
[Keenam] : Ada Sebagian Orang Membuat Makanan Pada Hari Nisfu Sya’bân Dan Membagikannya Kepada Fakir Miskin.
Ini yang mereka namakan ‘asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga TIDAK ADA DASARNYA dari Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam. Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya’bân termasuk amalan baru didalam agama (Bid’ah) yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam dengan sabda Beliau, ”Semua bid’ah itu sesat.”
Ketahuilah, orang yang membuat kebid’ahan dalam agama Allâh Ta'ala ini berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan :
a. Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Ta'ala, yang artinya
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.” (Qs al-Maidah/5:3).
Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid’ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red)
b. Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan rasulNya.
c. Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allâh Ta'ala dalam menghukumi manusia. Allâh berfirman, yang artinya,
“Apakah mereka mempunyai sembahan - sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ?” (Qs as-Syuura [42] : 21)
d. Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam karena yang pertama menuduh Beliau Shallallâhu 'Alaihi Wasallam tidak tahu syari’at dan kedua menuduh Beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang Beliau ketahui.
e. Kebid’ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari’at Allâh Ta'ala. Ini sangat dilarang oleh Allâh Ta'ala.
f. Kebid’ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allâh Ta'ala dalam firman-Nya, yang artinya,
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang berceraiberai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orangorang yang mendapat siksa yang berat," (Qs Ali Imrân [3] : 105)
dan dalam firman-Nya, yang artinya,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolonggolong, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, kemudian Allâh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (Qs al-An’âm [6] : 159)
g. Kebid’ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyariatkan. Para pembuat bid’ah itu, tidaklah membuat suatu kebid’ahan kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syariat yang sepadan dengannya.
Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Ta'ala.
Allâh Ta'ala berfirman,
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, “Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya. karuniaa Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (Qs Yûnus/10:57-58)
Dalam ayat lain Allâh Ta'ala berfirman, yang artinya,
“Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Qs Thaha [20] : 123)
Akhirnya saya memohon kepada Allâh Ta'ala agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita dan kepada saudara-saudara kita kaum Muslimin menuju shirâtul mustaqîm dan saya memohon kepada Allâh Ta'ala agar senantiasa menolong kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Maha Dermawan dan Maha Pemurah.
Dari sini jelaslah bagi kita, bid’ah atau perkara – perkara yang diada-adakan didalam agama ini sangatlah berbahaya. Dan semua amal khusus pada malam nisfu sya'ban baik itu puasa maupun shalat. adalah amalan yang baru yang tidak ada dasarnya didalam agama ini. Maka hendaklah seorang muslim, mengecek lagi amalan yang dia lakukan. Ada Dasarnya atau Tidak Didalam Agama ini…?
Sesungguhnya kita sudah dicukupkan dengan al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih. Tidak perlu lagi tambahan dan tidak perlu lagi pengurangan.
Kami nasehatkan kepada pembaca –semoga Allah merahmati dan menjaga kita untuk selalu berhati – hati terhadap bid’ah. Karena pelaku bid’ah tidak akan diterima tobatnya sampai dia meninggalkan bid’ah nya. Dan bid’ah itu lebih dicintai oleh Iblis daripada Maksiat. Kenapa…?
Karena orang yang melakukan maksiat, dia tahu bahwa yang dia lakukan itu adalah maksiat. Dan ada kemungkinan dia akan bertobat. Adapun orang yang melakukan bid’ah, dia menganggap amalan yang dia lakukan itu adalah baik dan disyariatkan. Padahal hal itu adalah perkara yang baru didalam agama. Maka dari itu, tobat nya tertunda sampai dia meninggalkan bid’ah itu, maka dari itu bid’ah itu lebih dicintai oleh Iblis daripada Maksiat. Maka perhatikan masalah ini wahai saudara ku semoga Allah merahmati mu dan menjaga mu dari Bid’ah dan Kesyirikan.
Perhatikan wahai saudara ku, firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini :
“Seandainya kalian mengikuti kebanyakan orang di muka bumi, sungguh mereka akan menyesatkan kalian dari jalan Allah (Qs:al An’aam :116)
Maka janganlah engkau beramal karena ikut – ikutan tanpa tau dasarnya. Karena engkau bias tersesat, tanpa engkau sadari. Semoga Allah merahmati mu. Akan tetapi ikutilah Apa yang Allah dan Rasulnya ajarkan kepada kita. Semoga Allah merahmati kita semua nya.
_________
FooteNote
[1] Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu’ Fatawa
beliau, 20/25-33
[2] HR Bukhâri, no. 1969 dan Muslim, no. 1156 dan 176
[3] HR Bukhâri, no. 1970
[4] HR Muslim, no. 1156 dan 176
[5] HR Ahmad, 5/201 dan Nasâ’i, 4/102
[6] HR Ibnu Mâjah, no. 1388
[Disalin dari majalah dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV]
Sumber :
http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=1&sk=messages&tid=409655048229
http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=1&sk=messages&tid=1503931514473
http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=1&sk=messages&tid=459193085766
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment