Oleh :Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah perbedaan antara riba dengan risywah (sogokan)? Apakah Islam menolak risywah (sogokan) dan bagaimana hukumnya dalam Islam.
Jawaban.
Pertama : Menurut bahasa, riba berati tambahan. Menurut syari’at, riba ini terbagi menjadi dua ; riba fadhl dan riba nasa’. Riba fadhl berarti menjual suatu makanan takaran dengan makanan takaran sejenis dengan memberi tambahan pada salah satunya, dan menjual barang timbangan dengan barang timbangan sejenis dengan adanya tambahan pada salah satunya, misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, dengan tambahan pada salah satunya. Sedangkan riba nasa’ adalah menjual makanan takaran dengan makanan takaran lainnya tanpa adanya penyerahan barang di tempat pelaksanaan akad, baik kedua barang itu sejenis maupun tidak. Dan menjual barang timbangan dengan barang timbangan lainnya baik itu emas atau perak, atau yang menggantikan posisi keduanya, tanpa adanya penyerahan di tempat pelaksanaan akad, baik satu jenis maupun tidak.
Pertanyaan.
Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta ditanya : Apakah perbedaan antara riba dengan risywah (sogokan)? Apakah Islam menolak risywah (sogokan) dan bagaimana hukumnya dalam Islam.
Jawaban.
Pertama : Menurut bahasa, riba berati tambahan. Menurut syari’at, riba ini terbagi menjadi dua ; riba fadhl dan riba nasa’. Riba fadhl berarti menjual suatu makanan takaran dengan makanan takaran sejenis dengan memberi tambahan pada salah satunya, dan menjual barang timbangan dengan barang timbangan sejenis dengan adanya tambahan pada salah satunya, misalnya emas dengan emas, perak dengan perak, dengan tambahan pada salah satunya. Sedangkan riba nasa’ adalah menjual makanan takaran dengan makanan takaran lainnya tanpa adanya penyerahan barang di tempat pelaksanaan akad, baik kedua barang itu sejenis maupun tidak. Dan menjual barang timbangan dengan barang timbangan lainnya baik itu emas atau perak, atau yang menggantikan posisi keduanya, tanpa adanya penyerahan di tempat pelaksanaan akad, baik satu jenis maupun tidak.
Kedua : Kami telah mengeluarkan fatwa mengenai risywah ini yang teksnya berbunyi:
Pertanyaan :
Kami pernah melakukan kontrak atas dasar upah, tanpa memperhitungkan bahwa upah itu kecil atau tertipu, tetapi kami menerima atau menyetujuinya. Namun setelah kami bekerja, kami merasa kaget, dimana para pemilik barang, orang-orang yang berurusan atau orang-orang yang diangkat mewakili mereka untuk menerima barang, membayar beberarpa riyal, yang tediri dari pecahan 5 riyal dan juga 10 riyal. Semua uang itu dibayarkan kepada kami melalui tiga cara :
[1], Uang yang kami terima setelah selesai keperluan dengan sempurna dengan hati senang, tanpa penundaan atau pemalsuan, penambahan atau pengurangan, atau pengutamaan seseorang atas yang lainnya.
[2]. Uang yang kami terima melali permintaan, baik langsung maupun dengan isyarat atau dengan berbagai macam cara lainnya yang dapat dipahami bahwa kami menginginkan sesuatu.
[3]. Uang yang kami terima sebagai hasil dari selesainya pekerjaan resmi yang ditentukan.
Berikut ini contoh untuk Anda : Pekerjaan kami selesai pada jam sembilan sore, sementara masih ada orang-orang yang berurusan atau pemilik barang yang ingin menerima barang mereka. Dia berkata, “Aku ingin kamu tetap tinggal bersama saya di sini agar saya dapat menerima barang saya, dan saya akan membayar waktu kamu yang telah saya sita untuk kepentingan saya, sehingga tidak ada mudharat yang menimpaku akibat dari penundaaan penerimaan barang ini dan membiarkannya sampai esok hari. Perlu diketahui bahwa kantor tempat kerja kami tidak keberatan atau menghalangi tindakan kami mengakhirkan waktu pulang bersama orang-orang yang berurusan.
Jawaban
Meminta uang, sedang anda sebagai pegawai negeri maupun swasta setelah selesai memenuhi kebutuhan para pemilik barang merupaka suatu yang tidak diperbolehkan, karena itu termasuk memakan harta dengan cara yang tidak benar. Di dalam hadits shahih telah ditegaskan bahwasanya ketika Ibnul Lutbiyyah mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana beliau telah mengutusnya sebagai amil zakat. Lalu dia berkata : “Ini untuk kalian, dan ini bagian saya”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, memanjatkan pujian dan sanjungan kepada Allah, kemudian bersabda.
“Amma ba’du. Sesungguhnya aku telah mempekerjakan seseorang diantara kalian untuk mengerjakan suatu tugas yang telah dikuasakan Allah padaku. Kemudian orang itu datang dan berkata, ‘Ini untuk kalian dan ini hadiah yang diberikan kepadaku’. Mengapa dia tidak duduk di rumah ayah dan ibunya saja sehingga hadiahnya itu datang kepadanya, jika dia memang benar ? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya melainkan dia akan menemui Allah dengan membawa beban pada hari Kiamat kelak. Dimana aku tidak akan pernah melihat seorangpun dari kalian menemui Allah dengan membawa unta yang memiliki leguhan, atau sapi yang meleguh, atau kambing yang mengembik. Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat warna putih kedua ketiak beliau. Beliau berkata, “Ya Allah, bukankah aku sudah menyampaikan?” [Muttafaq Alaih]
Sedangkan menerima uang dengan meminta secara langsung, dengan memberi isyarat atau semisalnya, maka perbuatan itu termasuk meminta sogokan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat orang yang menyogok dan disogok serta perantara keduanya.
Adapun menerima uang sebagai ganti keterlambatan pulang (lembur) bersama para pemilik barang untuk menyelesaikan urusan mereka, maka sesungguhnya pekerjaan itu tidak terikat pada diri anda dan tidak juga pada pemilik barang, tetapi tergantung pada penanggung jawabnya, yaitu resmi dan pihak yang memiliki hubungan yang telah mengangkat anda sebagai pegawai disana dengan gaji tertentu. Oleh karena itu, sebagai ganti keterlambatan anda pulang bersama pemilik barang tidak boleh menerima uang imbalan dari pemilik barang itu, tetapi anda boleh meminta kepada penanggung jawab sebagai upah pekerjaan tambahan untuk menyelesaikan urusan pemilik barang.
Dengan penjelasan tersebut tampak jelas bawha tiga sumber di atas yang darinya kalian bisa mengambil uang, merupakan sumber yang terlarang, di mana uang yang bersumber dari ketiga jalan tersebut haram. Oleh karena itu, wajib hukumnya menghindarkan diri dari uang tersebut, yaitu dengan mengembalikannya atau dengan menyedekahkannya kepada fakir miskin atau menyerahkan kepada lembaga-lembaga sosial.
Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabatnya.
[Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyah Wal Ifta, Pertanyaan ke-1 dari Fatwa Nomor 9374. Disalin dari Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daa-imah Lil Buhuuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pengumpul dan Penyusun Ahmad bin Abdurrazzaq Ad-Duwaisy, Terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i]
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment