KEUTAMAAN DAN MANFAAT WAKAF

Bookmark and Share


Oleh : Dafrizal Al Qathani

Segala Puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala yang memiliki seluruh pujian. Saya bersaksi tiada yang disembah dengan benar selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi Nabi Muhammad r  adalah hamba dan Rasul-Nya. Semoga shalawat dan salam terlimpahkan kepada beliau, keluarga, para sahabat dan orang-orang dyang mengikutinya sampai hari kiamat.

Secara etimologi, wakaf berasal dari “Waqf” yang berarti “al-Habs”. Merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan, berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359). Dalam pengertian hukum Islam wakaf adalah melepas kepemilikan atas harta yang dapat bermanfaat dengan tanpa mengurangi bendanya untuk diserahkan kepada perorangan atau kelompok (organisasi) agar dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang tidak bertentangan dengan syari’at.

Menurut  para  ulama  secara  umum  wakaf  dibagi  menjadi  dua  bagian:   
Wakaf  ahli  (khusus) : 
Wakaf  ahli  disebut  juga  wakaf  keluarga  atau  wakaf  khusus.  Maksud  wakaf  ahli  ialah  wakaf  yang  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu,  seorang  atau  terbilang,  baik  keluarga  wakif  maupun  orang  lain.  Misalnya,  seseorang  mewakafkan  buku-buku  yang  ada  di  perpustakaan  pribadinya  untuk  turunannya  yang  mampu  menggunakan.  Wakaf  semacam  ini  dipandang  sah  dan  yang  berhak  menikmati  harta  wakaf  itu  adalah  orang-orang  yang  ditunjuk  dalam  pernyataan  wakaf.  

Wakaf  khairi :
Wakaf  khairi  ialah  wakaf  yang  sejak  semula  ditujukan  untuk  kepentingan-kepentingan  umum  dan  tidak  ditujukan  kepada  orang-orang  tertentu.  Wakaf  khairi  inilah  yang  benar-benar  sejalan  dengan  amalan  wakaf  yang  amat  digembirakan  dalam  ajaran  Islam,  yang  dinyatakan  pahalanya  akan  terus  mengalir  hingga  wakif  meninggal  dunia,  selama  harta  masih  dapat  diambil  manfaatnya.

Menurut Al Qur’an
Secara umum tidak terdapat ayat al-Quran yang menerangkan konsep wakaf secara jelas.  Oleh karena wakaf termasuk Infaq Fi Sabilillah, maka dasar yang digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran yang menjelaskan tentang infaq fi sabilillah. Di antara ayat-ayat tersebut antara lain:
“Hai orang-orang yang beriman! Nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik, dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (Q.S. al-Baqarah (2): 267).

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian dari apa yang kamu cintai.” (Q.S. Ali Imran (3): 92).

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi sesiapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah (2): 261).

Ayat-ayat tersebut di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261 surat al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah. 

Menurut Hadis
Di antara hadis yang menjadi dasar dan dalil wakaf adalah hadis yang menceritakan tentang kisah Umar bin al-Khaththab  ketika memperoleh tanah di Khaibar. Setelah ia meminta petunjuk Nabi tentang tanah tersebut, Nabi  menganjurkan untuk menahan asal tanah dan menyedekahkan hasilnya.

Hadis tentang hal ini secara lengkap adalah; "Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhu, ia berkata : 'Bahwa sahabat Umar radhiallahu 'anhu memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar radhiallahu 'anhu menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta petunjuk. Umar berkata: "Hai Rasulullah , saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya). "kemudian Umar mensedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak di wariskan. Ibnu Umar berkata: "Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (Nadhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta" (HR. Muslim).

Imam At Tirmidzi berkata; “pengamalan hadis ini menurut para ulama dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, kami tidak mengetahui diatara seorang pun diatara para penghulu tersebut ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Dan ini merupakan wakaf pertama dalam islam”.

”Hadis lain yang menjelaskan wakaf adalah hadis yang diceritakan oleh imam Muslim dari Abu Hurairah. Nash hadis tersebut adalah; “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”(HR. Muslim 3/1255)

Para ulama menafsiri kalimat “shodaqoh jariyah” dalam hadits di atas dengan wakaf. Makna hadis; bahwasahnya amal mayit terputus dari perbaruan pahala baginya kecuali terkait tiga hal ini, karena ia termasuk usahanya. Anak dan ilmu yang ditinggalkannnya, demikian pula dengan sedekah jariyah, semuanya dari usahanya (Fiqus sunnah 5/533).

Ibnu Majah menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“sesungguhnya diantara yang dapat diikutkan seorang mukmin dari amal dan kebaikan-kebaikkannnya setelah dia mati adalah ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushaf Al Qur’an yang diwariskannya, masjid yang dibangunnya, rumah bagi mushafir yang dibangunnya, sungai yang dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkannya dari hartanya pada saat sehat dan hidupnya, menyertainya setelah dia mati.” (HR. Ibnu Majah 2/88)

Menurut Ijma’
Imam Al-Qurthuby berkata: Sesungguhnya permasalahan wakaf adalah ijma (sudah disepakati) diantara para sahabat Nabi; yang demikian karena Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Aisyah, Fathimah, Amr ibn Al-Ash, Ibnu Zubair, dan Jabir, seluruhnya mengamalkan syariat wakaf, dan wakaf-wakaf mereka, baik di Makkah maupun Madinah, sudah dikenal masyhur oleh khalayak ramai. (Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 6/339, Al-Mustadrah 4/200, Sunan Al-Daraquthny 4/200, Sunan Al-Baihaqy 6/160, Al-Muhalla 9/180).
Jabir berkata: Tiada seorangpun dari sahabat Nabi yang memiliki kemampuan dan kelapangan rizqi, kecuali pasti pernah mewakafkannya. (Lihat: Al-Mughni 8/185, Al-Zarkasyi 4/269).

Ibnu Hubairah berkata: Mereka sepakat atas dibolehkannya wakaf. (Lihat: Al-Ifshah 2/52).

Imam Syafii berkata: Telah sampai riwayat kepadaku bahwa ada 80 orang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang mengeluarkan shadaqah dengan shadaqah mulia. Imam Syafii menyebut wakaf dengan nama shadaqah mulia.

Imam Tirmidzi menyatakan: Wakaf telah diamalkan oleh para ulama, baik dari kalangan sahabat Nabi maupun yang lainnya, saya tidak melihat ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mutaqaddimin tentang bolehnya wakaf, baik wakaf tanah maupun wakaf yang lainnya.” (Lihat: Sunan Tirmidzi 5/13 setelah hadits no. 1375).

Imam Al-Baghawy berkata: Wakaf telah diamalkan oleh seluruh ulama, baik dari generasi sahabat, maupun orang setelah mereka, seperti ulama mutaqaddimin; mereka tidak berselisih pandangan tentang bolehnya wakaf tanah maupun wakaf harta-barang bergerak; para sahabat Muhajirin dan Anshar melakukan wakaf, baik di Madinah maupun di daerah lainnya; tidak ada riwayat satupun dari mereka yang mengingkari adanya syariat wakaf; bahkan tidak pernah ada dari mereka yang mencabut kembali wakafnya dengan alasan dirinya masih membutuhkannya.” (Lihat: Syarh Al-Sunnah 8/288).

Imam Ibn Hazm berkata: Seluruh sahabat Nabi, shadaqah-shadaqah mereka di kota Madinah lebih masyhur/terkenal daripada matahari, tidak ada seorang pun yang tidak mengetahuinya.” (Lihat: Al-Muhalla 9/180). (Sumber: Al-Auqaf fii Al-Ashr Al-Hadits, Kaifa Nuwajihuha lidda’mil Jami’at wa tanmiati mawaridiha

Kapan wakaf ditetapkan?
Wakaf ditetapkan bila orang yang mewakafkan melakukan apa yang menunjukkan  sebagai wakaf atau mengucapkan ungkapan yang bermakna wakaf, maka wakaf telah ditetapkan, denagan syarat orang yang mewakafklan termasuk orang yang sah tindakannya. Yaitu ia harus sehat akalnya, baligh, merdeka, dan atas inisiatif dirinya sendiri. Untuk dinyatakan sah, wakaf tidak membutuhkan penerimaan pihak yang diserahi wakaf. Jika wakaf telah ditetapkan, maka wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, tidak pula digunakan dengan apapun yang menghilangkan statusnya sebagai wakaf. Jika pewakaf meninggal dunia, maka wakaf tidak dapat dijadikan warisan darinya, karena ini merupakan konsekuensi dari wakaf, karena bersasarkan pada sabda Rasulullah r sebagai mana yang telah di paparkan pada terdahulu dalam hadis ibnu umar,”tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan”.

Apa saja yang sah diwakafkan dan apa yang tidak sah
Wakaf yang sah seperti rumah, perkakas yang dapat dipindahkan, mushaf Al-Qur’an, buku, senjata, dan hewan demikian pula setiap yang boleh dijual sah untuk diwakafkan, dan boleh diambil manfaatnya dengan ketentuan wujud barang yang yang diwakafkan tatap ada. Dan wakaf tidak sah bila berupa barang yang habis setelah digunakan, seperti uang (bila diwujudkan benda tak masalah), lilin, makanan dan minuman. Tidak pula barang yang cepat rusak dari jenis benda yang dicium dan beraroma, maka ia akan cepat habis. Wakaf juga dinyatakan tidak sah pula bila berupa barang yang tidak boleh dijual, seperti barang gadaian, anjing , babi, dan seluruh binatang buas yang tidak layak untuk berburu, dan burung-burung yang tidak dapat digunakan untuk berburu.

Berwakaf untuk orang yang sudah meninggal
Hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Aisyah Radhiyallahu Anha, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam , “ibuku meninggal dunia mendadak. Menurutku, jika ia sempat berbicara, pasti ia akan bersedekah. Jika aku bersedekah untuknya, apakah pahalanya akan sampai kepadanya?”beliau menjawab, sampai” (HR. Bukhari 1338 dan Muslim no 1004).
Dan juga hadis Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”(HR. Muslim 3/1255)
 
Hadis ini menunjukkan bolehnya bersedekah atas nama si mayat. Yakni ketika bersedekah, kita niatkan bahwa sedekah ini dari ibu kita atau ayah kita. Atau dari abang dan kakak. Atau dari mayat muslim manapun. Dan hal ini bermanfaat untuk simayat.

Dari hadis ini adalah anjuran bagi kita untuk bersedekah, dan disyariatkan atau bolehnya kita bersedekah bagi orang tua kita yang telah meninggal dunia. Alhamdulillah Allah ta’ala telah memberikan keda pada kita reski yang banyak, mungkin orang tua kita dulu belum pernah terpikir olehnya untuk wakaf, atau kondisi dia saat itu, dengan ekonomi yang pas-pasan, ketika kita telah diberikan nikmat dan reski yang lapang oleh Allah, maka jangan kita lupakan orang tua kita yang telah meninggal dunia. Berwakaflah atas nama mereka, sehingga setiap kali wakaf itu dimanfaatkan oleh orang lain maka akan mengalir pahala selalu baginya.

Kalau kita lihat kehidupan kita sehari-hari manusia selalu berlomba-lomba untuk mencaradi kemegahan dunia. Mereka berusaha untuk menanamkan infestasi yang banyak untuk masa depan yang akan diharapkannya. Ada mereka yang berdharap nantinya akan mendapatkan dengan santai apa yang dia tanam, ada dianataranya yang membangun gedung-gedung yang tinggi, ruko-ruko, dan ada yang membangun rumah petak, maka jika ia sewakan maka ia akan mendapatkan hasil, sementara ia hanya duduk dirumahnya.

Tidakkah kita berfikir untuk medlakukan infestasi untuk masa depan yang pasti, tidakkah kita mengingat firman Allah yang mengatakan: “hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah jiwa itu melihat apa yang telah ia siapkan untuk hari esok.....” karena kita tidak dapat menjamin kita akan hidup pada masa tua, karena hidup itu tiada yang tahu sampai kapan ia akan hidup. Akan tetapi dalam kehipan yang pasti yang akan kita lalui yaitu kehidupan akhirat sudah menjadi keharusan bagi kita untuk mengupayakannya semaksimal mungkin. Karena setiap amalan atau infestasi akhirat yang kita lakukan maka pahalanya akan berlipat ganda dan itu akan tetap mengalir terus, walaupun jasat kita telah punah. Amalan apa itu, adalah amalan wakaf. Karena amalannya sudah ditulis bagi orang yang melakukannya baik dia masih hidup didunia atau pun ia sudah meninggal dunia. Sebagai mana yang di sabdakan oleh Rasulullah r : “Apabila seorang manusia itu meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya kecuali dari tiga sumber, yaitu sedekah jariah (wakaf), ilmu pengetahuan yang bisa diambil manfaatnya,  dan anak soleh yang mendoakannya.”(HR. Muslim 3/1255)


PERSYARATAN WAKAF
Wakif (orang yang mewakafkan) boleh memberi persyaratan, sebagaimana disebutkan hadits dibawah ini:
Sahabat Ibnu Mas’ud berkata, Rasulullah bersabda :

الْمُسْلِمُ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
"Orang muslim tergantung persyaratannya". (HR Bukhari, kitab Al Ijarah )

Tetapi hendaknya, wakif tidak memberi persyaratan yang melanggar sunnah, atau persyaratan yang menyebabkan madharat, sebagaimana yang disebutkan oleh Abdullah bin Amr bin Auf, dari ayahnya, dari kakeknya , sesungguhnya Rasullah bersabda :

الصُّلْحُ جَائِزُ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ اِلاَّ صُلْحَا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُطِهِمْ اِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاًلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

"Damai itu di bolehkan sesama kaum muslimin, kecuali yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, seorang muslim menurut persyaratannya, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram". (HR Tirmidzi,no.1271.Hadits hasan shahih).

Aisyah berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَا بَالُ اُنَاسٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَاِنِ اشْتَرَطَ مَائِةَ شَرْط شَرْطُ الله أَحَقُّ وَأَوْثَقَ

"Mengapa manusia membuat syarat yang tidak tercantum di dalam kitab Allah, maka barang siapa yang membuat syarat yang tidak ada didalam kitab Allah, ia adalah bathil, sekalipun dengan seratus syarat. Syarat Allah lebih berhak dan lebih mantap". (HR Bukhari,2010).

Syaikh Abdullah Ali Bassam berkata : Ulama’ berbeda pendapat dalam memahami syarat di atas .
Pertama . Syaratnya batal, Bila menyelisihi Al Qur’an dan Sunnah.

Kedua. Selagi tidak ada larangan dalam yang mubah,maka berarti boleh. Dan karena boleh, berarti di syari’atkan di dalam Al Qur’an (Lihat kitab Taisirul Allam).

Syaikh Islam Ibnu Taimiyah, ketika ditanya tentang wakif yang mensyaratkan wakafnya untuk anaknya kemudian cucunya, kemudian anak cucunya sampai seterusnya, beliau menjawab: Bagiannya tadi berpindah untuk anaknya, bukan untuk saudaranya dan anak pamannya. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 31/ 100).
Jawaban Ibnu Taimiyah ini memberi penjelasan contoh persyaratan yang mubah. Adapun wakaf yang melanggar sunnah, Misalnya wakaf untuk gedung bioskop, wakaf untuk penyanyi, wakaf untuk menghalangi dakwah, wakaf untuk membantu kelancaran kesyirikan, menghancurkan sunnah dan lainnya, semua ini hukumnya haram.

WAKIF MENCABUT WAKAFNYA
Ulama’ berbeda pendapat apabila pewakaf mencabut wakafnya.

Abdullah bin Ali Bassam berkata : Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa harta wakaf boleh dijual dan dicabut. Pendapat ini adalah keliru.

Abu Yusuf berkata, jikalau Imam Abu Hanifah mendengar hadits Umar (sebagaimana diatas), Tentu dia akan mencabut erkataannya.

Sedangkan Imam Qurthubi berpendapat, mencabut wakaf adalah menyelisihi Ijma’. Kita tidak perlu memikirkan pendapat yang membolehkannya. (lihat kitab Taisirul Allam,2/252).

Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi berkata: Seharusnya wakif tidak mencabut wakafnya, apabila sebelumnya telah meletakkan syarat, kecuali apabila ia telah melihat barang wakafnya tidak dimanfaatkan, atau merasa diabaikan amanahnya; maka pewakaf boleh mencabut wakafnya. Selanjutnya jika yang disyaratkan , seperti muaddzin, Imam shalat, atau pengajar; jika dirasa kurang bermanfaat atau mereka meremehkan amanat yang dipikulkan kepadanya, maka wakif boleh menyelisihi persyaratannya. (lihat kitab Khasiyah Ibnu Abidin, 4/459).

Kesimpulannya, menurut asalnya, harta wakaf hukumnya tidak boleh dicabut kembali, kecuali bila tidak dimanfaatkan, atau diabaikan amanatnya, maka boleh mencabutnya untuk dialihkan yang lebih bermanfaat, Wallahu a’lam .

Saudaraku, di penghujung tulisan ini saya sampaikan, marilah kita benar-benar memperhatikan amalan kita. Amalan yang itu akan kita bawa di kehidupan yang kekal, yaitu kehidupan akhirat. Apa pun yang dapat kita lakukan, jika itu di redhai Allah, maka marilah kita lakukan. Salah satu dari itu adalah wakaf. Yang mana wakaf yang telah kita berikan dijalan Allah maka kebaikan-kebaikan nantinya yang akan kita peroleh, seperti yang sabdakan oleh Nabi:” Siapa yang mewakafkan kuda di jalan Allah karena iman dan mengharapkan ridha Allah, maka makanannya, kotorannya, dan kencingnya pada hari Kiamat merupakan kebikan-kebaikan yang berada dalam timbangan amalnya.” (HR. Bukhari 4/34)

Maroji'
1.    Fiqqus Sunnah Sayyid Sabiq
2.    Syarah Riyadus Shalihin, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin
3.    Ceramah ustadz Muhammad Elvi Syam,Lc, MA dengan judul keutamaan dan manfaat wakaf.
4.    Al-Auqaf fii Al-Ashr Al-Hadits, Kaifa Nuwajihuha lidda’mil Jami’at wa tanmiati mawaridiha, Dr. Khalid ibn Ali ibn Muhammad Al-Musyaiqih

Sumber : http://dafrizalpadang.blogspot.com/2010/10/keutamaan-dan-manfaat-wakaf.html

{ 0 comments... Views All / Send Comment! }

Post a Comment