5 tahun lalu, Indonesia terlahir sebagai negara merdeka dalam keadaan terkotak-kotak antara satu pulau dengan pulau lainnya. Mengingat, saat itu masyarakat dunia memberlakukan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie (TZMKO 1939), dimana lebar laut hanya sejauh tiga mil.
Batasan tersebut menjadikan beberapa perairan diantara pulau-pulau Indonesia sebagai perairan internasional. Laut Jawa misalnya, karena jarak antara Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan lebih dari tiga mil, maka Laut Jawa menjadi perairan internasional, dimana semua negara mempunyai hak untuk akses berlayar. Tentu saja, kondisi ini menyebabkan Indonesia sangat rawan terhadap ancaman dari luar. Khususnya kapal-kapal Belanda yang hilir-mudik memasuki perairan internasional diantara kepulauan Indonesia, karena masih berkeinginan untuk menancapkan kolonialisasinya di Indonesia.
Di tengah ancaman tersebut, pada 13 Desember 1957 pemerintah Indonesia mengumumkan suatu pendangan bangsa yang sangat berani, yaitu “Wawasan Nusantara” yang bersumber dari Deklarasi Djuanda. Keberanian tersebut tercermin dari isinya, yaitu: Pertama, mengusung konsep negara kepulauan yang memandang utuh wilayah Indonesia dengan tidak memperhatikan luas atau lebar bagian daratan. Kedua, menetapkan batas laut teritorial sejauh 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik yang terluar pada pulau-pulau Indonesia. Dengan kata lain, Deklarasi Djuanda adalah wujud keberanian para pemimpin bangsa saat itu untuk menentang sistem hukum internasional yang merugikan Indonesia sebagai negara kepulauan.
Oleh karena itu, Deklarasi Djuanda merupakan salah satu pilar utama dalam kesatuan negara dan bangsa Indonesia. Pilar Pertama, adalah Kesatuan Kejiwaan yang dinyatakan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pilar Kedua, adalah Kesatuan Kenegaraan yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Pilar ketiga, adalah Kesatuan Kewilayahan (darat, laut dan udara) yang diumumkan oleh Perdana Menteri Djuanda pada 13 Desember 1957 (Djalal, 2001).
Namun demikian, perjuangan para pemimpin di wilayah laut di masa lalu belum dioptimalkan oleh para pemimpin bangsa saat ini. Bahkan pembangunan kelautan terkesan dimarjinalkan dari kebijakan nasional yang lebih mementingkan daratan. Hal ini dicerminkan dengan kompleksitas permasalahan di wilayah laut, seperti masih maraknya illegal fishing, jasa pelayaran dikuasai asing, belum rampungnya batas maritim, kemiskinan masyarakat pesisir, dan konflik sektoral antara lembaga negara dalam pengelolaan laut.
Permasalahan tersebut diatas mencerminkan bahwa pembangunan kelautan Indonesia tanpa cetak biru. Oleh karena itu, di era pembangunan sekarang ini, diperlukan pedoman pembangunan kelautan Indonesia, melalui penyusunan kebijakan kelautan (ocean policy), tata pemerintahan kelautan (ocean governance) dan ekonomi kelautan (ocean economic). Ketiga dokumen ini adalah syarat mutlak untuk mengembalikan kejayaan bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Judul asli: Wawasan Nusantara di Era Kemerdekaan, Tanpa Wawasan di Era Pembangunan
Oleh: Akhmad Solihin
Artikel ini diikutsertakan dalam sayembara Cita-cita Proklamasi. Demi menjaga keaslian, artikel diterbitkan tanpa proses editing dari redaksi. Dalam beberapa kasus, Ranesi hanya mengubah judul untuk keperluan teknis. Isi dan format di luar tanggung jawab Ranesi. http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/betapa-percuma-deklarasi-djuanda |
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment