*oleh: Sarwono Jurusan Sosiologi-Antropologi FKIP UNS
A. PENDAHULUAN
Berbicara tentang wanita tidak terlepas dari penampilan fisiknya. Segala bentuk interpretasi dari tubuh wanita merupakan perbincangan yang tak pernah bertepi. Berbagai tema kerap muncul di setiap perdebatan. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Sebuah representasi lebih mudah diterima dalam masyarakat apabila telah ada sistem pemaknaannya. Pemaknaan mengenai citra kecantikan wanita, di dalam struktur sosial masyarakat berkembang melalui tataran nilai-nilai budaya yang telah dianut lama, seperti tradisi, adat, norma, nilai-nilai feodal dan sebagainya. Misalnya, dalam budaya jawa wanita dan kecantikan diibaratkan sebagai sekeping mata uang logam dengan dua sisi yang saling berdekatan. Ungkapan dan perlambangan mengenai kecantikan wanita, selalu mengacu pada hal yang bersifat feminitas dan keibuan. Wanita simbol pembawa keindahan yang mengandung makna kehalusan, keanggunan, kelembutan, dan lainnya. Kecantikan, sebagaimana keindahan, menjadi harmoni yang bermakna keseimbangan antara lahir dan batin.
Namun demikian, makana kecantikan sangat relatif serta beragam yang selalu mengalami gerak pergeseran bersamaan dengan perkembangan jaman jauh sebelumnya, pernah wanita ideal diidentikkan dengan tubuh yang gemuk dan berlekuk-lekuk layaknya wanita rumahan. Bentuk tubuh ideal pada masa tersebut adalah yang mampu mewakili citra kesuburan. Pernah pula figur-figur langsing semacam Marilyn Monroe atau Kacqueline Onassis menghiasi sampul-sampul majalah-majalah terkemuka dijamannya. Cantik juga pernah diidentikkan dengan figur wanita langsing dan tipis seperti sosok Twiggy, berpenampilan gadis usia belasan tahun, tomboy, rambut pendek seperti laki-laki, dan lebih kurus untuk wanita ukuran normal. Namun ada pula ketika wanita cantik diidentikkan dengan sosok semacam Pamela Anderson, Britney Spears, Cristina Aguilera atau yang lainnya yang belakangan ini makna kecantikan diakomodir oleh figur wanita era millennium.
Pergeseran makna cantik yang selalu berubah mengikuti perkembangan jaman, menunjukkan adanya perubahan konstruksi mengenai kecantikan itu sendiri. Sebagai bagian dari perlekatan konsep wanita ideal, industri media, dalam hal ini iklan-iklan di media massa, memiliki peran melalui lalu lintas pesan yang dikomunikasikannya kepada khalayak (wanita).
Jika meluangkan waktu mengamati iklan-iklan yang selalu muncul atau saat menyelingi acara sinetron di televisi, sebagian besar diantaranya hampir melulu dipatikan berisi iklan produk perawatan kecantikan untuk wanita. Dengan adanya citra kulit wanita yang dibentuk oleh industri, pada pertengahan tahun 80-an sampai awal 90-an, kulit yang kuning langsat masih menjadi daya jual produk-produk kecantikan di Indonesia. Namun kini, seiring munculnya produk sabun dan pemutih, citra wanita cantik yang mulai dikedepankan adalah citra wanita yang berkulit putih bersih. Kita perlu menyimak satu uraian berikut :
“Setelah sukses meluncurkan kampanye Lux Play with Beauty, kini produk sabun mandi Lux kembali meluncurkan kampanye bertema Lux White Glam Fest terkait dengan peluncuran varian baru sabun Lux yang dibuat khusus bagi mereka yang mendambakan kulit putih. Rangkaian produk Lux White GlamFest dilengkapi formulasi khusus yang terdiri dari White Mircroscrub, AHA, dan Fruit Essence. Ketiga kandungan formulasi tersebut akan membantu proses pengangkatan kulit mati, melembabkan kulit, serta memberi nutrisi pada kulit, sehingga kulit tampak sehat dan cerah.” (Iklan Lux GlamFest dalam kompas, 24 Agustus 2007).
Uraian diatas merupakan iklan pesona kecantikan dari sabun, Lux White GlamFest di surat kabar Kompas terbitan 24 Agustus 2007. Uraian tersebut merupakan salah satu produk kecantikan yang memberikan frame mengenai citra kecantikan wanita. Disitu bisa dilihat suatu bentuk narasi yang dipadukan dengan argumentative. Suatu cerita mengenai kemunculan produk baru setelah sukses dari produk sebelumnya, dengan adanya suatu pendapat disertai pembahasan logis dan diperkuat adanya fakta-fakta mengenai kandungan produk ini untuk diterima kebenarannya.
Kecenderungan seseorang untuk menemukan kekurangan pada dirinya adalah suatu hal yang sangat memungkinkan. Artinya, seseorang akan melihat dirinya serba kekurangan. Fenomena inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kalangan pembuat iklan untuk memasuki wilayah bawah sadar seseorang. Beberapa produk perawatan tubuh ditawarkan untuk mengeliminir kekurangan-kekurangan itu. Sehingga jika berbicara tentang tubuh perempuan, tidak terlepas dari perdebatan ragam rekayasa citra. Citra akan permaianan tubuh merupakan sebuah permainan yang rapi dan terancang amat baik. Dalam konteks ini, pembuat iklanlah yang menjadi dalang utama. Berbagai janji ditawarkan lewat iklan yang dirancang. Mulai dari pemaparan argumen, persuasi, hingga visual. Sebagai salah satu contoh adalah sedikit uraian di atas.
Dengan sedikit paparan di atas memunculkan pertanyaan bagaimana iklan produk-produk kecantikan seperti sabun tersebut mengintepretasikan pencitraan kecantikan wanita menurut versi mereka untuk menarik minat konsumen, sehingga melahirkan suatu frame pencitraan kecantikan pada masyarakat?
B. SABUN LUX, GIV, DAN PRODUK-PRODUK KECANTIKAN
Sekitar tahun 1970-an, di Italia membuat sabun mulai dianggap sebagai suatu bentuk perwujudan seni. Seabad kemudian muncul bangsa Spanyol sebagai pembuat sabun terkemuka di Eropa. Sedang Inggris baru memproduksi sabun 1200an. Secara berbarengan, Marseille, Genoa, Venice, Savona, menjadi pusat perdagangan sabun karena berlimpahnya minyak zaitun setempat serta soda mentah.
Akhir tahun 1700-an, kimiawan asal Perancis, Nicolas Le Blanc, menemukan senyawa larutan alkali yang dapat dibuat hanya dari garam meja biasa. Sabun pun menjadi mudah dibuat, dan sabun mulai terjangkau dari sisi harga bagi setiap orang. Di Amerika Utara, industri sabun lahir 1800-an. Pengusahanya mengumpulkan sisa-sisa lemak yang lalu dimasak di dalam panic besar. Selanjutnya adonan dituang dalam cetakan kayu. Setelah mengeras, sabun dipotong-potong, lalu dijual dari rumah ke rumah. Begitupun, baru abad ke-19, sabun menjadi barang biasa, bukan lagi barang mewah.
Sebagai contoh sabun Lux, yang diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1924. Saat yang sama, produk sabun kecantikan yang saat itu ada adalah buatan Perancis, yang diimpor dan dipasarkan dengan harga $2 per buah, dimana harga tersebut dianggap di luar batas harga yang harus dikonsumsi wanita secara umum. Lux hanya dihargai 10 sen per buah dan kemudian menjadi pesaing utama dalam bisnis sabun mandi kecantikan, yang memposisikan strategi positioning sebagai “sabun yang terbaik, yang dibuat dengan cara sebagaimana produk Perancis”. Hari ini Lux telah dijual di lebih dari 100 negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Lux ini merupakan bagian dari brand produk perusahaan Unilever. Beragam jenis produk telah dihasilkan Unilever selama beberapa tahun kebersamaannya dengan konsumen di Indonesia. Bersama dengan produk-produk lain yang telah pula dipasarkan dan dikenal masyarakat Indonesia, yakni Pepsodent, Sunsilk, Rinso, Organics, Dove, serta Lux sendiri, semua berada di bawah satu bendera Unilever Indonesia.
Demikian halnya dengan sabun mandi baik sabun padat atau batangan maupun sabun mandi cair dengan bermacam merek di pasaran yang dikenal masyarakat secara luas hingga kini. Revolusi dalam teknologi industri, terus melahirkan banyak produk baru sejalan dengan perubahan jaman dan tingkat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Setelah sebelumnya masyarakat hanya mengenal sabun mandi dalam bentuk padat atau batangan, sekitar tahun 90-an, berkat perkembangan teknologi mulai bermunculan nama produk-produk baru dari produk kecantikan dan sabun mandi berbentuk cair.
Saat ini konsumen telah dibanjiri oleh bermacam iklan produk yang hadir melalui televisi, radio, maupun media lainnya. Bermacam produk saling berlomba dalam melakukan penetrasi ruang bawah sadar konsumen dengan beragam trik persuasi komunikasi. Meruahnya informasi yang menyerbu benak konsumen menyebabkan kondisi over communicated, suatu keadaan dimana konsumen tidak mampu lagi bahkan untuk mengingat produk-produk yang ditawarkan. Hanya produk istimewa saja kiranya yang mampu mendapat perhatian pemirsa sebagian besar.
Fungsi periklanan sebagai salah satu unsure persuasi dalam mempengaruhi emosi konsumen, pada akhirnya menjadi pilihan utama dan menjadi sangat menonjol pearnnya tatkala menjaga keunggulan suatu produk di pasar. Terutama promosi suatu produk yang dilakukan produsen melalui bentuk iklan-iklan secara audio visual. Menyadari hal ini, produsen berantusias menggunakan jasa biro iklan. Maka, menjadi tugas yang berat bagi biro iklan untuk memperjuangkan misi suatu produk ketika dipasarkan ke masyarakat luas melalui sebuah iklan.
Lux dan Giv merupakan dua diantara sekian jumlah pemain dalam bisnis abun mandi di Indonesia. Persaingan bisnis industri sabun mandi, mengharuskan Lux dan Giv untuk dapat selalu menjaga stabilitas produknya di pasaran. Didorong oleh peta persaingan yang ketat, saat ini telah bermunculan beragam nama yang memainkan bisnis produk sabun mandi maupun produk-produk kecantikan wanita yang tidak lagi didominasi hanya oleh satu atau dua nama merek produk seperti halnya Lux. Sebut saja merek produk-produk kecantikan wanita lain, seperti Lifebouy, Biore, Oval, Pond’s, Shinzui, Ghaya, Citra, dan lain sebagainya.
Iklan sabun dan produk-produk kecantikan menawarkan perubahan warna kulit, terstruktur, dan sebagainya itu membuat wanita (calon konsumen yang melihat iklan) menjadi tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Kulit yang halus, putih, bersih, dan wangi adalah implan setiap wanita di Indonesia. Sehigga wanita Indonesia di-setting, sedemikian rupa untuk ikut menggunakan produk sabun supaya impian-impiannya tercapai.
Perkembangan iklan sabun dan produk-produk kecantikan tersebut, ternyata membawa pesan-pesan rasial. Mengapa demikian? Kita dapat melihat iklan sabun maupun produk-produk kecantikan di media cetak ataupun elektronik. Model-model dan bintang-bintang dalam iklan tersebut adalah kebanyakan wanita Indo. Sehingga warna kulit yang putih adalah tema yang muncul berulang-ulang untuk mendefinisikan kecantikan dan feminitas.
Seiring perkembangan iklan sabun dan produk-produk kecantikan, ia tidak lagi sekedar sebuah alat kosmetik yang hanya membersihkan tubuh. Lebih lanjut, tindakan membersihkan kulit atau mandi bukanlah semata-mata tindakan untuk mencapai kecantikan, karena kecantikan selalu dipresentasikan sebagai suatu keadaan yang hiperial. Sehingga menjadi cantik tidak cukup dengan hanya memiliki wajah cantik, tapi juga harus memiliki warna kulit putih, bahkan bagi orang kulit putih sendiri.
Doktrin yang dilontarkan oleh iklan sabun dan produk-produk kecantikan mengindikasikan bahwa hanya mereka berkulit putihlah yang cantik. Dengan ini, terdapat ketimpangan sosial dan rasial jika doktrin tersebut dibumikan di wilayah “bukan putih” Indonesia. (Dikutip dari b uku yang berjudul “Become White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabuni”. Karangan Prabamoro, Aquarini Priyatna. 2003).
Konsep “bukan putih” memang tidak cocok jika dijelaskan di Indonesia, karena orang Indonesia sendiri dilihat dari ras Malayan Mongoloid memiliki kulit tidak puith dan tidak hitam (seperti konsep dikotomi hitam dan putih di barat). Mereka menyebut kulit mereka terang atau sawo matang. Sehingga bias dikatakan bahwa orang Indonesia masuk ke dalam kategori campuran. Dalam artian dia berada pada rentang dikotomi hitam atau putih itu.
C. CITRA KECANTIKAN WANITA DALAM IKLAN SABUN LUX, GIV, MAUPUN PRODUK-PRODUK KECANTIKAN LAIN
Kehidupan manusia tak lepas dari bagaimana cara mereka berkomunikasi dalam menjalin hubungan dan berinteraksi sosial, untuk dapat saling mempengaruhi dengan cara mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Kegiatan berkomunikasi adalah suatu proses pernyataan antar sesama manusia atau inter personal. Yang dinyatakannya adalah pikiran atau perasaan (atau pula ide) dengan menggunakan bahasa sebagai sarana penyalurnya(Sakti, 2004:11).
Di dalam study komunikasi, kita mengenal adanya beberapa elemen penting dalam komunikasi secara umum. Elemen-elemen tersebut adalah komunikator, pesan, media, serta komunikan (Onong Uchjana Effendy, 1993:256). Komunikator adalah subjek yang melakukan proses encoding dalam suatu pesan, kemudian pesan melalui sarana media ditransmisikan kepada komunikan yang kemudian melakukan proses decoding dalam upaya memahami dan memaknai isi pesan. Agar komunikasi dapat berlangsung secara efektif, gagasan, ide, maupun opini, akan di-encode atau diterjemahkan menjadi pesan yang dapat dimengerti oleh pihak lain, dalam hal ini komunikan. Meng-encode berarti merubah suatu makna ke dalam simbol atau kode oleh komunikator. Kemudian pesan yang dikirim, oleh komunikan kan di-incode yang merupakan fase penterjemahan pesan yang diterima ke dalam suatu makna yang ditafsirkan. Setelah proses ini, komunikan memberikan feedback kepada komunikator, yang dapat berupa perubahan kognitif, sikap maupun perilaku. Jadi, proses komunikasi terjadi bila ada pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan.
Pesan menurut bentuknya dibedakan atas: pesan verbal sebagai pesan linguistik (pesan dalam bentuk kata dan kalimat) dan pesan non verbal yang meliputi pesan paralinguistik (pengucapan kata-kata dan kalimat dengan cara tertentu yang memberikan maksud tertentu) dan pesan ekstralinguistik (bahasa dalam bentuk symbol atau isyarat). Sedangkan pesan dilihat dari aspeknya, adalah terdiri dari : isi pesan dan lambang. Isi pesan adalah pikiran atau perasaan, sedang lambing adalah bahasa yang digunakan. Isi pesan terbagi menjadi dua jenis, yang bersifat laten, yakni pesan yang melatar belakangi sebuah pesan dan pesan bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak secara tersurat (Sakti, 2004: 15).
Iklan pada hakikatnya dipandang sebagai suatu bentuk fenomena komunikasi. Hal ini bisa dicermati dari definisi iklan yang dikemukakan oleh Arens dalam Ratna Noviani (2002 : 23), bahwa :
“Iklan adalah struktur informasi dan susunan komunikasi non personal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa, gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media.”
Dari definisi di atas, jelas bahwa iklan memiliki fungsi utama menyampaikan informasi tentang suatu produk kepada massa. Ia menjadi penyampai informasi yang sangat terstruktur, yang menggunakan elemen-elemen verbal maupun nonverbal. Dalam menjalankan misinya, iklan memiliki berbagai gaya, baik dalam penyajian maupun isi iklan itu sendiri. Karena berhubungan erat dengan tujuan menginformasikan sesuatu hal kepada khalayak, iklan tidak lepas dari sisi fungsi komunikasi dimana ada dua fungsi yang saling berkaitan, yaitu fungsi informasional dan transformasional. Melalui fungsi informasional, iklan memberitahukan kepada masyarakat tentang karakteristik suatu produk. Sedangkan fungsi transformasional, iklan berusaha untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses, dan sebagainya (Robert W. Pollay dalam Ratna Noviani, 2002 : 25).
Kaitannya mengenai interpretasi dalam iklan sabun Lux, Giv, maupun produk-produk kecantikan lain. Produk-produk ini memiliki fungsi utama menyampaikan informasi kepada khalayak ramai (massa) melalui media cetak maupun elektronik untuk menggunakannya. Dalam menyampaikan informasi melalui elemen-elemen verbal yaitu seperti sedikit uraian di depan, bahwasannya sabun Lux telah meluncurkan produk baru. Di situ bisa dilihat suatu bahasa tulisan berbentuk narasi, dalam tulisan tersebut menerangkan kemunculan produk baru dari Lux, setelah sebelumnya sukses meluncurkan produknya di pasaran. Ini juga disertai argumentasi sebagai produk tersebut dengan memaparkan kandungan-kandungan yang terdapat dalam sabun Lux yang disertai dengan manfaatnya. Dalam iklan tersebut pada dasarnya bersifat persuasive secara implisit, tidak lain dan tidak bukan dengan uraian panjang lebar dapat memberikan anjuran untuk memakai produk ini. Iklan tersebut dengan menginterpretasikan suatu produk baru dan kandungan-kandungannya dapat memberikan frame dan gambaran kepada masyarakat bahwa memakai produk tersebut akan menghasilkan dampak yang positif yaitu kecantikan menurut versi dalam iklan. Dalam contoh dalam iklan sabun Lux di atas juga terdapat dua fungsi yang saling berkaiatn untuk tujuan menginformasikan suatu hal. Fungsi tersebut adalah fungsi informasional, dan fungsi transformasional. Fungsi informasional yang dapat diamati dari iklan tersebut adalah adanya karakteristik bahwa dalam sabun Lux terdapat kandungan-kandungan tertentu yang dapat memberikan dampak pada kecantikan. Fungsi transformasional dapat dilihat dimana usaha iklan tersebut membentuk sikap pada konsumen yaitu dengan argumen-argumen seperti di atas. Sehingga menimbulkan sikap pada massa untuk memakainya.
Bagi para pengiklan dan kreator iklan, penyampaian pesan secara efektif dapat dicapai melalui penyampaian sisi imagistic, yakni simbolisasi suatu produk yang merupakan suatu cara untuk membantu khalayak dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan dibutuhkan. Simbolisasi produk dalam iklan merupakan sebuah bentuk penyampaian kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat dimana iklan tersebut berada (Andrew Wernick dalam Ratna Noviani, 2002:25). Iklan merupakan hasil empati yang dilakukan terhadap masyarakat dimana iklan tersebut dieksekusikan. Empati disini berarti iklan menggunakan preferensi-preferensi masyarakat, juga keinginan-keinginan dan kebutuhannya, kemudian diterjemahkan, dipresentasikan ke dalam bahasa khusus iklan.
Tentang simbolisme iklan, dapat dijabarkan dalam tiga jenis (Leiss William dalam
- Citra visual atau image, yang bias berupa representasi verbal maupun visual.
- Ikon, yang sering disamakan aspek pictorial citra. Ikon mengacu pada iklan yang elemen-elemen pictorial atau visualnya mendominasi pesan secara keseluruhan.
- Simbol, tanda tentang sesuatu yang bisa dilihat dan keberadaannya mengacu pada sesuatu yang lain.
Akan tetapi dalam iklan sabun Lux, Giv, maupun produk-produk kecantikan lain tidak menyampaikan kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat. Dimana realitas yang dipresentasikan dalam iklan menggunakan pencitraan dan simbolisasi makna, yang melepaskan diri dari konteks sosial budaya mayarakat dimana iklan tersebut berada. Jadi disini sangatlah bertolak belakang dengan ungkapan. Andrew Wernick dalam Ratna Noviani (2002:25) di atas. Seperti iklan sabun di majalah Kartini (Januari 2002:14-15) dalam Aquarini Priyatna Prabasmoro (2003) adanya representasi selebriti perempuan indo disana. Dalam majalah tersebut menggambarkan dua sosok perempuan yang saling bersanding di bagian kepala masing-masing. Rambut keduanya saling bersentuhan satu sama lain. Dua sosok itu (kedua-duanya) adalah Tamara Bleszinsky. Namun yang unik dua sosok tersebut ditampilkan dengan gaya dan sudut pandang yang berbeda dalam memaknai feminitas.
Sosok pertama menggambarkan Tamara sebagai seorang gadis belia baik-baik, dan sosok kedua sebagai perempuan dewasa yang seduktif atau secara seksual menarik. Citra perempuan yang baik-baik tersebut menampilkan potret klasik perempuan baik-baik dengan lesung pipi yang bersahabat. Dengan bandana dirambutnya, seakan-akan menambah kesan bahwa Tamara (pada sosok pertama) adalah gadis belia yang baik-baik (dalam konteks ke-Indonesia-an). Sedangkan sosok kedua, Tamara ditonjolkan sebagai perempuan dewasa yang sadar akan kecantikannya di balik busana malam berwarna hitam.
Kedua citra tersebut menampilkan kesan yang saling berlawanan. Perempuan baik-baik menampilkan senyum malu-malu dan kemudian, sementara perempuan dewasa digambarkan sebagai sosok penggoda. Terlepas dari kedua citra itu, konsep putih tetap dijadikan komoditas utama yang hendak dijual oleh iklan sabun. Kedua sosok tersebut memiliki kulit yang sama-sama putih dan bersih walaupun dibalik balutan busana yang sama sekali berbeda.
Meskipun seolah-olah ada perbedaan atas kedua citra itu, Tamara dikonstruksi sebagai perempuan muda kulit putih yang menjadi subjek, universal untuk mewakili semua perempuan baik-baik. Ia sebagai penumbuh aspek alamiah, dan pada saat yang sama ia juga menubuhi tuntutan cultural atas perempuan. Dari sini jelas bahwa Lux, menjadi perempuan berarti alamiah dan pada saat yang sama ia juga harus berbudaya dengan slogan “memahami wanita apa adanya”.
Seperti dikutip dari Nurdin (1997:36) bahwa anehnya iklan-iklan yang mampu menampilkan atribut fisik wanita itulah yang justru menarik perhatian. Sedangkan iklan yang hanya “membungkus” wanita apa adanya kurang diminati. Dan dampaknya membuat barang itu kurang laku di pasaran. Ini artinya pula, wanita menjadi penentu efektivitas pesan yang ditawarkan.
Iklan yang dibalut citra wanita indo ini juga ada pada iklan GIV dari majalah Kartini (31 Agustus – 13 September 2001 : 26 – 27) dalam Prabasmoro, Aquarini Priyatna (2003) yang terdiri dari dua gambar. Gambar pertama adalah sosok Sophia Latjuba yang berbaring tengkurap dengan balutan gaun putih. Sedangkan gambar kedua adalah Sophia sedang memeluk anaknya, Eva. Seperti pada iklan Lux, gagasan tentang kebersihan dan ke-putih-an juga mendominasi iklan ini. Pengguna warna puith dan kesan memancar berhasil memberikan kesan putih secara holistik.
Yang berbeda dari Lux dalam iklan ini dalah bahwa kecantikan Sophia yang alami tidak mengharuskan seseorang harus menjadi inosen atau bahkan menggoda. Tapi, justru hanya dengan menjadi wanita dewasa “yang tahu kapan memanjakan diri” mengimplikasi bahwa sesungguhnya target konsumen GIV adalah kalangan perempuan menengah ke bawah, dimana mereka dikelilingi berbagai kesibukan dan aktivitas domestik, misalnya menyiapkan dan menyajikan makanan, mencuci, membersihkan, atau menjalankan fungsi reproduksi. Seperti mengurusi anak, menyusui dan sebagainya. Karena itu, waktu mandi adalah waktu yang tepat untuk memanjakan diri dan menyendiri setelah “capek” melakukan aktivitasnya.
Hal yang bertolak belakang dengan ungkapan Andrew Wernick dalam Ratna Noviani di atas adalah, baik Tamara maupun Sophia, keduanya direpresentasikan sebagai sosok perempuan ideal yang diimpikan oleh semua perempuan. Namun, tubuh mereka yang indo mempunyai unsur lokal yang mengglobal. Disinilah peran iklan bermain. Memakai Tamara dan Sophia sebagai “ras indo” menjadi semacam pilihan yang tepat untuk “membaratkan” perempuan Indonesia. Denagn menggunakan teknologi fotografis, ke-putih-an mereka dieksploitasi secara maksimum untuk merepresentasikan perempuan kulit putih barat yang modern. Sehingga ini bertolak belakang dengan ungkapan penyampaian pesan efektif dapat dicapai melalui penyampaian sisi imagistic menurut Andrew di atas.
Nurudin (1997:11) mengungkapkan bahwa masyarakat kita memiliki pola pikir, rasa dan penilaian berdasarkan apa yang pernah mereka lihat di televisi. Dalam menilai komunitas dirinyapun, televisi dijadikan referensi utama. Artinya, apa yang sesuai dengan televisi dianggapnya baik dan apa yang tidak sesuai dengan televisi dianggapnya tidak baik. Dengan ini jelas bahwa masyarakat Indonesia mudah terpengaruh oleh apa yang terpampang di media. Sehingga melahirkan suatu frame pada masyarakat sesuai representasi citra kecantikan wanita dalam iklan sabun Lux, GIV, maupun produk-produk kecantikan lain. Konsep universal yang diusung iklan tersebut menjadikan putih adalah segalanya, disamping adanya penjelasan bahwa putih adalah gabungan dari warna-warna selebriti indo yang membintangi, kulit putihnya, ditekankan sedemikian, sehingga ke-putih-an mereka menutupi warna lain (dalam iklan), ke-putih-an mereka dalam iklan itu diterima sebagai sesuatu yang alamiah.
D. KESIMPULAN
Saat ini masyarakat (khususnya wanita) dibanjiri bermacam iklan produk yang hadir melalui televisi, radio, maupun media lainnya. Bermacam produk saling berlomba dalam melakukan penetrasi ruang bawah sadar masyarakat dengan beragam trik persuasi, sabun Lux, GIV, maupun produk-produk kecantikan merupakan produk-produk yang membanjiri iklan dengan menawarkan perubahan warna kulit, terstruktur, dan sebagainya itu membuat wanita (calon konsumen yang melihat iklan) menjadi tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Iklan produk tersebut dengan bentuk penawaran yang sedemikian rupa memberikan pencitraan tersendiri dalam membentuk suatu frame dalam masyarakat.
Konsep Andrew Wirnick dalam Ratna Noviani (2002:25) memberikan wacana mengenai pesan iklan yang efektif bagi para pengiklan dan kreator iklan melalui penyampaian sisi imagistic, yani simbolisasi suatu produk yang merupakan suatu cara untuk membantu khalayak dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan dibutuhkan. Simbolisasi produk dalam iklan merupakan sebuah bentuk penyampaian kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan realitanya citra dalam iklan sabun Lux, GIV, dan penyampaian dalam iklan produk-produk tersebut mengindikasikan bahwa hanya mereka yang berkulit putihlah yang cantik, dengan kebanyakan menggunakan representasi selebriti wanita indo. Ini tidak menyampaikan kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat dimana iklan tersebut berada. Dengan terdapat ketimpangan sosial dan rasial jika dibumikan di wilayah “bukan putih” Indonesia. Dimana Indonesia sendiri dilihat dari ras memiliki kulit tidak hitam dan tidak putih (sawo matang). Sehingga memberikan frame pada masyarakat bahwa citra cantik adalah berkulit putih.
Apabila ini dikaitkan dengan cultural studies dalam televisi, teks, dan penonton, bahwa iklan sabun Lux, GIV, maupun produk-produk kecantikan lain mengandung unsur hegemonik, yang dimenangkan dan bukan diterima, lebih jauh lagi, diperlukan terus menerus dimenangkan ulang dan dinegosiasikan ulang, menjadi kebudayaan sebagai lahan konflik. Fokus dan representasi perempuan telah diupayakan sebelumnya oleh sejumlah penulis feminis terhadap opera sabun karena sering kali dikatakan bahwa opera sabun adalah suatu ruang perempuan dimana motivasi perempuan disahkan dan dirayakan. Dalam operasi sabun suatu bentuk global berdasarkan dua alasan: ia adalah cara bernarasi yang diproduksi di berbagai negara di seluruh dunia, dan ini adalah salah satu bentuk acara televisi yang paling banyak diekspor dan ditonton di berbagai konteks budaya. Daya tarik global opera sabun pada akhirnya dapat diletakkan pada daya tarik universal berupa bentuk narasi dengan akhir mengambang, sentralitas personal dan hubungan kekerabatan, dan dalam beberapa hal kemunculan gaya internasional yang melekat pada tradisi Hollywood.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies : Theory and Practice. London : Routledge Publishing.
Efendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti.
Noviana, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nurudin. 1997. Televisi Agama Baru Masyarakat Modern. Malan; UMM Press.
Ollenburger, Jane C. 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta:Rineka Cipta.
Sakti, Denny Hartawan. 2004. Kecantikan Wanita dalam Iklan. Surakarta: UNS.
Sumber : http://artikel.staff.uns.ac.id
A. PENDAHULUAN
Berbicara tentang wanita tidak terlepas dari penampilan fisiknya. Segala bentuk interpretasi dari tubuh wanita merupakan perbincangan yang tak pernah bertepi. Berbagai tema kerap muncul di setiap perdebatan. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Sebuah representasi lebih mudah diterima dalam masyarakat apabila telah ada sistem pemaknaannya. Pemaknaan mengenai citra kecantikan wanita, di dalam struktur sosial masyarakat berkembang melalui tataran nilai-nilai budaya yang telah dianut lama, seperti tradisi, adat, norma, nilai-nilai feodal dan sebagainya. Misalnya, dalam budaya jawa wanita dan kecantikan diibaratkan sebagai sekeping mata uang logam dengan dua sisi yang saling berdekatan. Ungkapan dan perlambangan mengenai kecantikan wanita, selalu mengacu pada hal yang bersifat feminitas dan keibuan. Wanita simbol pembawa keindahan yang mengandung makna kehalusan, keanggunan, kelembutan, dan lainnya. Kecantikan, sebagaimana keindahan, menjadi harmoni yang bermakna keseimbangan antara lahir dan batin.
Namun demikian, makana kecantikan sangat relatif serta beragam yang selalu mengalami gerak pergeseran bersamaan dengan perkembangan jaman jauh sebelumnya, pernah wanita ideal diidentikkan dengan tubuh yang gemuk dan berlekuk-lekuk layaknya wanita rumahan. Bentuk tubuh ideal pada masa tersebut adalah yang mampu mewakili citra kesuburan. Pernah pula figur-figur langsing semacam Marilyn Monroe atau Kacqueline Onassis menghiasi sampul-sampul majalah-majalah terkemuka dijamannya. Cantik juga pernah diidentikkan dengan figur wanita langsing dan tipis seperti sosok Twiggy, berpenampilan gadis usia belasan tahun, tomboy, rambut pendek seperti laki-laki, dan lebih kurus untuk wanita ukuran normal. Namun ada pula ketika wanita cantik diidentikkan dengan sosok semacam Pamela Anderson, Britney Spears, Cristina Aguilera atau yang lainnya yang belakangan ini makna kecantikan diakomodir oleh figur wanita era millennium.
Pergeseran makna cantik yang selalu berubah mengikuti perkembangan jaman, menunjukkan adanya perubahan konstruksi mengenai kecantikan itu sendiri. Sebagai bagian dari perlekatan konsep wanita ideal, industri media, dalam hal ini iklan-iklan di media massa, memiliki peran melalui lalu lintas pesan yang dikomunikasikannya kepada khalayak (wanita).
Jika meluangkan waktu mengamati iklan-iklan yang selalu muncul atau saat menyelingi acara sinetron di televisi, sebagian besar diantaranya hampir melulu dipatikan berisi iklan produk perawatan kecantikan untuk wanita. Dengan adanya citra kulit wanita yang dibentuk oleh industri, pada pertengahan tahun 80-an sampai awal 90-an, kulit yang kuning langsat masih menjadi daya jual produk-produk kecantikan di Indonesia. Namun kini, seiring munculnya produk sabun dan pemutih, citra wanita cantik yang mulai dikedepankan adalah citra wanita yang berkulit putih bersih. Kita perlu menyimak satu uraian berikut :
“Setelah sukses meluncurkan kampanye Lux Play with Beauty, kini produk sabun mandi Lux kembali meluncurkan kampanye bertema Lux White Glam Fest terkait dengan peluncuran varian baru sabun Lux yang dibuat khusus bagi mereka yang mendambakan kulit putih. Rangkaian produk Lux White GlamFest dilengkapi formulasi khusus yang terdiri dari White Mircroscrub, AHA, dan Fruit Essence. Ketiga kandungan formulasi tersebut akan membantu proses pengangkatan kulit mati, melembabkan kulit, serta memberi nutrisi pada kulit, sehingga kulit tampak sehat dan cerah.” (Iklan Lux GlamFest dalam kompas, 24 Agustus 2007).
Uraian diatas merupakan iklan pesona kecantikan dari sabun, Lux White GlamFest di surat kabar Kompas terbitan 24 Agustus 2007. Uraian tersebut merupakan salah satu produk kecantikan yang memberikan frame mengenai citra kecantikan wanita. Disitu bisa dilihat suatu bentuk narasi yang dipadukan dengan argumentative. Suatu cerita mengenai kemunculan produk baru setelah sukses dari produk sebelumnya, dengan adanya suatu pendapat disertai pembahasan logis dan diperkuat adanya fakta-fakta mengenai kandungan produk ini untuk diterima kebenarannya.
Kecenderungan seseorang untuk menemukan kekurangan pada dirinya adalah suatu hal yang sangat memungkinkan. Artinya, seseorang akan melihat dirinya serba kekurangan. Fenomena inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kalangan pembuat iklan untuk memasuki wilayah bawah sadar seseorang. Beberapa produk perawatan tubuh ditawarkan untuk mengeliminir kekurangan-kekurangan itu. Sehingga jika berbicara tentang tubuh perempuan, tidak terlepas dari perdebatan ragam rekayasa citra. Citra akan permaianan tubuh merupakan sebuah permainan yang rapi dan terancang amat baik. Dalam konteks ini, pembuat iklanlah yang menjadi dalang utama. Berbagai janji ditawarkan lewat iklan yang dirancang. Mulai dari pemaparan argumen, persuasi, hingga visual. Sebagai salah satu contoh adalah sedikit uraian di atas.
Dengan sedikit paparan di atas memunculkan pertanyaan bagaimana iklan produk-produk kecantikan seperti sabun tersebut mengintepretasikan pencitraan kecantikan wanita menurut versi mereka untuk menarik minat konsumen, sehingga melahirkan suatu frame pencitraan kecantikan pada masyarakat?
B. SABUN LUX, GIV, DAN PRODUK-PRODUK KECANTIKAN
Sekitar tahun 1970-an, di Italia membuat sabun mulai dianggap sebagai suatu bentuk perwujudan seni. Seabad kemudian muncul bangsa Spanyol sebagai pembuat sabun terkemuka di Eropa. Sedang Inggris baru memproduksi sabun 1200an. Secara berbarengan, Marseille, Genoa, Venice, Savona, menjadi pusat perdagangan sabun karena berlimpahnya minyak zaitun setempat serta soda mentah.
Akhir tahun 1700-an, kimiawan asal Perancis, Nicolas Le Blanc, menemukan senyawa larutan alkali yang dapat dibuat hanya dari garam meja biasa. Sabun pun menjadi mudah dibuat, dan sabun mulai terjangkau dari sisi harga bagi setiap orang. Di Amerika Utara, industri sabun lahir 1800-an. Pengusahanya mengumpulkan sisa-sisa lemak yang lalu dimasak di dalam panic besar. Selanjutnya adonan dituang dalam cetakan kayu. Setelah mengeras, sabun dipotong-potong, lalu dijual dari rumah ke rumah. Begitupun, baru abad ke-19, sabun menjadi barang biasa, bukan lagi barang mewah.
Sebagai contoh sabun Lux, yang diluncurkan pertama kali di Amerika Serikat tahun 1924. Saat yang sama, produk sabun kecantikan yang saat itu ada adalah buatan Perancis, yang diimpor dan dipasarkan dengan harga $2 per buah, dimana harga tersebut dianggap di luar batas harga yang harus dikonsumsi wanita secara umum. Lux hanya dihargai 10 sen per buah dan kemudian menjadi pesaing utama dalam bisnis sabun mandi kecantikan, yang memposisikan strategi positioning sebagai “sabun yang terbaik, yang dibuat dengan cara sebagaimana produk Perancis”. Hari ini Lux telah dijual di lebih dari 100 negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Lux ini merupakan bagian dari brand produk perusahaan Unilever. Beragam jenis produk telah dihasilkan Unilever selama beberapa tahun kebersamaannya dengan konsumen di Indonesia. Bersama dengan produk-produk lain yang telah pula dipasarkan dan dikenal masyarakat Indonesia, yakni Pepsodent, Sunsilk, Rinso, Organics, Dove, serta Lux sendiri, semua berada di bawah satu bendera Unilever Indonesia.
Demikian halnya dengan sabun mandi baik sabun padat atau batangan maupun sabun mandi cair dengan bermacam merek di pasaran yang dikenal masyarakat secara luas hingga kini. Revolusi dalam teknologi industri, terus melahirkan banyak produk baru sejalan dengan perubahan jaman dan tingkat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Setelah sebelumnya masyarakat hanya mengenal sabun mandi dalam bentuk padat atau batangan, sekitar tahun 90-an, berkat perkembangan teknologi mulai bermunculan nama produk-produk baru dari produk kecantikan dan sabun mandi berbentuk cair.
Saat ini konsumen telah dibanjiri oleh bermacam iklan produk yang hadir melalui televisi, radio, maupun media lainnya. Bermacam produk saling berlomba dalam melakukan penetrasi ruang bawah sadar konsumen dengan beragam trik persuasi komunikasi. Meruahnya informasi yang menyerbu benak konsumen menyebabkan kondisi over communicated, suatu keadaan dimana konsumen tidak mampu lagi bahkan untuk mengingat produk-produk yang ditawarkan. Hanya produk istimewa saja kiranya yang mampu mendapat perhatian pemirsa sebagian besar.
Fungsi periklanan sebagai salah satu unsure persuasi dalam mempengaruhi emosi konsumen, pada akhirnya menjadi pilihan utama dan menjadi sangat menonjol pearnnya tatkala menjaga keunggulan suatu produk di pasar. Terutama promosi suatu produk yang dilakukan produsen melalui bentuk iklan-iklan secara audio visual. Menyadari hal ini, produsen berantusias menggunakan jasa biro iklan. Maka, menjadi tugas yang berat bagi biro iklan untuk memperjuangkan misi suatu produk ketika dipasarkan ke masyarakat luas melalui sebuah iklan.
Lux dan Giv merupakan dua diantara sekian jumlah pemain dalam bisnis abun mandi di Indonesia. Persaingan bisnis industri sabun mandi, mengharuskan Lux dan Giv untuk dapat selalu menjaga stabilitas produknya di pasaran. Didorong oleh peta persaingan yang ketat, saat ini telah bermunculan beragam nama yang memainkan bisnis produk sabun mandi maupun produk-produk kecantikan wanita yang tidak lagi didominasi hanya oleh satu atau dua nama merek produk seperti halnya Lux. Sebut saja merek produk-produk kecantikan wanita lain, seperti Lifebouy, Biore, Oval, Pond’s, Shinzui, Ghaya, Citra, dan lain sebagainya.
Iklan sabun dan produk-produk kecantikan menawarkan perubahan warna kulit, terstruktur, dan sebagainya itu membuat wanita (calon konsumen yang melihat iklan) menjadi tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Kulit yang halus, putih, bersih, dan wangi adalah implan setiap wanita di Indonesia. Sehigga wanita Indonesia di-setting, sedemikian rupa untuk ikut menggunakan produk sabun supaya impian-impiannya tercapai.
Perkembangan iklan sabun dan produk-produk kecantikan tersebut, ternyata membawa pesan-pesan rasial. Mengapa demikian? Kita dapat melihat iklan sabun maupun produk-produk kecantikan di media cetak ataupun elektronik. Model-model dan bintang-bintang dalam iklan tersebut adalah kebanyakan wanita Indo. Sehingga warna kulit yang putih adalah tema yang muncul berulang-ulang untuk mendefinisikan kecantikan dan feminitas.
Seiring perkembangan iklan sabun dan produk-produk kecantikan, ia tidak lagi sekedar sebuah alat kosmetik yang hanya membersihkan tubuh. Lebih lanjut, tindakan membersihkan kulit atau mandi bukanlah semata-mata tindakan untuk mencapai kecantikan, karena kecantikan selalu dipresentasikan sebagai suatu keadaan yang hiperial. Sehingga menjadi cantik tidak cukup dengan hanya memiliki wajah cantik, tapi juga harus memiliki warna kulit putih, bahkan bagi orang kulit putih sendiri.
Doktrin yang dilontarkan oleh iklan sabun dan produk-produk kecantikan mengindikasikan bahwa hanya mereka berkulit putihlah yang cantik. Dengan ini, terdapat ketimpangan sosial dan rasial jika doktrin tersebut dibumikan di wilayah “bukan putih” Indonesia. (Dikutip dari b uku yang berjudul “Become White: Representasi Ras, Kelas, Feminitas, dan Globalisasi dalam Iklan Sabuni”. Karangan Prabamoro, Aquarini Priyatna. 2003).
Konsep “bukan putih” memang tidak cocok jika dijelaskan di Indonesia, karena orang Indonesia sendiri dilihat dari ras Malayan Mongoloid memiliki kulit tidak puith dan tidak hitam (seperti konsep dikotomi hitam dan putih di barat). Mereka menyebut kulit mereka terang atau sawo matang. Sehingga bias dikatakan bahwa orang Indonesia masuk ke dalam kategori campuran. Dalam artian dia berada pada rentang dikotomi hitam atau putih itu.
C. CITRA KECANTIKAN WANITA DALAM IKLAN SABUN LUX, GIV, MAUPUN PRODUK-PRODUK KECANTIKAN LAIN
Kehidupan manusia tak lepas dari bagaimana cara mereka berkomunikasi dalam menjalin hubungan dan berinteraksi sosial, untuk dapat saling mempengaruhi dengan cara mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Kegiatan berkomunikasi adalah suatu proses pernyataan antar sesama manusia atau inter personal. Yang dinyatakannya adalah pikiran atau perasaan (atau pula ide) dengan menggunakan bahasa sebagai sarana penyalurnya(Sakti, 2004:11).
Di dalam study komunikasi, kita mengenal adanya beberapa elemen penting dalam komunikasi secara umum. Elemen-elemen tersebut adalah komunikator, pesan, media, serta komunikan (Onong Uchjana Effendy, 1993:256). Komunikator adalah subjek yang melakukan proses encoding dalam suatu pesan, kemudian pesan melalui sarana media ditransmisikan kepada komunikan yang kemudian melakukan proses decoding dalam upaya memahami dan memaknai isi pesan. Agar komunikasi dapat berlangsung secara efektif, gagasan, ide, maupun opini, akan di-encode atau diterjemahkan menjadi pesan yang dapat dimengerti oleh pihak lain, dalam hal ini komunikan. Meng-encode berarti merubah suatu makna ke dalam simbol atau kode oleh komunikator. Kemudian pesan yang dikirim, oleh komunikan kan di-incode yang merupakan fase penterjemahan pesan yang diterima ke dalam suatu makna yang ditafsirkan. Setelah proses ini, komunikan memberikan feedback kepada komunikator, yang dapat berupa perubahan kognitif, sikap maupun perilaku. Jadi, proses komunikasi terjadi bila ada pesan yang disampaikan dari komunikator kepada komunikan.
Pesan menurut bentuknya dibedakan atas: pesan verbal sebagai pesan linguistik (pesan dalam bentuk kata dan kalimat) dan pesan non verbal yang meliputi pesan paralinguistik (pengucapan kata-kata dan kalimat dengan cara tertentu yang memberikan maksud tertentu) dan pesan ekstralinguistik (bahasa dalam bentuk symbol atau isyarat). Sedangkan pesan dilihat dari aspeknya, adalah terdiri dari : isi pesan dan lambang. Isi pesan adalah pikiran atau perasaan, sedang lambing adalah bahasa yang digunakan. Isi pesan terbagi menjadi dua jenis, yang bersifat laten, yakni pesan yang melatar belakangi sebuah pesan dan pesan bersifat manifest, yaitu pesan yang tampak secara tersurat (Sakti, 2004: 15).
Iklan pada hakikatnya dipandang sebagai suatu bentuk fenomena komunikasi. Hal ini bisa dicermati dari definisi iklan yang dikemukakan oleh Arens dalam Ratna Noviani (2002 : 23), bahwa :
“Iklan adalah struktur informasi dan susunan komunikasi non personal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa, gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media.”
Dari definisi di atas, jelas bahwa iklan memiliki fungsi utama menyampaikan informasi tentang suatu produk kepada massa. Ia menjadi penyampai informasi yang sangat terstruktur, yang menggunakan elemen-elemen verbal maupun nonverbal. Dalam menjalankan misinya, iklan memiliki berbagai gaya, baik dalam penyajian maupun isi iklan itu sendiri. Karena berhubungan erat dengan tujuan menginformasikan sesuatu hal kepada khalayak, iklan tidak lepas dari sisi fungsi komunikasi dimana ada dua fungsi yang saling berkaitan, yaitu fungsi informasional dan transformasional. Melalui fungsi informasional, iklan memberitahukan kepada masyarakat tentang karakteristik suatu produk. Sedangkan fungsi transformasional, iklan berusaha untuk mengubah sikap-sikap yang dimiliki konsumen terhadap merek, pola-pola belanja, gaya hidup, teknik-teknik mencapai sukses, dan sebagainya (Robert W. Pollay dalam Ratna Noviani, 2002 : 25).
Kaitannya mengenai interpretasi dalam iklan sabun Lux, Giv, maupun produk-produk kecantikan lain. Produk-produk ini memiliki fungsi utama menyampaikan informasi kepada khalayak ramai (massa) melalui media cetak maupun elektronik untuk menggunakannya. Dalam menyampaikan informasi melalui elemen-elemen verbal yaitu seperti sedikit uraian di depan, bahwasannya sabun Lux telah meluncurkan produk baru. Di situ bisa dilihat suatu bahasa tulisan berbentuk narasi, dalam tulisan tersebut menerangkan kemunculan produk baru dari Lux, setelah sebelumnya sukses meluncurkan produknya di pasaran. Ini juga disertai argumentasi sebagai produk tersebut dengan memaparkan kandungan-kandungan yang terdapat dalam sabun Lux yang disertai dengan manfaatnya. Dalam iklan tersebut pada dasarnya bersifat persuasive secara implisit, tidak lain dan tidak bukan dengan uraian panjang lebar dapat memberikan anjuran untuk memakai produk ini. Iklan tersebut dengan menginterpretasikan suatu produk baru dan kandungan-kandungannya dapat memberikan frame dan gambaran kepada masyarakat bahwa memakai produk tersebut akan menghasilkan dampak yang positif yaitu kecantikan menurut versi dalam iklan. Dalam contoh dalam iklan sabun Lux di atas juga terdapat dua fungsi yang saling berkaiatn untuk tujuan menginformasikan suatu hal. Fungsi tersebut adalah fungsi informasional, dan fungsi transformasional. Fungsi informasional yang dapat diamati dari iklan tersebut adalah adanya karakteristik bahwa dalam sabun Lux terdapat kandungan-kandungan tertentu yang dapat memberikan dampak pada kecantikan. Fungsi transformasional dapat dilihat dimana usaha iklan tersebut membentuk sikap pada konsumen yaitu dengan argumen-argumen seperti di atas. Sehingga menimbulkan sikap pada massa untuk memakainya.
Bagi para pengiklan dan kreator iklan, penyampaian pesan secara efektif dapat dicapai melalui penyampaian sisi imagistic, yakni simbolisasi suatu produk yang merupakan suatu cara untuk membantu khalayak dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan dibutuhkan. Simbolisasi produk dalam iklan merupakan sebuah bentuk penyampaian kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat dimana iklan tersebut berada (Andrew Wernick dalam Ratna Noviani, 2002:25). Iklan merupakan hasil empati yang dilakukan terhadap masyarakat dimana iklan tersebut dieksekusikan. Empati disini berarti iklan menggunakan preferensi-preferensi masyarakat, juga keinginan-keinginan dan kebutuhannya, kemudian diterjemahkan, dipresentasikan ke dalam bahasa khusus iklan.
Tentang simbolisme iklan, dapat dijabarkan dalam tiga jenis (Leiss William dalam
- Citra visual atau image, yang bias berupa representasi verbal maupun visual.
- Ikon, yang sering disamakan aspek pictorial citra. Ikon mengacu pada iklan yang elemen-elemen pictorial atau visualnya mendominasi pesan secara keseluruhan.
- Simbol, tanda tentang sesuatu yang bisa dilihat dan keberadaannya mengacu pada sesuatu yang lain.
Akan tetapi dalam iklan sabun Lux, Giv, maupun produk-produk kecantikan lain tidak menyampaikan kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat. Dimana realitas yang dipresentasikan dalam iklan menggunakan pencitraan dan simbolisasi makna, yang melepaskan diri dari konteks sosial budaya mayarakat dimana iklan tersebut berada. Jadi disini sangatlah bertolak belakang dengan ungkapan. Andrew Wernick dalam Ratna Noviani (2002:25) di atas. Seperti iklan sabun di majalah Kartini (Januari 2002:14-15) dalam Aquarini Priyatna Prabasmoro (2003) adanya representasi selebriti perempuan indo disana. Dalam majalah tersebut menggambarkan dua sosok perempuan yang saling bersanding di bagian kepala masing-masing. Rambut keduanya saling bersentuhan satu sama lain. Dua sosok itu (kedua-duanya) adalah Tamara Bleszinsky. Namun yang unik dua sosok tersebut ditampilkan dengan gaya dan sudut pandang yang berbeda dalam memaknai feminitas.
Sosok pertama menggambarkan Tamara sebagai seorang gadis belia baik-baik, dan sosok kedua sebagai perempuan dewasa yang seduktif atau secara seksual menarik. Citra perempuan yang baik-baik tersebut menampilkan potret klasik perempuan baik-baik dengan lesung pipi yang bersahabat. Dengan bandana dirambutnya, seakan-akan menambah kesan bahwa Tamara (pada sosok pertama) adalah gadis belia yang baik-baik (dalam konteks ke-Indonesia-an). Sedangkan sosok kedua, Tamara ditonjolkan sebagai perempuan dewasa yang sadar akan kecantikannya di balik busana malam berwarna hitam.
Kedua citra tersebut menampilkan kesan yang saling berlawanan. Perempuan baik-baik menampilkan senyum malu-malu dan kemudian, sementara perempuan dewasa digambarkan sebagai sosok penggoda. Terlepas dari kedua citra itu, konsep putih tetap dijadikan komoditas utama yang hendak dijual oleh iklan sabun. Kedua sosok tersebut memiliki kulit yang sama-sama putih dan bersih walaupun dibalik balutan busana yang sama sekali berbeda.
Meskipun seolah-olah ada perbedaan atas kedua citra itu, Tamara dikonstruksi sebagai perempuan muda kulit putih yang menjadi subjek, universal untuk mewakili semua perempuan baik-baik. Ia sebagai penumbuh aspek alamiah, dan pada saat yang sama ia juga menubuhi tuntutan cultural atas perempuan. Dari sini jelas bahwa Lux, menjadi perempuan berarti alamiah dan pada saat yang sama ia juga harus berbudaya dengan slogan “memahami wanita apa adanya”.
Seperti dikutip dari Nurdin (1997:36) bahwa anehnya iklan-iklan yang mampu menampilkan atribut fisik wanita itulah yang justru menarik perhatian. Sedangkan iklan yang hanya “membungkus” wanita apa adanya kurang diminati. Dan dampaknya membuat barang itu kurang laku di pasaran. Ini artinya pula, wanita menjadi penentu efektivitas pesan yang ditawarkan.
Iklan yang dibalut citra wanita indo ini juga ada pada iklan GIV dari majalah Kartini (31 Agustus – 13 September 2001 : 26 – 27) dalam Prabasmoro, Aquarini Priyatna (2003) yang terdiri dari dua gambar. Gambar pertama adalah sosok Sophia Latjuba yang berbaring tengkurap dengan balutan gaun putih. Sedangkan gambar kedua adalah Sophia sedang memeluk anaknya, Eva. Seperti pada iklan Lux, gagasan tentang kebersihan dan ke-putih-an juga mendominasi iklan ini. Pengguna warna puith dan kesan memancar berhasil memberikan kesan putih secara holistik.
Yang berbeda dari Lux dalam iklan ini dalah bahwa kecantikan Sophia yang alami tidak mengharuskan seseorang harus menjadi inosen atau bahkan menggoda. Tapi, justru hanya dengan menjadi wanita dewasa “yang tahu kapan memanjakan diri” mengimplikasi bahwa sesungguhnya target konsumen GIV adalah kalangan perempuan menengah ke bawah, dimana mereka dikelilingi berbagai kesibukan dan aktivitas domestik, misalnya menyiapkan dan menyajikan makanan, mencuci, membersihkan, atau menjalankan fungsi reproduksi. Seperti mengurusi anak, menyusui dan sebagainya. Karena itu, waktu mandi adalah waktu yang tepat untuk memanjakan diri dan menyendiri setelah “capek” melakukan aktivitasnya.
Hal yang bertolak belakang dengan ungkapan Andrew Wernick dalam Ratna Noviani di atas adalah, baik Tamara maupun Sophia, keduanya direpresentasikan sebagai sosok perempuan ideal yang diimpikan oleh semua perempuan. Namun, tubuh mereka yang indo mempunyai unsur lokal yang mengglobal. Disinilah peran iklan bermain. Memakai Tamara dan Sophia sebagai “ras indo” menjadi semacam pilihan yang tepat untuk “membaratkan” perempuan Indonesia. Denagn menggunakan teknologi fotografis, ke-putih-an mereka dieksploitasi secara maksimum untuk merepresentasikan perempuan kulit putih barat yang modern. Sehingga ini bertolak belakang dengan ungkapan penyampaian pesan efektif dapat dicapai melalui penyampaian sisi imagistic menurut Andrew di atas.
Nurudin (1997:11) mengungkapkan bahwa masyarakat kita memiliki pola pikir, rasa dan penilaian berdasarkan apa yang pernah mereka lihat di televisi. Dalam menilai komunitas dirinyapun, televisi dijadikan referensi utama. Artinya, apa yang sesuai dengan televisi dianggapnya baik dan apa yang tidak sesuai dengan televisi dianggapnya tidak baik. Dengan ini jelas bahwa masyarakat Indonesia mudah terpengaruh oleh apa yang terpampang di media. Sehingga melahirkan suatu frame pada masyarakat sesuai representasi citra kecantikan wanita dalam iklan sabun Lux, GIV, maupun produk-produk kecantikan lain. Konsep universal yang diusung iklan tersebut menjadikan putih adalah segalanya, disamping adanya penjelasan bahwa putih adalah gabungan dari warna-warna selebriti indo yang membintangi, kulit putihnya, ditekankan sedemikian, sehingga ke-putih-an mereka menutupi warna lain (dalam iklan), ke-putih-an mereka dalam iklan itu diterima sebagai sesuatu yang alamiah.
D. KESIMPULAN
Saat ini masyarakat (khususnya wanita) dibanjiri bermacam iklan produk yang hadir melalui televisi, radio, maupun media lainnya. Bermacam produk saling berlomba dalam melakukan penetrasi ruang bawah sadar masyarakat dengan beragam trik persuasi, sabun Lux, GIV, maupun produk-produk kecantikan merupakan produk-produk yang membanjiri iklan dengan menawarkan perubahan warna kulit, terstruktur, dan sebagainya itu membuat wanita (calon konsumen yang melihat iklan) menjadi tertarik untuk menggunakan produk tersebut. Iklan produk tersebut dengan bentuk penawaran yang sedemikian rupa memberikan pencitraan tersendiri dalam membentuk suatu frame dalam masyarakat.
Konsep Andrew Wirnick dalam Ratna Noviani (2002:25) memberikan wacana mengenai pesan iklan yang efektif bagi para pengiklan dan kreator iklan melalui penyampaian sisi imagistic, yani simbolisasi suatu produk yang merupakan suatu cara untuk membantu khalayak dalam mengidentifikasi produk yang diinginkan dan dibutuhkan. Simbolisasi produk dalam iklan merupakan sebuah bentuk penyampaian kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan realitanya citra dalam iklan sabun Lux, GIV, dan penyampaian dalam iklan produk-produk tersebut mengindikasikan bahwa hanya mereka yang berkulit putihlah yang cantik, dengan kebanyakan menggunakan representasi selebriti wanita indo. Ini tidak menyampaikan kembali budaya dan nilai-nilai yang ada dan diyakini oleh masyarakat dimana iklan tersebut berada. Dengan terdapat ketimpangan sosial dan rasial jika dibumikan di wilayah “bukan putih” Indonesia. Dimana Indonesia sendiri dilihat dari ras memiliki kulit tidak hitam dan tidak putih (sawo matang). Sehingga memberikan frame pada masyarakat bahwa citra cantik adalah berkulit putih.
Apabila ini dikaitkan dengan cultural studies dalam televisi, teks, dan penonton, bahwa iklan sabun Lux, GIV, maupun produk-produk kecantikan lain mengandung unsur hegemonik, yang dimenangkan dan bukan diterima, lebih jauh lagi, diperlukan terus menerus dimenangkan ulang dan dinegosiasikan ulang, menjadi kebudayaan sebagai lahan konflik. Fokus dan representasi perempuan telah diupayakan sebelumnya oleh sejumlah penulis feminis terhadap opera sabun karena sering kali dikatakan bahwa opera sabun adalah suatu ruang perempuan dimana motivasi perempuan disahkan dan dirayakan. Dalam operasi sabun suatu bentuk global berdasarkan dua alasan: ia adalah cara bernarasi yang diproduksi di berbagai negara di seluruh dunia, dan ini adalah salah satu bentuk acara televisi yang paling banyak diekspor dan ditonton di berbagai konteks budaya. Daya tarik global opera sabun pada akhirnya dapat diletakkan pada daya tarik universal berupa bentuk narasi dengan akhir mengambang, sentralitas personal dan hubungan kekerabatan, dan dalam beberapa hal kemunculan gaya internasional yang melekat pada tradisi Hollywood.
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Chris. 2000. Cultural Studies : Theory and Practice. London : Routledge Publishing.
Efendi, Onong Uchjana. 1993. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Citra Aditya Bakti.
Noviana, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Nurudin. 1997. Televisi Agama Baru Masyarakat Modern. Malan; UMM Press.
Ollenburger, Jane C. 1996. Sosiologi Wanita. Jakarta:Rineka Cipta.
Sakti, Denny Hartawan. 2004. Kecantikan Wanita dalam Iklan. Surakarta: UNS.
Sumber : http://artikel.staff.uns.ac.id
{ 0 comments... Views All / Send Comment! }
Post a Comment